Sejarah

Beberapa tahun lalu, saya mengikuti Peringatan Gwangju Uprising di Korea Selatan. Ini adalah peristiwa demonstrasi besar-besaran kota Gwangju pada 18 Mei 1980, melawan rezim otoritarianisme. Setiap tahun, warga Korea Selatan memperingati hari perjuangan demokrasi ini dengan khidmat melalui berbagai kegiatan.

Upacara formal diselenggarakan di taman makam para korban demonstrasi tersebut. Pada salah satu bagian, ada nisan-nisan yang didedikasikan kepada para korban hilang yang jasadnya tidak pernah ditemukan.

Tak jauh, berdiri sebuah museum untuk merekam jejak sejarah dan penghormatan kepada para pejuang demokrasi. Melalui museum, taman makam, dan peringatan tahunan, bangsa Korea Selatan menutup fase sejarah tersebut dengan kesadaran baru tentang cita-cita kolektif mereka. Menutup tanpa pernah melupakan.

Di Montgomery, Alabama, Amerika Serikat, saya berkunjung ke Rosa Parks Museum yang menyimpan benda-benda bersejarah perjuangan persamaan hak warga kulit putih dan kulit berwarna. Di beberapa titik museum, saya menahan kengerian menyaksikan memorabilia, foto, dan diorama kekejian yang dialami oleh kaum kulit berwarna Amerika.

Saat pertama berkunjung ke Berlin bertahun-tahun lalu, kawan-kawan mengajak saya mengunjungi berbagai tempat memorial kekejaman Nazi di Jerman. Demikian pula di Museum of World Peace yang saya datangi di Kyoto, Jepang. Catatan sejarah tentang fase imperialisme Jepang tidak hanya digambarkan dari kacamata Jepang, tetapi juga dari rekam pengalaman para korbannya di negara-negara Asia. Sebuah pengakuan yang luar biasa membutuhkan kebesaran jiwa untuk mengakuinya.

Saya suka mengunjungi memorial-memorial seperti ini di berbagai penjuru dunia karena menyimpan perjalanan sejarah dan perubahan budaya masyarakat setempat. Dan secara khusus, saya suka mengunjunginya karena tempat-tempat ini juga berfungsi sebagai monumen historical closure (pengakhiran fase sejarah) yang biasanya kelam bagi sebuah komunitas.

Historical closure pascakonflik terkait politik sangat penting bagi sebuah negara bangsa. Tidak cukup hanya dengan mengingat jejak-jejak konfliknya, bangsa dan negara perlu bersikap terbuka untuk mengakui realitas pahit yang terjadi, memahami kompleksitas persoalannya, dan tentunya mengambil pelajaran berharga dari sana. Hanya dengan ini, bangsa tersebut dapat melakukan rekonsiliasi, menyembuhkan luka-luka batin bangsa dan warganya, lalu bergerak ke arah masa depan.

Dalam artikel jurnal berjudul When the past haunts the present: intergroup forgiveness and historical closure in post World War II societies in Asia and in Europe (2013), tim peneliti Hanke et al menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang memengaruhi intergroup forgiveness (permaafan antarkelompok masyarakat), yaitu historical closure (pengakhiran fase sejarah) dan perceived costs of granting forgiveness (persepsi atas harga yang harus dibayar untuk memaafkan).

Tanpa historical closure, permaafan antarpihak-pihak menjadi lebih berat untuk diwujudkan. Apalagi apabila pihak-pihak yang terlibat menganggap bahwa harga yang harus dibayar terlalu mahal untuk mengakui keterlibatan dan kesalahan mereka.

Padahal, sejarah yang berujung menggantung alias tidak punya closure akan menjadi api dalam sekam. Ini menyebabkan ketegangan, membentuk prasangka dan sikap tidak adil yang menetap bahkan diwariskan lintas generasi. Masyarakat kemudian terbelah dalam iklim saling tidak percaya, yang menjadi sebuah kerentanan sosial.

Dengan historical closure, pengalaman pihak-pihak, terutama pengalaman korban, diakui sebagai sesuatu yang valid. Hal ini akan membuat semua pihak terdampak dapat memulai proses penyembuhan luka kolektif. Setelah itu, tali persaudaraan barulah bisa menguat menjadi kohesi sosial. Historical closure juga akan menjadi instrumen merawat ingatan dan nalar bangsa. Pada gilirannya, ini akan berpengaruh pada pengambilan keputusan pada masa depannya.

Di Indonesia, kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah tentang melengkapi sejarah bangsa. Banyak penggal sejarah yang masih remang-remang karena belum ada historical closure yang jelas dan tegas. Bahkan kita harus akui bahwa banyak penggal sejarah yang diingkari dengan cara melakukan reframing (pembingkaian ulang atau pemaknaan ulang) terhadap fakta sejarah. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, misalnya.

Selaras penyimpulan Hanke, barangkali ini karena persepsi atas harga yang dibayar terlalu tinggi bagi pihak-pihak terkait. Dan keramaian akhir-akhir ini tentang penulisan ulang sejarah Indonesia menjadi contoh anekdotal bagi kesimpulan riset Hanke dan kawan-kawannya tersebut. Karena kita belum pernah mendapatkan historical closure yang tegas, sangat mudah bagi penguasa untuk memberi makna ulang dengan cara mengutak-atik sejarah yang ada. Walhasil, masyarakat pun mempertanyakan dan menolak.

Apalagi blunder pernyataan tentang pemerkosaan massal tahun 1998 yang dilontarkan oleh Menteri Kebudayaan. Pengingkaran ini sangat menyakitkan dan menakutkan bagi keluarga dan komunitas korban tahun 1998, serta bagi masyarakat lebih luas. Pada gilirannya, sikap masyarakat kepada penguasa tentu akan terpengaruh oleh langkah penguasa terkait sejarah bangsa ini.

Sejarah ditulis oleh para pemenang, kata orang bijak di masa lalu. Tetapi di zaman teknologi informasi yang menyediakan banyak pintu alternatif, hampir tidak mungkin merepresi fakta sejarah atau melakukan klaim kebenaran sejarah untuk selama-lamanya. Sesungguhnya, pendekatan kekuasaan tidak akan lagi efektif karena kebenaran sejarah akan mencari jalannya sendiri.

Jim Collins dalam buku Good to Great (2001) menuliskan bahwa para pemimpin besar memiliki karakter khusus: mereka siap menghadapi fakta-fakta brutal. Seburuk apa pun, berani menghadapi kenyataan adalah fondasi untuk mewujudkan kemajuan.

Sejatinya, hanya dengan historical closure yang baik, bangsa kita bisa melangkah maju dari belenggu beban sejarah yang masih menggantung. Yang dibutuhkan hanyalah kebesaran jiwa dan komitmen pada nilai yang luhur: cita-cita kolektif sebagai bangsa.








_______________

Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 22 Juni 2025

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *