Dalam momen Ramadan 2025 ini, polisi di Lombok Tengah memancing keributan di jagat maya. Inisiatif mereka untuk memberlakukan “tilang syariah” menuai perdebatan di media. Apa itu tilang syariah? Tilang syariah merupakan cara unik polisi Lombok untuk menindak pelanggar lalu lintas. Bedanya dengan tilang biasa terletak pada jenis konsekuensi yang diberikan.
Umumnya, polisi menahan kendaraan atau memberikan denda sejumlah uang. Akan tetapi dalam tilang syariah, polisi hanya meminta pelanggar membaca Al-Qur’an. Jika bisa membaca dengan lancar dan benar, maka pelanggar akan dibebaskan dari tilang. Dalam pemberitaan Jawa Pos, AKBP Iwan Hidayat menginisiasi tilang syariah ini dengan tujuan untuk menggunakan pendekatan yang humanis pada para pelanggar lalu lintas, khususnya bagi Muslim di Lombok Tengah.
Mengetahui hal tersebut mungkin ada yang heran dan bertanya-tanya, “Lalu bagaimana dengan pelanggar lalu lintas yang tidak beragama Islam?”. Bersiap-siaplah, jawabannya mungkin agak mencengangkan. Wartapolri.co.id mengabarkan bahwa untuk pengendara non-Muslim, mereka akan diberi pengetahuan mengenai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Islam, namun tidak diwajibkan untuk membaca Al-Qur’an. Sebagai gantinya, mereka akan diberikan arahan terkait keselamatan berkendara dan aturan lalu lintas yang berlaku.
Anda heran? Saya juga. Sepintas konsekuensi bagi pengendara tampak sama, tapi itu jauh dari kata adil. Mengapa Muslim harus melakukan sesuatu yang berkaitan dengan agamanya, sedangkan non-Muslim justru terkesan dipaksa harus mengerti sesuatu yang tidak sesuai dengan agamanya?
Sesat Pikir dalam Tilang Syariah
Ada banyak sesat pikir dalam kebijakan tilang syariah ini. Pertama, saya ingin terlebih dahulu mengingat hukum yang berlaku di Indonesia. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Kita tidak boleh lupa bahwa undang-undang juga telah menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara. Dalam penerapan tilang syariah, polisi sebagai penegak hukum justru mengkhianati prinsip penegakan hukum yang mestinya adil bagi setiap orang tanpa memandang suku, agama dan ras. Terlihat jelas bahwa penerapannya sangat bias keagamaan.
Meskipun mayoritas penduduk Lombok Tengah adalah Muslim, tapi tilang yang diberlakukan seharusnya juga mengakomodir minoritas agama seperti komunitas Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Bukannya menegakkan ketertiban dan kedisiplinan lalu lintas, peraturan semacam ini justru sangat diskriminatif. Terlebih alternatif sanksi bagi non-Muslim yang melanggar lalu lintas sama sekali tidak relevan.
Sampai di sini, dalam penerapan tilang syariah sangat tampak adanya gejala mayoritarianisme karena terlampau mengedepankan atau menguntungkan kelompok mayoritas Muslim. Pada level yang lebih jauh, gejala ini berpotensi meningkat pada sikap eksklusivisme dan intoleran struktural karena pelakunya adalah aparat negara. Singkatnya, tilang syariah justru menunjukkan penyimpangan polisi terhadap hukum dan konstitusi yang berlaku di Indonesia.
Kedua, dari sisi tanggung jawab polantas. Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2012 pasal 3 poin (d) menyebutkan bahwa kewajiban umum polisi lalu lintas adalah melakukan tindakan pengaturan lalu lintas dalam rangka memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas. Apa yang dilakukan oleh polisi Lombok, sepintas terkesan baik: meningkatkan semangat keagamaan, gemar membaca Al-Qur’an dan mendapat pahala, sebagaimana disebutkan AKP Puteh.
Akan tetapi kebijakan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan tanggung jawab dan prosedur operasi standar polantas. Pun sama sekali bukan tugas polisi untuk meningkatkan religiusitas masyarakat. Alih-alih menertibkan, tilang syariah malah mewujud sebagai bentuk pengabaian polisi atas tugas dan tanggung jawabnya. Selain itu, dari sudut pandang logika hukum, pemberian sanksi membaca Al-Qur’an untuk pelanggar lalu lintas tentu tidak efektif dan terpisah jauh antara tujuan hukum dengan implementasinya. Apa hubunganya pelanggaran lalu lintas dengan kemampuan baca Al-Qur’an? Cukupkah itu membuat jera para pelanggar?
Tilang Syariah vs KBB
Meskipun peraturan tersebut tidak lagi diberlakukan setelah menuai banyak pro dan kontra, tapi kejadian tersebut menunjukkan bahwa anggota kepolisian belum sepenuhnya memahami tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Kurangnya kesadaran polisi atas hal ini telah menambah daftar panjang pelanggaran hak atas KBB di Indonesia. Di tahun 2023, Setara Institute telah mencatat adanya 217 peristiwa dengan 329 tindakan pelanggaran KBB di Indonesia. 114 dari 329 tindakan pelanggaran dilakukan oleh aktor negara. Sebagai aktor negara, kepolisian menempati peringkat kedua dengan menyumbangkan 24 tindakan pelanggaran atas KBB.
Laporan Tahunan Komnas HAM tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2016 menyebutkan pelanggaran hak atas KBB adalah perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar agama dan keyakinan yang dapat mengakibatkan penderitaan, kesengsaraan, dan kesenjangan sosial warga negara Indonesia. Pelanggaran itu bisa bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal (antarwarga negara sendiri). Merujuk pada pengertian tersebut, tilang syariah tentu melahirkan kesenjangan sosial dalam pengimplementasiannya. Tidak bisa tidak, penguatan pemahaman KBB bagi para anggota kepolisian adalah hal yang mendesak dilaksanakan.
Fenomena semacam ini sebetulnya bukan untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia. Sebelumnya telah ramai polemik soal perda syariah, dan ini polanya bisa disejajarkan dengan aturan tilang syariah. Meski seorang Muslim, saya pribadi tidak mendukung berlakunya perda/aturan yang berbingkai syariah ini. Alasannya pertama, kita hidup di negara demokrasi yang menjunjung kebebasan dan kesetaraan. Bingkai syariah jelas meminggirkan orang-orang non-Muslim. Padahal dalam konteks demokrasi, setiap orang apa pun latar belakangnya (termasuk agama), harus dijamin kesetaraan haknya dan harus sama dihadapan hukum. Bingkai syariah juga bertolak belakang dengan semangat kebhinekaan serta realitas kehidupan plural di Indonesia.
Ungkapan Akhmad Sahal ketika mengomentari perda syariah juga relevan untuk merespons tilang syariah ini. Ia berpendapat cara terbaik untuk menerapkan syariah adalah dengan kesukarelaan bukan paksaan. Syariah semestinya dijalankan atas kehendak murni dari masing-masing pribadi masyarakat tanpa adanya intervensi dari aparat negara. Dengan demikian, baik masyarakat maupun negara tidak terjebak pada formalisme agama, yakni beragama secara buta sekaligus mengabaikan nilai-nilai dasar untuk mencapai keselarasan dan keharmonisan kehidupan sosial.
Terakhir, saya ingin meninjau kembali pernyataan AKBP Iwan Hidayat. Apakah tilang syariah tepat dikatakan sebagai pendekatan humanis bagi pelanggar lalu lintas? Berdasar argumen-argumen yang telah saya sampaikan di atas maka jawabannya adalah tidak. Bagaimana mungkin aturan yang diskriminatif pada agama minoritas disebut sebagai pendekatan yang humanis? Ketidakadilan serta pelanggaran KBB juga bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Saya berharap, kejadian ini akan terus menjadi pengingat bagi setiap masyarakat, penegak hukum, dan pemangku kebijakan agar tidak lagi melanggar kebebasan beragama dalam setiap perilaku, tindakan, dan keputusannya. Terlebih jika keputusan itu berdampak pada masyarakat luas.