Potret Islam Moderat dalam Bingkai Otoritas dan Dakwah Digital

Judul                : Dakwah Islam Moderat

Penulis             : Dr. Jamal Ma’mur Asmani dan Dalhar Muaarif

Penerbit          : Diva Press

Cetakan           : November, 2022

Tebal               : 145 halaman

ISBN                : 978-623-534-83-77

Di era digital dan keterbukaan media, orang-orang bebas mengekspresikan gagasan dan pikirannya. Dampaknya generasi muda sering kali belajar kepada ‘ulama instan’. Ulama instan adalah orang yang dalam waktu cepat menjadi seorang ulama, tanpa diketahui proses pendidikannya, perilakunya, perjuangannya, dan dedikasinya kepada umat dan bangsa. Tak jarang, ajaran yang disampaikan oleh ulama instan ini menjadi polemik karena tidak didasari dengan kedalaman ilmu, komitmen keagamaan dan kebangsaan yang kokoh bahkan menyisipkan bibit radikalisme yang menjamur di media digital.

Buku ini mencoba menghadirkan sosok ulama yang teruji keilmuannya, serta dedikasi sosial dan kontribusinya dalam membangun peradaban Indonesia. Kedua ulama tersebut adalah KH. Afifuddin Muhajir dan KH. Abdul Moqsith Ghazali. Keduanya merupakan pakar fiqih dan ushul fiqih yang ikut meramaikan dakwah Islam moderat dalam realitas kehidupan secara aktual dan kontekstual. Keduanya memiliki basis keilmuan yang kuat dan relevansi yang tinggi terhadap realitas kontemporer (hlm. 6). Uniknya, saat masa pandemi kemarin dua kiai ini juga ikut meramaikan dakwah digital dengan cara melaksanakan pengajian online yang disampaikan melalui platform media Facebook daa Youtube.

Di dalam buku ini dijelaskan betapa pentingnya dakwah moderasi Islam di tengah eskalasi radikalisme melalui ruang-ruang digital. Kedua tokoh yang diulas di dalam buku ini merupakan bibit pesantren yang menampilkan dakwah Islam moderat yang menebarkan kasih sayang, keadilan, kemanusiaan, dan kebahagiaan lahir batin. Jejak online dan offline kedua tokoh di dalam buku ini menarik untuk digali dan diekplorasi demi kemajuan dan kohesivitas bangsa Indonesia (hlm. 24).

Kedua tokoh ini memang lahir dari lumbung pesantren. Karenanya, ada beberapa pemikiran unik yang disampaikan tentang konsep moderasi sehingga menjadi doktrin dalam ruang-ruang digital dan penuh dengan pemikiran-pemikiran yang progresif meski terdapat beberapa tantangan dakwah Islam moderat dalam menghadapi era new normal atau era teknologi. Pertama, peran teknologi informasi yang sangat urgen. Kedua, menyampaikan doktrin Islam yang relevan dengan tantangan modernitas. Ketiga, mempunyai struktur sosial yang solid dalam membumikan Islam moderat (hlm. 55).

Tantangan dakwah Islam moderat bukan menjadi penghalang bagi kedua tokoh di dalam buku ini. Mereka justru semakin bergerilya dengan pemikiran-pemikiran moderatnya untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat dan publik. Sebab itu, menghadapi kelompok radikal dan fundamental dibutuhkan soliditas tim yang bekerja secara koletif kolegial dalam membumikan doktrin Islam moderat yang damai, toleran, dan progresif di tengah pluralitas bangsa apalagi dakwah di ruang-ruang digital yang sudah dilumuri dengan aneka konten terorisme dan radikalisme.

Di sinilah pentingnya moderasi pemikiran kiai dalam ruang digital yang semakin semrawut. Salah satunya karena pemikiran kiai selalu berdasarkan kepada beberapa hal. Pertama, dalam menjalankan ajaran Islam, kiai menganut sistem bermadzhab. Kedua, orientasi pemikiran kiai selalu berujung kepada kemaslahatan sosial. Ketiga, paradigma pemikiran kiai adalah tawasuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang) dan i’tidal (tegak lurus) (hlm. 16)

Pesan moral tentang moderasi beragama ini disampaikan oleh kedua tokoh di dalam buku ini melalui pemikiran keagamaan yang sangat kontektual dan disesuaikan dengan relevansi zaman yang kemudian disampaikan melalui ruang digital. Pemikiran KH. Afifuddin Muhajir di antaranya berkaitan dengan akidah aswaja an-nahdliyah, zakat tanaman, politik kenegaraan, NKRI dan pancasila, dan optimalisasi fungsi waqaf. Sedangkan, pemikiran Abdul Muqsith Ghazali di antaranya adalah berkaitan dengan bagaimana mengembangkan ushul fiqih, dinamisasi fiqih, emansipasi perempuan, pesantren sebagai lumbung Islam moderat, dan tipologi ulama (hlm. 74).

Pentingnya menyampaikan nilai moderasi beragama melalui ruang digital menjadi elemen penting di dalam membumikan pemikiran Islam moderat di tengah-tengah generasi muda hari ini. Buku yang memotret dua tokoh dan kiai dari kalangan pesantren melalui dakwahnya di ruang digital setidaknya bisa menyaring konten-konten radikalisme dan teroris yang merasuk dan meracuni pemikiran masyarakat menjadi hal yang harus digerakkan.

Pasalnya, kedua tokoh ini memiki penguasaan mendalam terhadap khazanah klasik dan realitas modern sehingga pengajian kitab yang diasuh oleh kedua ulama di dalam ini mendapat sambutan hangat dan apresiasi positif dari publik. Publik merasa mendapatkan siraman pengetahuan dan spiritual yang mematangkan dan mendewasakan pemikiran dan wawasan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI. Karenanya, sosialisasi, internalisasi dan edukasi Islam moderat semakin kokoh di Bumi Nusantara bahkan hingga ke dunia internasional (hlm. 77).

Buku ini penting dibaca dalam memahami esensi dakwah di ruang digital dengan tetap memperhatikan tokoh yang dianggap mampu otoritas keilmuan sehingga konten-konten yang ada di dalamnya berisi beberapa wejangan dan dakwah Islam moderat. Meski disajikan dari karangan-karangan ulama klasik, penting juga tetapi memperhatikan realitas kehidupan modern sehingga bisa menghadirkan pencerahan di tengah kegelapan dunia digital dari konten intoleransi, radikalisme, terorisme, dan ektremisme. Sebab, sejatinya ruang digital hanya wasilah di dalam menyampaikan perdamaian, kesejukan ajaran Islam sehingga bisa memperoleh ketenteraman di dalam kehidupan masyarakat digital dan non-digital.

Penggerak Komunitas GUSDURian Sumenep, Madura.