Gus Dur dan Nalar Identitas, Bukan Politik Identitas Primordialistik

Kurang dari lima bulan lagi pesta demokrasi di negeri Nusantara ini akan dilaksanakan secara serentak dari Sabang sampai Merauke, serta dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah secara serentak setelah pemilu selesai. Para calon pemimpin sudah mulai bergerak untuk membangun basis suara yang kuat.

Pesta demokrasi tahun 2024 nantinya akan memilih presiden dan wakil presiden, DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Hal yang menarik dan berseliweran di media sosial yakni soal kontestasi capres dan cawapres yang mengerucut pada tiga paslon yang tentunya punya gaya dan latar belakang yang berbeda.

Mantan gubernur Jateng misalnya, Pak Ganjar adalah tokoh publik yang dikenal sangat nasionalis dan dianggap representasi ideologis partai logo banteng tersebut. Lalu ada Pak Prabowo dengan latar belakang militer serta jiwa nasionalismenya yang tak diragukan lagi. Dan yang terakhir yakni Pak Anies dengan latar belakang akademik yang sangat kental.

Ketiga paslon presiden di atas santer dibicarakan sebab masing-masing menolak untuk menggunakan background agama untuk meraup suara mengingat penduduk negeri ini mayoritasnya adalah muslim. Bicara soal politik identitas terutama atas nama agama, bukanlah hal yang baru dalam siklus perpolitikan tanah air, sebab beberapa kasus yang terjadi agama selalu menjadi penentu suara.

Namun, sejak tahapan pemilu ini berjalan, ketiga paslon presiden ini malah getol mendekati tokoh-tokoh agama dengan dalih meminta restu dan sebagainya. Hal ini tentunya dianggap sebagai bentuk politik identitas yang tidak sehat. Contoh yang mungkin sempat viral yaitu ketika Pak Ganjar tampil sebagai figuran dalam siaran azan di TV nasional, ada Pak Anies yang terus-terusan melakukan gerilya ke beberapa kiai yang ada di tanah Jawa khususnya Jateng dan Jatim, dan Pak Prabowo pun tentunya tak tinggal diam mengingat massa 212 masih banyak yang loyal terhadap beliau.

Bisa disimpulkan untuk sementara bahwa pertarungan capres ini nantinya sangat berpotensi menggunakan basis agama dan tentunya juga sangat rawan terjadi konflik horizontal. Nah lantas apakah politik identitas itu salah? Jika merefleksikan apa yang telah dilakukan oleh tokoh nasional seperti Gus Dur, bahwa politik identitas itu bertolak pada substansi demokrasi yakni kedaulatan penuh rakyat.

Politik identitas yang dilakukan Gus Dur adalah melihat pada kebutuhan rakyat tanpa ada embel-embel identitas baik agama, suku, budaya, dan lain sebagainya. Justru politik identitas itu mengarah pada ketidakberpihakan kebijakan pada kaum tertindas, terutama mereka yang dirampas hak hidupnya melalui relokasi lahan, lapangan pekerjaan yang terbatas, akses pendidikan kaum rentan, pemenuhan hak-hak minoritas, dan reformasi agraria bagi rakyat.

Menggunakan politik identitas tidaklah salah sebagaimana Gus Dur melakukannya berdasar apa yang disebut oleh Jürgen Habermas sebagai rasionalitas emansipatoris, yakni pembebasan hak individu dan warga negara dalam mengakses hak dan kewajiban bernegara. Hal inilah yang sebenarnya mesti dilakukan oleh para tokoh politik,, bukan malah mengangkat identitas primordial yang melahirkan perpecahan.

Sebagaimana yang dikatakan Gus Dur, “Yang sama itu janganlah dibeda-bedakan dan yang beda jangan pula disama-samakan”. Hal ini mengindikasikan bahwa politik identitas itu mempertegas dari mana kita berasal, serta memperkuat keberadaan manusia dalam lingkungan yang majemuk untuk menciptakan kebijakan yang sesuai dengan falsafah negara “Bhinneka Tunggal Ika”.

Menurut Teun Van Dijk, salah satu prisma pemikiran Gus Dur dalam politik yakni politics and order, di mana Gus Dur melihat politik itu sebagai tata kelola yang bersifat substantif. Misalnya dalam kasus politik identitas, agama dan demokrasi harus dilihat dengan basis nilai bukan dengan sekedar membawa simbolisasi agama (Islami.co. 2020).

Kemudian Gus Dur juga merumuskan konsep politik identitas dalam konsep politics and virtue, di mana kedudukan politik harus menerapkan etika dan kebijakan. Dalam hal ini, kebijakan yang dimaksud adalah bagaimana kemudian tata kelola aturan harus melihat entitas kehidupan secara komprehensif, terutama melihat status kedudukan masyarakat sebagai warga negara yang berdaulat dan bebas dalam mengakses fasilitas publik. Lebih daripada itu, Islam dalam memandang politik harus mengambil nilai-nilai persamaan, keadilan, musyawarah, kebebasan, dan penegakan hukum yang egaliter.

Pada kesimpulannya politik identitas yang dibawa oleh Gus Dur adalah membangun semangat nalar identitas dan ini jika dilihat secara eksplisit, politik identitas Gus Dur lebih mencirikan semangat kebangkitan Islam dalam ciri pemikiran Islam kiri serta dibangun dalam konsep order, virtue, freedom, happiness, and welfare.

Penggerak Komunitas GUSDURian Bone, Sulawesi Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *