Social Media

Gus Dur di Mata Lee Kam Yit

Dialog antara Gus Dur dengan Daisaku Ikeda -presiden ketiga dari gerakan Buddhis kontemporer Jepang: Soka Gakkai- tidak hanya menarik perhatian kalangan akademisi Muslim di wilayah Asia Tenggara saja seperti Osman Bakar, Azizan Baharuddin, dan Imiyaz Yusuf; tetapi juga kalangan akademisi Buddhis seperti Lee Kam Yit. Lee Kam Yit sendiri adalah akademisi dan aktivis muda Buddhis asal Malaysia yang sekaligus merupakan pimpinan dari divisi pemudi dari organisasi Soka Gakkai Malaysia. Sebagai seorang akademisi perempuan dan sekaligus sebagai kaum muda, Lee memiliki perhatian khusus terhadap pembahasan mengenai isu kepemudaan dan gender yang dibicarakan oleh dua pemikir besar tersebut.

Dalam pemaparannya pada sesi bedah buku Dialog Gus Dur-Ikeda edisi Malaysia yang diselenggarakan di ISTAC-IIUM pada 7 Januari 2023 lalu, ia menggarisbawahi soal inspirasi yang ia dapatkan dari pembacaannya terhadap pemikiran Gus Dur dan Ikeda mengenai kaitan antara kaum muda, perempuan, dan masa depan sebuah peradaban. Menurut Lee, kedua pemikir besar tersebut sama-sama yakin akan peran sentral kaum muda dan perempuan bagi kemajuan sebuah peradaban. Maka penguatan posisi kaum muda dan juga perempuan menjadi satu kebutuhan yang mendesak.

Dalam kaitannya dengan penguatan peran kaum perempuan, Lee menggarisbawahi bahwa kedua pemikir tersebut membicarakan dua sosok yang sekiranya memiliki andil besar bagi penguatan peran perempuan dalam konteks Indonesia dan Jepang. Dua sosok yang dimaksud ialah Kartini dan Makiguchi. Kartini sendiri merupakan ikon dari gerakan emansipasi perempuan di Indonesia sementara Makiguchi adalah presiden pertama dari gerakan Soka Gakkai di Jepang.

Lee menjelaskan bahwa sejauh pembacaannya terhadap diskusi Gus Dur dan Ikeda, ia menemukan informasi bahwa Kartini menghadapi situasi zaman yang tidak ramah terhadap kaum perempuan. Di zaman Kartini, kaum perempuan mendapat halangan besar untuk mengakses dunia pendidikan. Kartini yang berasal dari keluarga ningrat memang diizinkan untuk bersekolah, tetapi ia hanya dapat mengakses pendidikan dasar. Saat ia berusia 12 tahun, maka ia tidak lagi diizinkan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Lee menggarisbawahi kultur feodal Jawa saat itulah yang membuat Kartini mesti mengalami hambatan kultural untuk mengembangkan pengetahuan dan juga skill yang dimilikinya melalui dunia pendidikan.

Menurut Lee, kasus Kartini bukan merupakan fenomena yang terjadi di Indonesia saja. Perempuan di Jepang, sebagaimana dituturkan oleh Ikeda, juga mengalami nasib yang serupa. Di masa Makiguchi, perempuan tidak bisa mengenyam pendidikan secara leluasa -hanya sebatas pendidikan dasar saja- entah karena alasan kultural ataupun karena problem sosial ekonomi yang melanda Jepang saat itu sehingga akses perempuan terhadap dunia pendidikan menjadi dibatasi sedemikian rupa.

Menghadapi situasi yang tidak berpihak kepada kaum perempuan tersebut membuat sosok Kartini dan Makiguchi tergerak untuk melakukan perubahan. Lee merasa terharu dengan sosok Kartini karena dengan kapasitasnya sebagai perempuan muda ia berani melakukan perlawanan terhadap struktur feodal yang kokoh saat itu. Kekuatan Kartini untuk memberontak melawan budaya feodal menurut Lee tidak dapat dilepaskan dari kekagumannya pada sosok perempuan pendidik India bernama Pandita Ramabai yang melakukan inistiatif untuk membantu kaum perempuan miskin tidak terdidik di negara tersebut. Ramabai kemudian mengkonsentrasikan aktivismenya dengan memberikan pendidikan dasar bagi kaum perempuan tak terdidik tersebut agar kedudukan mereka di masyarakat dapat ditingkatkan semaksimal mungkin.

Setelah membaca kisah perjuangan dari Pandita Ramabai tersebut Kartini teryakinkan bahwa ruang pemberdayaan bagi perempuan non-Eropa (non-kulit putih) terbuka lebar. Dalam istilah Ikeda, Kartini sampai “menyala-nyala” dan “menggingil” setelah membaca kisah yang secara emosional begitu memengaruhi dirinya. Kartini kemudian memilih meneladani Ramabai dengan cara mendirikan sekolah bagi kaum perempuan sebelum ia meninggal pada usia muda, yakni 25 tahun. Inisiatif Kartini tersebut dilanjutkan oleh para pengagumnya yang kemudian mendirikan sekolah perempuan yang dinamai Sekolah Kartini di berbagai tempat.

Kisah Kartini di Indonesia tersebut menurut Lee memiliki resonansi dengan sosok Makiguchi di Jepang. Menurut Ikeda, selain karena Makiguchi memiliki latar belakang sebagai pendidik (yakni kepala sekolah SD) yang dijalaninya selama lebih dari 20 tahun membuatnya terasah sisi kemanusiaannya, Makiguchi juga dipengaruhi oleh keyakinan Buddhismenya, khususnya mengenai filosofi Sutra Bunga Teratai. Filosofi Sutra Bunga Teratai sendiri memiliki makna penghormatan terhadap jiwa, sehingga tidak peduli apakah seorang itu laki-laki atau perempuan, tetapi ketika ia memiliki jiwa (artinya sama-sama manusia) maka tidak ada yang boleh didiskriminasi. Pengalamannya sebagai guru dan juga filsuf Buddhis yang dihayati Makiguchi inilah yang mendororng presiden Soka Gakkai tersebut untuk bertindak sebagaimana Kartini.

Pada tahun 1904, yakni ketika menjelang kematian Kartini, Makiguchi di Jepang memulai proyek emansipasinya. Ia tercatat berdiri di podium sekolah perempuan swasta dan menyatakan solidaritasnya dengan kaum perempuan yang saat itu menghadapi berbagai tekanan. Ia juga menegaskan komitmennya untuk menyediakan pendidikan bagi kaum perempuan untuk membuatnya mampu menjalani hidup secara lebih mandiri. Pesan solidaritasnya itu ia konkretkan dengan pendirian lembaga pendidikan khusus perempuan di tahun 1905 yang dinamakan Dainippon Koto Jogokkai (Pendidikan untuk Masyarakat Jepang bagi Perempuan Muda), di mana ia menjabat sebagai penanggung jawab lembaga tersebut.

Tidak hanya mendirikan lembaga pendidikan, Makiguchi juga tercatat mendirikan lembaga kursus untuk mengembangkan keterampilan bagi kaum perempuan secara cuma-cuma. Makiguchi juga menyusun semacam buku teks bagi siswi sekolah menengah atas yang diperuntukannya bagi kaum perempuan yang tidak dapat melanjutkan studinya karena alasan-alasan kultural, sosial, atau ekonomi. Nantinya usaha-usaha Makiguchi ini akan dilanjutkan oleh muridnya yakni Toda yang juga merupakan presiden kedua dari gerakan Soka Gakkai yang mampu mendirikan lembaga pendidikan yang dibangun di atas spirit filosofi Soka Gakkai.

Menurut Lee, baik Kartini dan Makiguchi memiliki filosofi pendidikan yang sama, yakni keduanya meyakini bahwa rumah (keluarga) adalah institusi pendidikan yang utama dan perempuan dalam posisinya sebagai ibu merupakan sosok pendidik paling ideal untuk membentuk masyarakat ke depannya. Maka memberikan perempuan akses ke dunia pendidikan sama artinya berinvestasi bagi masa depan peradaban. Meskipun baik Kartini atau Makiguchi menekankan relasi kuat antara perempuan dan peradaban, tetapi Lee meyakini bahwa baik Kartini dan Makiguchi tidak lantas mengorbankan dimensi individualitas kaum perempuan demi satu konsep “raksasa” bernama peradaban. Justru bagi Lee, baik Kartini dan Makiguchi percaya bahwa keunikan individualitas -baik perempuan atau laki-laki- itulah yang menjadi pilar bagi kemajuan peradaban.

Lee memberikan penjelasan bahwa setiap individu baik laki-laki dan perempuan memiliki potensi untuk bersinar dalam caranya sendiri. Sehingga setiap person pada hakikatnya adalah unik. Dunia pendidikan dalam konteks ini memiliki fungsi strategis untuk mengaktualisasikan potensi tersebut. Dikarenakan setiap individu adalah unik maka bagi Lee adalah tidak beralasan untuk mencurigai atau memandang bersinarnya kaum perempuan dan kaum muda akan menyingkirkan peran laki-laki dalam sebuah masyarakat. Justru yang terjadi bagi Lee adalah satu perubahan positif, di mana dengan pengetahuan dan skill yang dimiliki oleh perempuan dan kaum muda yang didapatnya dari proses pendidikan memungkinkan mereka berkontribusi secara nyata dalam mengatasi berbagai problem di tengah masyarakat.

Lee menukil penjelasan Ikeda mengenai filosofi Buddhis yang disebut sebagai prinsip nunga sakura, plum, persik, dan aprikot. Dalam filosofi Buddhis tentang bunga tersebut dibayangkan bahwa setiap jenis bunga mampu berkembang secara optimal sehingga potensi dari tanaman sakura akan merekah secara sempurna menjadi bunga sakura, begitupun tanaman lainnya. Artinya setiap bunga akan memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri dan ketika semuanya mekar keharmonisan setiap bunga tersebut tetap terjaga.

Lebih jauh, dalam konteks sebuah taman keberadaan aneka bunga yang bervariasi tersebut justru menambah keindahan sebuah taman dibandingkan satu jenis bunga saja yang merekah. Sebagaimana bunga, maka individu dalam filsafat Buddhisme tentang bunga tersebut juga dibayangkan dapat mekar secara sempurna tanpa mengganggu proses mekarnya individu lain.

Pemaparan mengenai prinsip bunga sakura, plum, persik, dan aprikot dalam tradisi Buddhisme ini dapat dikatakan menjadi satu gagasan yang menarik dari seorang Lee. Bisa dikatakan Lee membayangkan bahwa emansipasi perempuan -dan juga kaum muda- tidak mesti dipahami dengan lensa biner sebagaimana mungkin terjadi dalam kasus peradaban Barat. Dalam konteks biner maka penguatan perempuan atau kaum muda di satu sisi maka sama artinya dengan pelemahan laki-laki atau golongan “tua” di sisi lain. Namun dengan filosofi Buddhisme tersebut Lee berupaya menjelaskan bahwa proyek emansipasi yang tidak berbasis pada logika biner semacam itu dimungkinkan.

Apa yang dijelaskan oleh Lee mengenai prinsip Bunga dalam tradisi Buddhisme tersebut dapat dikatakan paralel dengan keyakinan Ikeda soal emansipasi perempuan. Bagi Ikeda dalam tradisi Buddhisme Nichiren (satu aliran Buddha Jepang yang dikembangkan oleh pendeta Nichiren yang menjadi filosofi dasar bagi Soka Gakkai) laki-laki dan perempuan itu layaknya seekor burung. Laki-laki menjadi sayap burung tersebut sementara perempuan itu menjadi tubuh burung. Bagi Ikeda ketika badan dan sayap disatukan maka akan menjadi satu entitas yang utuh yang memampukan sang burung untuk terbang ke langit. Langit sendiri adalah metafora dari kebahagiaan dan kesempurnaan. Sementara jika tubuh dan sayap terpisah bukan saja burung tidak bisa terbang, ia bahkan tidak dapat hidup sama sekali.

Pandangan yang integratif dan bukannya dualisme sebagai fondasi emansipasi perempuan inilah yang sekiranya juga memengaruhi cara pandang Lee dalam melihat kaitan erat antara perempuan -dan juga kaum muda- dengan masyarakat yang lebih luas. Perempuan -ataupun kaum muda- bukan sosok yang dibayangkan “otonom” dalam artian tidak memiliki relasi dengan entitas lain di sekelilingnya. Maka tidak mengherankan jika Lee sangat yakin bahwa proyek emansipasi perempuan justru akan memungkinkan optimalisasi posisi perempuan sebagai agen yang memiliki kapasitas paling besar dalam mendorong kesejahteraan umat manusia.

Bagi Lee pandangan integratif akan emansipasi inilah yang menurutnya secara kuat tercermin dari sejarah kehidupan Kartini ataupun Makiguchi. Sebagai contoh Lee menggarisbawahi ucapan dari Kartini bahwa tujuan emansipasi yang ia inginkan bukan hanya menyasar pada kaum perempuan itu sendiri tetapi juga bagi masyarakat, bahkan juga peradaban secara lebih luas. Kartini misalnya, menyatakan secara terbuka bahwa cita-citanya adalah tumbuhnya penghormatan terhadap segala sesuatu yang hidup, termasuk di dalamnya mencakup rekognisi terhadap hak-hak dan perasaannya. Termasuk juga bentuk penghormatan ini mencakup rasa segan untuk menyakiti makhluk lain. Dengan kata lain Kartini tidak hanya berjuang dalam batas-batas konsep gender saja tetapi bahkan mencakup entitas non-manusia.

Pandangan Kartini ini bisa dikatakan paralel dengan Makiguchi yang meyakini filsafat Sutra Bunga Teratai yang dibangun di atas prinsip penghormatan terhadap jiwa. Bisa dikatakan bahwa tidak hanya manusia yang memiliki jiwa, tapi makhluk hidup lain juga. Sehingga emansipasi yang dibayangkan oleh Makiguchi tidak hanya soal ketimpangan gender saja, tetapi juga ketimpangan yang lebih luas. Ketimpangan atau penderitaan yang dialami oleh semua makhluk.

Hal ini sejatinya sesuai dengan prinsip Buddhisme Nichiren yang memiliki penghormatan sangat besar terhadap semua makhluk hidup yang menurutnya layak untuk diselamatkan. Dengan kata lain baik Kartini maupun Makiguchi, di mata Lee, memiliki keyakinan integratif dalam hal emansipasi, dan inilah yang juga ia yakini sebagai model emansipasi ideal. Emansipasi perempuan adalah jalan bagi kemajuan sebuah peradaban yang ditandai dengan kesejahteraan dan juga kedamaian.

Satu hal yang menarik ketika Lee menyitir ucapan Gus Dur yang menurutnya juga dijiwai oleh spirit integratif dalam memahami emansipasi. Lee menyatakan bahwa Gus Dur berkata: “Walaupun sudah menjadi perempuan yang berkarier dan meraih kedudukan tinggi, saya berharap agar kaum perempuan muda mau menjalankan kehidupan demi kepentingan masyarakat dan orang lain.” Dari pernyataan Gus Dur tersebut kita bisa memahami bahwa merekahnya kaum perempuan mesti membuka jalan bagi merekahnya bunga-bunga lain, individu-individu lain, baik laki-laki atau perempuan lain, termasuk juga bagi merekahnya kebahagiaan bagi setiap makhluk hidup.

Selain inspirasi mengenai emansipasi perempuan, Lee mengaku juga mendapatkan inspirasi dari dialog Gus Dur dan Ikeda terkait dengan posisi strategis kaum muda dalam kaitannya dengan pembangunan peradaban. Lee menggarisbawahi bahwa Kartini selain juga merupakan sosok perempuan namun ia juga merupakan bagian dari kaum muda. Begitu pula Toda, presiden kedua Soka Gakkai, yang merupakan bagian dari kaum muda ketika ia membantu upaya-upaya gurunya Makiguchi untuk mengembangkan organisasi Soka Gakkai. Maka Lee kemudian menyimpulkan bahwa kaum muda merupakan aset yang berharga bagi sebuah bangsa, dan kekayaaan bagi dunia/peradaban di masa depan karena posisi sentral mereka dalam menginisasi perubahan yang positif.

Lee menggarisbawahi bahwa kaum muda begitu berharga, bukan karena harta atau kedudukan yang dimilikinya, tetapi karena mereka ditandai dengan tiga spirit positif yakni keberanian, keyakinan, dan harapan. Spirit inilah yang sekiranya mampu membuat kaum muda melakukan pekerjaan yang mungkin dianggap mustahil di mata banyak orang. Namun dengan spirit keberanian, keyakinan, dan harapan inilah yang membuat kaum muda tidak cepat menyerah untuk memulai perubahan.

Bahkan Lee terkesan dengan ucapan Kartini yang berkata: “Hendaklah ada orang yang memberi contoh. Kami yakin, banyak yang akan menurut, asal ada seseorang yang berani memulai.” Apa yang dikatakan oleh Kartini ini dibuktikan dengan perjuangannya untuk mendirikan sekolah bagi kaum perempuan yang kemudian menjadi suatu yang ditiru oleh banyak pihak sehingga melahirkan sekolah-sekolah Kartini di kemudian hari. Tanpa adanya keberanian untuk memberi contoh maka tidak akan mungkin terjadi perubahan yang berarti.

Lee juga terkesan dengan peristiwa sumpah pemuda yang terjadi pada 28 Oktober 1928. Lee menggarisbahwahi -mengacu pada penjelasan Ikeda- bahwa sekitar 750 generasi muda berani menerima resiko intimidasi dari pemerintah kolonial Belanda saat mereka menggelar pertemuan di Indonesia Clubhouse di Jakarta. Namun karena “kenekatan” mereka maka pertemuan tersebut berjalan lancar dan dikenal dengan Kongres Pemuda Indonesia II yang menghasilkan deklarasi Sumpah Pemuda yang memberi jalan bagi tumbuhnya nasionalisme secara lebih intens di kalangan publik dan membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia.

Dengan kata lain jika tidak ada keberanian dan contoh yang dibuat kaum muda Indonesia dengan menyelenggarakan kongres, masyarakat luas tidak tergerak untuk menrima gagasan nasionalisme secara lebih intens. Sebagaimana Kartini, kaum muda memiliki peran yang krusial bagi terciptanya tatanan sosial politik yang lebih baik ke depannya. Dalam konteks Indonesia tatanan sosial politik lama yang bercorak feodal dan kolonial dapat digantikan dengan tatanan nasional yang independen dari pengaruh kolonial dan juga meredupnya pengaruh kultur feodal.

Sebagai penutup, Lee percaya bahwa dialog Gus Dur dan Ikeda memberikan satu ilustrasi kuat bahwa peran strategis perempuan dan juga kaum muda bagi peradaban bukan sebuah mitos, tetapi suatu yang faktual sebagaimana tercatat dalam sejarah. Lee percaya bahwa berbagai ilustrasi yang diberikan dalam proses dialog tersebut juga mampu berfungsi sebagai bahan renungan penting bahwasanya setiap individu sejatinya memiliki potensi untuk merekah sebagaimana bunga-bunga di taman secara sempurna.

Di sisi lain setiap individu juga memiliki kontribusi bagi penciptaan peradaban yang dicirikan dengan kedamaian, kesejahteraan, dan juga kebahagiaan bagi semua makhluk yang menghuninya. Maka yang menjadi krusial adalah setiap person menyadari bahwa dirinya dapat merekah dan pada saat yang sama juga punya kapasitas untuk turut andil membantu individu atau makhluk lain untuk sama-sama merekah layaknya bunga-bunga yang indah. Taman bunga yang indah di mana bunga sakura, plum, persik, dan aprikot dapat tumbuh secara harmonis adalah analogi dari masa depan peradaban yang dicita-citakan baik oleh Kartini, Makiguchi, Ikeda, Gus Dur, dan juga Lee.

Peserta program Kader Pemikir Islam Indonesia (KPII) Angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan Universitas Paramadina.