Jaringan GUSDURian dan Perludem mengadakan diskusi bertajuk “Media Sosial Pasca-Politik 2024: Mewujudkan Ruang Digital yang Demokratis” pada Kamis, 13 Februari 2025 di Hotel Oria, Jakarta Pusat. Agenda ini diselenggarakan untuk melaporkan hasil temuan terkait pemantauan ruang digital selama Pilkada 2024. Laporan itu kemudian dijadikan rekomendasi kepada Bawaslu dan perusahaan platform media sosial agar ada upaya perbaikan regulasi di masa mendatang demi terciptanya ruang digital yang demokratis.
Dalam sambutannya, perwakilan Koalisi Damai Bayu Wardana menyebut bahwa edukasi dan literasi pada masyarakat itu penting, namun perlu didukung dengan panduan komunitas platform. “Pada konteks pemilu, ujaran kebencian ternyata masih banyak yang lolos,” ujarnya. Menurutnya, akan lebih baik jika platform memiliki filter informasi yang mengarah kepada kebencian. “Kita belajar dari pemilu 2024, apa yang ditemukan pada pemilu 2024 ini bisa jadi pembelajaran,” sambungnya.
Heru Prasetia dari Tim Riset dan Publikasi Jaringan GUSDURian memaparkan temuannya mengenai narasi-narasi yang beredar di ruang maya di tiga wilayah, yaitu Jawa Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Melalui gerakan Gardu Pemilu, GUSDURian mendapatkan 93 data yang dikategorikan sebagai informasi berbahaya. Dalam pemantauan ini, Heru juga menyebut adanya satu temuan terkait ujaran yang menyinggung atau offensive speech.
“Ini berbeda dari hate speech yang selama ini kita kenal. Jika hate speech menyasar pada identitas tertentu, offensive speech sama sekali tidak terkait dengan identitas. Misalnya kata makian yang ditujukan pada sosok tertentu,” ujarnya. Heru juga menemukan adanya konten misoginis yang merendahkan perempuan di beberapa lokasi yang memiliki calon kepala daerah perempuan.
Peneliti Perludem Usep Hasan Sadikin memaparkan temuan lembaganya saat memantau percakapan di media sosial melalui mesin khusus. Perludem menemukan Pilkada 2024 masih diwarnai dengan konten berbahaya ujaran kebencian, termasuk terhadap kelompok LGBT, ODGJ, PKI, dan janda. Lebih lanjut, empat kata itu juga menjadi bagian kata dalam viralitas ujaran kebencian yang bisa menyudutkan calon tertentu untuk menurunkan elektabilitas. Perludem menemukan Facebook sebagai platform yang punya kebijakan menghapus konten yang mengandung kata ujaran kebencian, khususnya yang berdasar gender dan seksualitas, seperti ‘LGBT’ dan ‘Janda’.
Perludem juga menyoroti penggunaan bot dalam ruang maya sebagai upaya viralitas. Melalui mesin yang digunakan, lembaga ini menemukan bot masih banyak digunakan. Meski demikian, aktifnya pengguna manusia membuat tren percakapan masih didominasi oleh pengguna organik.
Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty mengapresiasi riset yang dilakukan oleh Jaringan GUSDURian dan Perludem. Baginya, ini adalah bukti keterlibatan masyarakat sipil dalam mengawal Pilkada yang demokratis di ruang digital. Ia mengakui saat ini belum ada norma dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada yang secara spesifik mengatur disinformasi dan ujaran kebencian.
“Objek pengawasan Bawaslu dibatasi pada pelaku kampanye dan waktu kejadian pada masa kampanye sehingga berdampak kepada terbatasnya proses penanganan pelanggaran terhadap gangguan informasi di ruang digital,” ujarnya. Saat ini Bawaslu memperkuat kewenangannya melakukan pengawasan siber melalui kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (sekarang Komdigi).
Sementara Sherly Haristya, penanggap dari LSPR Institute of Communication & Business menyebut riset ini berguna bukan sebatas untuk Pemilu, namun juga untuk tata kelola media sosial dan kehidupan bermasyarakat di Indonesia secara lebih luas.
“Karena di sini menunjukkan bahwa ada kontestasi, ada perbedaan pendapat, keywords tertentu, bisa diatur atau tidak diatur oleh platform media sosial,” ucapnya.