KABUPATEN GORONTALO – Gus Dur dan Dialog Liberatif menjadi tema Majelis Taklim GUSDURian Kabupaten Gorontalo. Majelis Taklim ini merupakan arena silaturahmi berbagai kalangan untuk mendiskusikan multi isu berbasis sembilan nilai utama Gus Dur.
Pada pertemuan perdana tersebut, Majelis Taklim GUSDURian dipantik langsung oleh Samsi Pomalingo selaku akademisi dan pembina GUSDURian Kabupaten Gorontalo, yang dilaksanakan di Taman Budaya Limboto, Minggu (22/9/2024).
Dalam pembahasannya, pria yang akrab disapa Romo Samsi itu menyebut dialog liberatif sebenarnya merupakan antitesis dari model dialog kebanyakan di Indonesia. Menurutnya, liberatif sebetulnya refleksi terhadap beberapa pemikiran teologi pembebasan yang digagas oleh Asghar Ali Engineer (seorang pemikir Islam kontemporer) dan Hasan Hanafi. Melalui refleksi ini yang kemudian lahir teori dialog liberatif (pembebasan).
Menurut Romo Samsi, kerangka berpikir Gus Dur menggunakan pendekatan tokoh Asghar Ali Engineer. Menariknya adalah Gus Dur berdialog dengan orang-orang di luar Islam, misalnya perjumpaan Gus Dur dengan Romo Mangunwijaya. Bagi Gus Dur, dialog bukan hanya sekadar obrolan biasa, melainkan mendiskusikan atau membicarakan perbedaan sebagai pertanggungjawaban global (global responsibility).
Dalam kerangka pikirnya, dialog liberatif berdasar pada tiga kerangka utama yakni, tauhid sebagai episentrum gerakan, hermeneutika sebagai alat penafsir, dan materialisme historis.
“Tauhid ini kemudian dielaborasi oleh Gus Dur, dijadikan sebagai episentrum di dalam membangun gerakan pembebasan. Bahwa di dalam dialog itu tidak hanya sekadar bertemu, say hello. Akan tetapi di dalam dialog itu haruslah melahirkan apa yang disebut sebagai global responsibility,” ungkapnya.
Sementara hermeneutika (Schleiermacher) menjadi acuan kerangka oleh Gus Dur dalam merumuskan dialog liberatif, lanjut Romo. Bagi Gus Dur hermeneutika cocok digunakan dalam perspektif dialog liberatif karena cara pandangnya dalam menginterpretasikan teks dari ruang yang agak sesak ke ruang yang lebih fleksibel.
”Misalnya ayat Al-Quran jangan dipahami sebagai sesuatu yang tidak bisa disentuh atau sesuatu yang tidak bisa diotak-atik. Gus Dur bilang bagaimana mungkin ayat Al-Qur’an bisa kontekstual kalau tidak ditafsirkan secara sosiologis. Sederhananya adalah bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci yang tidak hanya bersifat teoritis akan tetapi harus lebih bersifat praktis,” sambungnya.
Dijelaskan Romo Samsi, materialisme historis oleh Gus Dur tidak dipandang sebagai -MDH Marxis- akan tetapi justru Gus Dur melihat ada proses antara kitab suci sebagai pedoman dalam kehidupan.
“Maka materialisme historis yang digunakan oleh Gus Dur dalam membangun dialog liberatif bukan pada aspek politik tetapi pada aspek agama yang memiliki kekuatan pembebasan. Tiga hal ini yang mendasari kenapa Gus Dur membuat dialog liberatif, yang pada dasarnya agama tidak hanya menjadi fungsional dan hanya menjadi bacaan akan tetapi bisa bersifat kontekstual,” tutupnya.