Saya tak ingin serius menuliskan ini. Cukuplah keseriusan saya hanya ketika memandu kegiatan Multistakeholder Meeting atau pertemuan para pengampu kebijakan yang digagas oleh Komunitas GUSDURian Makassar. Hehe. Ide kegiatan ini sebenarnya berangkat dari kepedulian kelompok muda GUSDURian Makassar terhadap isu disabilitas.
Sejatinya, saya pribadi mencemplungkan diri ke dalam isu ini adalah perkara ridho Tuhan. Maksud saya mungkin Tuhan sudah mempersiapkan saya. Ketika putri pertama saya lahir dalam keadaan sebagai penyandang disabilitas, itulah mungkin awalnya. Hingga saat ini saya sebenarnya adalah orang yang senantiasa berpikir tentang yang seharusnya dilakukan, ketimbang yang seadanya saja. Sehingga perjumpaan-perjumpaan saya pada berbagai kendala dan hambatan dalam membesarkan putri saya mungkin menjadi pemicu terlibatnya saya menjadi pegiat isu disabilitas.
Putri saya yang penyandang disability learning atau masuk dalam kategori disabilitas intelektual dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, akan menjelang usianya 13 tahun di Juli tahun depan. Membersamainya sejauh ini, adalah sebuah pergulatan yang menempa saya menjadi aktif menyuarakan hak-hak disabilitas.
Hehehe. Cukuplah curhatan saya di atas menjadi pengantar. Mari berbicara lebih lebar tentang disabilitas dan demokrasi. Pun tentang disabilitas dan pembangunan yang inklusif.
Disabilitas dan demokrasi menjadi tren setidaknya ketika Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) digaungkan dengan prinsip No One Left Behind atau tak ada seorang pun yang tertinggal. Prinsip ini melayangkan ingatan kita pada salah satu jenis kelompok rentan dalam kehidupan masyarakat, yaitu disabilitas. Keberadaan mereka senyatanya cukup banyak tidak dipertimbangkan dalam proses pembangunan. Buktinya? Banyak. Lihat saja misalnya di kota kita belum ada pusat terapi yang mudah diakses oleh berbagai kalangan, kemudian infrastruktur yang belum memadai untuk diakses oleh para disabilitas, ataupun institusi pendidikan yang belum banyak memberikan ruang dan merespons keadaan mereka, sehingga para orangtua harus betul-betul membanting tulang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas untuk mereka.
Sebagai orang yang lima belas tahun bekerja mendampingi pemerintah kota menyelenggarakan pembangunan, isu disabilitas belum menjadi perhatian banyak pihak, kecuali mungkin baru beberapa tahun belakangan. Cukup terlambat jika dibandingkan dengan aksi pembangunan di beberapa negara maju yang telah mempertimbangkan keberadaan disabilitas dalam melaksanakan pembangunan, baik fisik maupun non-fisik. Contoh saja di Jerman, ketika seorang keluarga memiliki anak dengan sindrom down, maka pengasuh atau keluarga yang mendampingi disabilitas tersebut akan diberikan fasilitas tunjangan hidup setiap bulannya, belum lagi ketika mereka mengakses transportasi publik yang gratis bagi anak dengan disabilitas mereka. Atau misalnya saja zona penyeberangan jalan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan sahabat netra kita melalui seperangkat bunyi di tiang lampu lalu lintasnya, sehingga memungkinkan mereka untuk menyebrang secara mandiri. Ah, banyak sekali rasanya yang harus dikerjakan oleh kita semua, apalagi pemerintah kota untuk menunaikan hak disabilitas.
Saya patut bersyukur, sebab pertemuan pada tanggal 29 November 2023 kemarin mampu membangkitkan antusiasme peserta yang datang dari berbagai latar pekerjaan. Kesempatan ini menjadi ajang yang memungkinkan semua pihak saling belajar dan saling mengisi. Dengan metode bercerita dan mendengarkan di sesi pertama, saya ingin menggali pengalaman dari beberapa peserta terkait interaksi mereka dengan disabilitas.
Beberapa cerita terungkap dari peserta, misalnya dari peserta GUSDURian yang menyatakan bahwa proses pemilu belum mempertimbangkan kebutuhan para disabilitas yang dapat dilihat dari kertas suara misalnya. Lain lagi cerita perwakilan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang menyebutkan bahwa banyak dari rumah ibadah, khususnya masjid yang masih belum memberikan akses kepada teman tuli misalnya saat ceramah ramadan, ceramah jumat, atau lain-lain. Selain itu dari Dinas Pendidikan Kota Makassar yang memaparkan program sekolah inklusi untuk semua sekolah di bawah wewenang Pemerintah Kota (Pemkot), yang menurut saya masih sangat terbatas dalam penyediaan layanannya, sehingga masih diperlukan perbaikan di sana-sini.
Untuk lebih memperdalam pemahaman peserta dalam menganalisis persoalan disabilitas dan pembangunan, saya menggunakan metode asesmen cepat dan terpadu. Hal ini memungkinkan semua peserta yang berbeda latar belakang untuk menganalisis fenomena atau data di hadapan mereka, yang kemudian diharapkan menjadi aksi-aksi atau input pembangunan.
Karena waktu kegiatan yang hanya setengah hari, metode analisis ini saya harapkan membantu peserta untuk terbuka dengan segala kemungkinan yang dilakukan untuk memenuhi kehidupan masyarakat dari kelompok disabilitas. Data KPU Kota Makassar mencatat ada 4.430 total pemilih disabilitas. Data tersebut tentu menunjukkan penduduk usia pemilih, belum lagi kita berbicara mengenai anak-anak yang belum masuk dalam kategori pemilih. Data tersebut pasti akan bertambah. Nah, pertanyaannya kemudian, apa yang dilakukan oleh pemerintah untuk mereka yang sudah memilih? Di seputar pertanyaan tersebut tentunya disabilitas menitipkan harapan mereka untuk lebih dilirik.
Kembali saya bersyukur, karena dua sesi yang saya pandu memantik berbagai macam tanggapan dan bahan diskusi. Tak satu pun peserta terlihat mengantuk dan lelah. Sambil dibumbui canda dan tawa, saya menggiring peserta untuk lebih santai dalam pertemuan yang sebenarnya serius itu. Begitulah memang hidup, kadang santai dan serius diperlukan dalam waktu yang bersamaan, tapi tentu tak santai untuk segera mengejar ketertinggalan pembangunan kota kita yang berpihak pada kebutuhan disabilitas.
Sore hari menjelang magrib, jatah saya cuap-cuap hampir selesai. Saya menitip segudang harapan kepada peserta untuk tidak banyak berangan-angan dalam pembangunan, tapi banyak beraksi-aksi…hehe. Pembangunan harus memberikan kebaikan untuk masyarakat, apalagi kelompok rentan, yaitu disabilitas. Kebaikan pembangunan bukan hanya milik non-disabilitas, tapi juga milik mereka yang mempunyai hambatan. Banyak hal yang semestinya dikuliti dalam pertemuan ini, namun waktu jua yang memisahkan saya dengan para peserta. Lain waktu ketika bertemu, saya ingin melihat secara konkret kebaikan pembangunan untuk disabilitas itu. Terima kasih GUSDURian Makassar yang memercayakan saya mengaduk-ngaduk cara berpikir peserta dalam Multistakeholder Meeting tersebut.
Makassar, 12 Desember 2023
___________________
Tulisan ini pertama kali dimuat di andinurfitri.com