Social Media

Ussul Orang Mandar: Dari Tradisi, Vibrasi, hingga Hukum Tarik-Menarik dalam Kehidupan

Al-Qur’an menyebutkan bahwa seluruh yang ada di alam semesta ini memiliki energi dan bertasbih kepada Tuhan sang Maha Esa. Semua makhluk hidup, termasuk hewan, tumbuhan, benda-benda padat maupun halus, masing-masing bergerak sesuai dengan caranya. Manusia, entah paham atau tidak, melihat atau tidak, merasakan atau tidak, juga memiliki vibrasinya sendiri. [1]

Keterhubungan inilah yang kemudian menjadi bagian dari pola laku orang Mandar terkait dengan ussul [2]. Inilah salah satu kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat Manda di bidang kebudayaan. Sebuah kekayaan yang tidak bisa dicuri ataupun dirampas oleh bangsa mana pun, dengan catatan bahwa ia dijaga dan dilestarikan secara turun temurun. Tradisi ussul masih dipertahankan sebagai bagian dari pola laku masyarakat yang banyak mendiami provinsi Sulawesi Barat tersebut.

Mengenal Ussul Orang Mandar

Pemahaman tentang ussul di kalangan orang Mandar sejatinya belum bisa dijelaskan kepada masyarakat umum secara detail, kecuali hanya pada tataran praksisnya. Ussul adalah sebuah kearifan lokal yang diyakini orang Mandar, namun belum bisa memuaskan pikiran banyak orang, terutama yang mengandalkan rasionalitas dan pembenaran logis.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ussul adalah sebuah tradisi, baik yang diucapkan, digerakkan, maupun hanya sekedar diyakini dalam perasaan dan pikiran. Ussul bisa dikatakan sebuah identitas yang melekat dan menjadi bagian hidup orang-orang Mandar. Terma ini sekaligus bisa diterjemahkan sebagai doa ataupun pengharapan atas sesuatu, baik yang diniatkan dalam hati saja, maupun digerakkan dengan sebuah gerak ataupun dengan tanda.

Ussul menjadi salah satu bentuk keyakinan yang telah diwariskan secara terus menerus sampai generasi hari ini. Macam rupa dan bentuknya pun beragam. Ada ussul yang hanya sekadar diniatkan (walau hanya duduk, diam, merenung), ada juga ussul berupa gerakan yang dilakukan oleh seseorang yang meyakini ussul tersebut.

Secara ilmiah mungkin belum ada yang bisa membuktikan relasi antara ussul dengan apa yang kelak diharapkan. Namun, dalam keyakinan orang Mandar, kerap kali ussul yang diyakininya menjadi kenyataan sesuai dengan harapan yang diinginkannya. Oleh karena itu, keyakinan akan ussul ini kemudian senantiasa terjaga, dan tentu tidak mungkin tetap eksis manakala seseorang tidak memilih aspek kemanjuran.

Tidak mungkin orang Mandar masih mempertahankannya ketika tidak ada hal baik yang terbukti dari penerapannya. Tidak mungkin pula perbuatan selalu dijaga kalau tidak menghasilkan apa-apa yang mendatangkan kebaikan.

Ussul memiliki konteks yang amat luas. Tradisi ini bisa dikatakan memayungi beberapa tradisi yang lain, misalnya putika, pemali, pappejappu, loa para’bue, [3] dan lain sebagainya. Di kalangan orang Mandar, ada sebuah istilah yang sangat familiar, yaitu ”Tanda memang mane miakke”. Sebuah kalimat yang mengandung doa yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “sampai sebelum berangkat”.

Ini telah diyakini dari dahulu hingga sekarang. Orang yang hendak berangkat menuju ke suatu tempat sering kali mengaplikasikannya. Dengan duduk tenang, memperbaiki posisi duduk dan tarikan napas, sambil membayangkan bahwa ia sudah berada di tempat yang ia tuju. Ini merupakan ussul dan tetap diyakini hingga saat ini. Ussul tersebut dijalankan tanpa dibarengi dengan gerakan berarti.

Selain itu, ussul juga acap kali dilakukan dengan sebuah gerak atau tindakan yang diperbuat oleh seorang yang melakukannya. Misalnya seorang nelayan Mandar. Ketika mereka bepergian untuk melaut, sang istri di rumah akan dengan sabar menanti di rumah. Ussul yang diterapkan dalam hal ini misalnya piring terakhir yang dipakai untuk makan sang suami dibiarkan tidak dicuci dulu. Ini sebagai bentuk keyakinan bahwa sang suami akan kembali dengan selamat sama dengan keadaan ketika piring itu ditinggalkannya.

Di kalangan orang Mandar masih banyak kepercayaan tentang hari baik, hari buruk, perbuatan yang bisa mendatangkan petaka, pamali, dan lain sebagainya. Semua hal ini merupakan turunan dari tradisi ussul tersebut. Namun, satu hal yang menjadi benang merahnya adalah persoalan keyakinan akan apa yang tertanam dalam hati dan terlintas dalam pikiran. Ussul lebih mengedepankan kekuatan perasaan dan pikiran.

Sebelum berangkat berarti yakin bahwa ia pasti akan sampai. Suami dengan ussul piringnya yang tidak dicuci adalah ussul yang juga sarat dengan keyakinan utuh. Keyakinan akan adanya hari baik akan mendatangkan sesuatu yang baik adalah juga ussul. Jadi, semeua yang berbau ussul pasti identik dengan kekuatan pikiran dan perasaan.

Ussul dan Tafa’ul

Ussul mengajarkan praktik kehidupan untuk mendapatkan hal-hal baik dalam hidup. Sebagai contoh, ketika ada orang menikah biasanya didahului dengan kegiatan maccanring (peminangan). Saat itu ada salah satu ussul yang diterapkan, yaitu pihak mempelai pria membawa buah kelapa, namun tidak dimasukkan ke dalam rumah sang mempelai perempuan.

Tujuannya agar rumah tangga antara kedua mempelai tersebut nantinya menjadi harmonis, di dalam rumah tangga saling bahu-membahu, dan saling memberi apa yang mereka punya. Hal ini dikarenakan buah kelapa, yang meskipun ‘serumah’ (satu tandan), namun masing-masing memiliki airnya sendiri. Beda buah, beda lagi airnya. Ini adalah simbol yang tidak diinginkan di dalam rumah tangga.

Praktik ussul tersebut sejalan dengan konsep tafa’ul dalam Islam. Dalam penerapannya, tafa’ul tersebut mengandung optimisme, keyakinan yakin, serta senang hati dalam melakukan suatu perkara atau menyebut suatu benda. [4] Istilah tersebut dipahami pula sebagai tanda akan kebaikan. Demikian halnya dengan ussul yang dilakukan dengan penuh optimisme serta senang hati dan tidak terpaksa dalam melakukannya. Hal ini tentu dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

Laku tafa’ul ini pernah dilakukan oleh Rasulullah. Alkisah, saat itu beliau melakukan shalat istisqa untuk meminta hujan. Di tengah-tengah doa dalam khotbahnya, Rasulullah kemudian membalikkan telapak tangannya ke bawah sementara punggung tangannya menengadah ke atas langit. Hal ini dilakukan sebagai bentuk ikhtiar dengan optimisme akan datangnya hujan. Sebuah kondisi yang berbalik dari keadaan sebelumnya yang mengalami kekeringan.

Ketika orang Mandar mendefinisikan contoh dari Rasulullah tersebut, maka pasti menyebutnya sebagai sebuah ussul. Yaitu adanya suatu kebaikan yang ingin dicapai, dilandasi rasa optimis, serta didukung dengan sebuah upaya atau ikhtiar.

Ussul dan Hukum Vibrasi 

Ussul dan hukum vibrasi adalah dua hal yang berbeda. Sepintas akan terlihat sangat berjauhan, namun ternyata dekat. Sekalipun ussul bernuansa lokalitas, sementara hukum vibrasi dalam sebuah hukum semesta yang mengglobal, tetapi ini cukup menarik dibincang dalam narasi tulisan ini. Boleh jadi hukum vibrasi ini menjadi pintu membuka tabir tentang ussul untuk lebih dipahami sebagai sebuah bangunan pengetahuan yang ilmiah.

Penulis menyimpulkan bahwa ussul adalah tradisi yang berhubungan erat dengan hukum vibrasi. Sebuah hukum yang tidak bisa ditolak karena menjadi sunnatullah, sama halnya dengan posisi hukum kekekalan energi, hukum relativitas, hukum gravitasi, dan lain sebagainya. Tidak ada yang bisa membantahnya karena menjadi bagian dari ketetapan Tuhan yang Maha Kuasa.

Apa itu hukum vibrasi? Lantas apa esensinya dengan ussul? Pertanyaan yang menarik untuk diurai dan boleh jadi menjadi sebuah diskursus yang baru. Hukum vibrasi merupakan hukum alam semesta, di mana hukum ini lebih memusatkan pada pikiran dan perasaan. Hukum ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini memiliki getaran dan frekuensinya masing-masing atau yang disebut sebagai vibrasi dan vibes. Nah vibrasi adalah energi, dan energi tidak dapat dimusnahkan, hanya bisa berpindah ataupun berubah bentuk.

Lantas apa hubungannya dengan ussul? Yah tentu jelas hubungannya. Tradisi ussul mengedepankan kekuatan perasaan/hati dan pikiran. Tentu kedua organ tersebut memiliki getaran dan frekuensinya masing-masing (mikrokosmos). Getaran tersebut berupa pengharapan, keyakinan terhadap sesuatu yang akan terjadi, itulah yang kemudian akan beresonansi ke alam semesta yang lebih luas (makrokosmos). Getaran itu juga akan terhubung satu sama lain. Dengan itu pula maka semesta akan mengamini dan mengikuti getaran yang berasal dari hati dan pikiran si pelaku ussul tersebut.

Untuk contoh lebih lanjutnya, misalnya ada orang yang lagi bersedih dan menangis, maka keadaan tersebut akan terhubung keluar dan bagi orang di sekitarnya juga akan mengikuti getaran yang ada tersebut. Orang di sekitarnya pun akan ikut bersedih dan menangis. Ini menunjukkan bahwa getaran yang berasal dari materi akan cenderung menghasilkan getaran dari materi B, C, dan seterusnya.

Orang yang satu bersedih, maka orang kedua, ketiga, dan seterusnya akan ikut dalam irama yang sama, yaitu bersedih dan menangis. Ketika ussul ‘sampai sebelum berangkat’, maka vibrasi yang terbangun itu adalah keadaan ‘sampainya’. Nah, vibrasi atau getaran tersebut akan mengalir ke alam semesta dan diwujudkan pada getaran yang sama pula.

Law of Attraction dan Ussul

Law of attraction (LoA) atau yang lebih dikenal dengan Hukum Tarik-Menarik menitikberatkan pada energi dalam diri kita yang akan menarik energi yang sama dari luar. Sebagai contoh misalnya, ketika dahulu, di masa perjuangan Indonesia, kita mengetahui bahwa seorang Presiden Soekarno ketika berpidato senantiasa menggebu-gebu, bergelora dan penuh semangat.

Ini adalah energi yang dimiliki dan dipancarkan oleh sang proklamator tersebut, dan secara spontan akan diikuti oleh orang-orang di sekelilingnya yang juga penuh dengan semangat, gairah dan berapi-api. Ini bukti bahwa energinya sama. Energi positif menarik energi positif yang lain. Semangat yang dimiliki oleh Soekarno menarik energi semangat yang ada pada orang-orang yang mendengar pidatonya tersebut. Semangat tersebut terhubung ke alam semesta.

Demikian halnya dengan ussul. Ia pun sarat dengan hukum tarik-menarik. Di mana pelaku ussul ini sejatinya diliputi hukum ini ketika menerapkannya. Sebagai contoh, ini pun bisa terlihat dari ussul ‘tanda’ memang mane miakke’. Energi yang terbentuk melalui proses penyelarasan pikiran, perasaan serta tindakannya.

Ketiga elemen itu menuju pada titik ‘sampai’ tersebut. Misalnya si A mau berangkat ke Kota B, maka sebelum ia berangkat, terlebih dahulu ia menyelaraskan pikiran dan perasaannya, bahwa ia sudah sampai di kota B. Ini merupakan seh yang pada posisinya membentuk vibrasi atau getaran yang menarik getaran dari alam semesta. Sehingga semesta pada ujungnya mengamini untuk mendapatkan fakta bahwa si A sampai ke Kota B. Contoh lain, ketika kita merasa senang, maka itu akan menarik energi atau vibrasi senang dari luar dari kita, sekeliling kita pun akan ikut senang. Ketika anak senang, maka orang tuanya pun ikut senang.



_______________________________________

[1] Iihat Al-Isra Ayat 44

[2] Dimaknai sebagai sebuah tradisi yang dilakukan sebagai ikhtiar untuk mendapatkan sesuatu yang diidamkan, diimpikan. Atau dengan kata lain bahwa ia adalah sebuah doa, baik yang diucapkan, disimbolkan, ataupun digerakkan secara langsung.

[3] Pedoman penentuan hari baik, pantangan ,meditasi, dan mantra

[4] Baca Jurnal Islam dan Masyarakat Kontemporari Keluaran Khas., 2011, 83-92

Penggerak Senior Komunitas GUSDURian Majene, Sulawesi Barat. Pegiat Literasi PaGi Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *