Bukber: Pentingnya Refleksi Selain Euforia Melestarikan Tradisi

Puasa Ramadan seakan tak lengkap rasanya bila tidak diiringi euforia bukber (buka bersama). Bukber dipahami sebagai tradisi Ramadan yang mendapat perluasan makna dari acara kendurian atau slametan yang sudah dikenal sejak lama. Bahkan sama dengan tradisi yang sudah dibangun oleh masa Walisongo, tepatnya Kanjeng Sunan Kalijogo yang kental akan tradisi Jawa terutama slametan-nya.

Maka, dalam berpuasa selama 30 hari seakan tak lengkap rasanya jika tidak turut dalam agenda bukber. Bukber menjadi tradisi yang dilakukan oleh kebanyakan Muslim Indonesia yang umumnya dapat dilakukan dengan anggota keluarga sendiri, teman kantor, teman sekolah, kelompok pengajian, kelompok masjid, komunitas, dan sebagainya.

Bukber ini memang seyogyanya dilaksanakan oleh kalangan Muslim saat bulan Ramadan. Terutama jika bisa kita maknai sebagai suatu rasa suka cita perjamuan sosial yang baik, refleksi diri akan rasa persaudaraan, dan sebagai hamba yang bersyukur atas nikmat Allah SWT. Nabi Muhammad Saw mengajarkan kita untuk makan bersama atau berjamaah. Sehingga betapa baiknya makan bersama itu, beliau pun tidak menganjurkan makan dengan keadaan sendiri-sendiri, terutama saat berbuka puasa di bulan Ramadan.

Anjuran Nabi perihal buka bersama adalah karena mendatangkan keberkahan kepada mereka yang melaksanakannya. Nabi sendiri pernah bersabda:

كُلُوْا جَمِيْعًا فَاِنَّ الْبَرَكَةَ مَعَ الْجَمَاعَةِ

“Makanlah kalian secara bersama-sama, sesungguhnya keberkahan ada pada makan bersama.”

Keberkahan dalam bukber hakikatnya dapat menjadi refleksi dan pepeling (pengingat) kita. Rasa senang akan bukber juga perlu dipahami nilai moralnya daripada materil saja. Sebab nilai-nilai moral ini yang nantinya akan mendatangkan keberkahan dan kebahagiaan.

Hakikatnya bukber memiliki tujuan yang sangat baik. Akan tetapi, terkadang dari kita luput akan nilai dan makna bukber sehingga merugikan kita sendiri. Pelaksanaan bukber menjadi sesuatu yang akan bermakna jika kita memahami pentingnya esensi bukber selain ikut-ikutan melestarikan tradisi Ramadan.

Bukber memang seakan menjadi medium yang tepat dalam melampiaskan pertemanan sekaligus keinginan makan setelah seharian berpuasa. Maka, tidak hanya makan bersama, tetapi substansinya adalah menjadi wahana mengikat silaturahmi yang terputus secara fisikal. Meskipun, komunikasi dapat melalui media sosial, akan tetapi perasaan itu akan lebih asyik ketika dapat bertemu langsung atau bermuwajahah.

Ada beberapa hal yang perlu kita amati dan pahami bahwa kegiatan bukber menjadi lebih bermakna dan menggugah hati apabila kita mau merenunginya dengan baik. Kemudian, dapat kita aplikasikan saat bukber berlangsung dan setelahnya.

Pertama, memperhatikan etika saat buka bersama. Etika yang baik ini tak lain bertujuan agar mampu memberikan kesan cerita yang baik kepada orang-orang yang turut hadir saat bukber. Ajang pertemuan dalam kebersamaan hendaknya dihias dengan suasana yang baik. Dalam beberapa kasus yang terjadi, bukber malah menjadi euforia yang berlebihan sehingga waktu untuk beribadah dan berkomunikasi kesannya kurang dapat dan tepat.

Kedua, tidak hanya datang dalam acara, tetapi benar mengikuti sebagai individu yang hadir. Dalam artian, hendaknya saat mengikuti bukber kontak komunikasi benar-benar dibangun dengan teman yang lain. Tidak ada kesan seakan memimpin atau mendominasi dalam pertemuan. Sebab, momen bukber kadang kala menjadi sebuah ajang reuni yakni untuk mempertemukan kerekatan yang sudah lama terjalin dan mungkin renggang dapat terhubung lagi dengan baik.

Ketiga, bersosialisasi dengan baik dengan maksud membangun kerekatan pertemanan dan persaudaraan sehingga dapat terhubung dengan baik. Selain niat kita untuk mendapat keberkahan dan rasa nikmat di bulan Ramadan, kita juga dapat hikmat merasakan buka puasa bersama dalam pertemuan besar dengan membangun kembali dan menjalin hubungan kerekatan antarsesama. Dimulai dengan bertukar kabar, kesibukan masing-masing, hobi yang digemari saat ini, ataupun berbagi cerita di masa kini dengan tidak bercerita dengan maksud menyudutkan siapa pun.

Keempat, utamakan kesederhanaan dan penyesuaian diri dari lingkungan sosial. Di bulan Ramadan, hakikat puasa adalah menahan dari sesuatu yang berlebihan. Sekalipun bukber adalah momen yang mungkin diadakan tiap setahun sekali, prinsip kesederhanaan adalah penting untuk diaplikasikan sebagai seorang muslim sehingga tidak mengaburkan esensi puasa. Kesederhanaan menjadi prinsip penting sebab sesuatu yang berlebihan menghalangi kita merasakan nikmat keberkahan berbuka. Baik sederhana dari pakaian yang dipakai, makanan yang dimakan, atau apapun yang kita tampilkan. Selain itu, kita juga memiliki hak untuk menyesuaikan diri dengan siapa berkumpul. Sehingga tata krama dan sopan santun pada suasana buka bersama tetap bisa terjaga.

Kelima, menjadi ajang untuk berbagi dan belajar bersama. Nikmat bukber juga dapat dirasakan selain untuk ajang bertukar kabar juga menjadi agenda diskusi atau sharing berbagai hal termasuk kajian intelektual. Biasanya agenda seperti ini sengaja dirancang selama Ramadan. Jadi, tidak ada agenda ketat seperti keharusan salat maghrib, isya’ berjamaah, salat tarawih pun cenderung dilewatkan karena anggapan kesunahan saja. Pelaksanaan ibadah dapat dikerjakan sendiri-sendiri sebab dianggap lebih khusyuk.

Keenam, membuat ajang buka bersama dengan berbagi dengan kelompok yang papa. Bukber tidak hanya dimaksudkan untuk berbagi keakraban internal anggota lembaga saja, melainkan dikhususkan untuk berbagi dengan kelompok sosial yang membutuhkan. Misalnya, masyarakat miskin kota (urban poor community), dan orang-orang yang sedang bepergian (musafir).

Pentingnya esensi puasa, tradisi Ramadan, maupun ibadah yang mengiringinya seyogyanya patut dipahami esensi refleksi diri dari sekadar pelestarian tradisi, yang dalam hal ini adalah bukber. Agenda bukber yang kebanyakan menjadi tipikal keberagamaan orang perkotaan menjadi cerminan cara pandang penting akan makna puasa sebenarnya. Sebagaimana atas paparan di atas, ada beberapa kelompok yang memahami bukber dalam hal pengetahuan, kemauan, serta kepentingannya.

Ada yang memahami puasa hanya secara normatif dan personal yang seakan hanya berkutat pada ritus peribadatan semata. Selain itu, mereka yang memahami puasa dari sisi sosialnya dalam kegiatan berbagi secara materil kepada kelompok miskin tidak juga mendalami mengapa mereka miskin, tertindas, dan tidak mencari tahu bagaimana mengubah, memberikan solusi, tanpa membuat mereka ketergantungan. Bagi mereka bulan Ramadan adalah bulan penuh keberkahan dan pahala yang berlipat ganda hanya karena sedekah yang diberikan kepada kelompok yang papa.

Kelompok lain menjadikan puasa sebagai proses refleksi berpikir atas semua tindakan yang dilakukan sebelumnya dan memandang dari konteks kemanusiaan dan kemaslahatan. Bagaimana mereka menjadikan puasa sebagai kekuatan untuk mengubah atau memperbaiki diri dalam pemikiran yang nantinya berimplikasi pada tindakan dalam perubahan kondisi yang sarat akan nilai-nilai kemanusiaan dan harmonisasi sosial.

Penggerak GUSDURian Tulungagung, Jawa Timur.

1 Comment

  1. yopmail
    April 16, 2024

    Your articles never fail to captivate me. Each one is a testament to your expertise and dedication to your craft. Thank you for sharing your wisdom with the world.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *