Dalam pidato bersejarahnya pada 16 Agustus 2004, menjelang HUT RI ke-59, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menyampaikan refleksi mendalam tentang makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia—pesan yang tetap relevan hingga HUT RI ke-79.
Pada saat itu, Indonesia sedang berjuang untuk keluar dari krisis multidimensi untuk membangun kembali demokrasi. Pidato Gus Dur tidak hanya menjadi catatan penting dalam sejarah bangsa, tetapi juga memberikan inspirasi bagi generasi mendatang untuk terus memperjuangkan nilai-nilai luhur kemerdekaan dan keadilan.
Artikel ini merupakan catatan reflektif dari acara “Cangkrukan Pemikiran Gus Dur Spesial 17 Agustus 2024” yang membahas tema “Kemerdekaan, Demokrasi, dan Kebebasan Berekspresi”. Diskusi ini menganalisis secara mendalam pidato Gus Dur pada 16 Agustus 2004, serta mengaitkannya dengan kondisi Indonesia saat ini.
Meredefinisi Kemerdekaan ala Gus Dur
Bagi Gus Dur, kemerdekaan bukan hanya sekadar bebas dari penjajahan, tetapi juga merupakan proses dinamis yang terus berkembang dan membutuhkan upaya bersama untuk mewujudkannya. Salah satu poin penting yang tersirat dan ditekankan dalam pidato Gus Dur adalah bahwa kemerdekaan adalah sebuah kata kerja.
Artinya, kemerdekaan bukan hanya tujuan akhir, melainkan juga proses yang harus terus diperjuangkan. Kemerdekaan harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui tindakan nyata, seperti memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan hak-hak asasi manusia.
Marleni Adiya, pemantik diskusi cangkrukan, menyoroti dua hal penting dalam pidato Gus Dur: pertama, makna demokrasi dari perspektif bangsa Indonesia, dan kedua, bagaimana menerapkannya sebagai tindakan.
Gus Dur melihat demokrasi Indonesia lahir dari keberagaman yang menjadi modal besar bagi bangsa ini. Menurutnya, “demokrasi Indonesia kuncinya adalah keberagaman” dan bagaimana mengelola nilai-nilainya.
Gus Dur juga menekankan pentingnya keadilan dalam berbagai dimensi—ekonomi, politik, dan keamanan—karena di era Orde Baru, hukum dan keamanan sering menjadi instrumen yang merusak nilai demokrasi.
“Jadi kalau kita refleksikan, apa yang menjadi pidato Gus Dur 20 tahun yang lalu kok terjadi kembali,” papar Leni.
Leni menyatakan bahwa hukum sering digunakan untuk kepentingan politik, memengaruhi aspek sosial, ekonomi, dan politik. Apa yang disinggung Leni bukan tanpa dasar. Misalnya saja, putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia calon presiden dan wakil menimbulkan kecurigaan adanya pengaruh politik.
Penggunaan hukum untuk mengokohkan dominasi politik mengancam supremasi hukum dan melemahkan fondasi demokrasi, dan itu adalah senjata Orba yang kembali digunakan pasca reformasi.
Keadilan Sosial sebagai Tujuan Utama
Keadilan sosial menjadi salah satu fokus utama dalam pemikiran Gus Dur. Ia menekankan pentingnya negara hadir untuk memastikan bahwa seluruh rakyat mendapatkan hak-haknya secara adil dan merata.
Gus Dur sangat memperhatikan isu keadilan, dan kisah baru-baru ini semakin menegaskan pentingnya hal tersebut. Seorang pengemudi ojek online di Medan, Darwin Mangudut Simanjuntak, meninggal pada Minggu, 11 Agustus 2024, hanya beberapa hari sebelum peringatan HUT RI ke-79, karena kelaparan.
Ya, karena kelaparan, dan itu hanya salah satu dari ribuan orang Indonesia yang mati kelaparan. Yang membuat kisah ini semakin memilukan adalah fakta bahwa selama hidupnya, Darwin juga merawat kakaknya yang mengalami gangguan jiwa (ODGJ). Namun, keadilan tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang politik, hukum, dan sosial.
Ferry Mahulette, seorang peserta cangkrukan, bercerita tentang kesulitan yang dialami warga Tionghoa di Yogyakarta, yang tidak diizinkan memiliki aset dan properti, serta rumah tinggal; mereka hanya bisa menggunakan hak guna usaha (HGU).
Ferry juga terkejut saat melihat buruh gendong dan tukang becak tidur di emperan Pasar Beringharjo demi bisa bekerja pagi-pagi.
“Aku melihat di tengah gemerlapnya Jogja sebagai kota pariwisata, masih ada ketidakberpihakan pemerintah terhadap tunawisma. Perlu dipertanyakan di mana letak kemerdekaan itu.”
“Membaca pidato Gus Dur mengingatkan saya kembali pada cita-cita kemanusiaan,” sambung Ferry.
Tantangan Implementasi Demokrasi
Meskipun telah merdeka selama puluhan tahun, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mewujudkan demokrasi yang sejati.
Gus Dur melihat demokrasi sebagai proses dinamis, dengan keadilan sebagai salah satu pilar utamanya. Bagi beliau, keadilan mencakup dimensi luas, meliputi aspek ekonomi, politik, dan keamanan.
Menurut Gus Dur, negara harus hadir untuk memastikan keadilan terwujud bagi seluruh rakyat, karena demokrasi tanpa keadilan tidak mungkin terwujud.
Pengalaman etnis Tionghoa di Yogyakarta, seperti yang diceritakan Ferry, menjadi bukti nyata adanya ketidakadilan dalam akses terhadap hak milik. Padahal, mereka adalah warga negara dan bahkan fasih berbahasa Jawa.
Situasi ini menggarisbawahi ketidaksetaraan yang masih terjadi di tengah masyarakat kita, yang bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi keadilan.
Kesimpulan
Soekarno telah mengantarkan kita pada ‘gerbang kemerdekaan’. Namun, kunci untuk membuka gerbang itu masih terus kita tempa meski di saat perut lapar. Perjuangan kita belum usai hingga kita benar-benar merdeka dalam segala aspek kehidupan.
Senada dengan pidato Gus Dur yang mengajarkan kita bahwa kemerdekaan adalah sebuah proses dinamis, kata kerja yang membutuhkan kerja sama. Demokrasi dan keadilan menjadi pilar penting dalam membangun “bangsa yang merdeka”.
Sayangnya, ketidakadilan masih menjadi masalah yang menghantui Indonesia. Kita perlu belajar dari pemikiran Gus Dur untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang sejati.