Gus Dur dan Teori Humor

“Gus Dur mengucapkan politik secara humor dan mendengarkan humor secara politik. Dan ia tidak peduli mana sebab dan akibat.” (Rocky Gerung)

Bertold Brecht boleh mengatakan “Sengsara, hidup di negara yang tidak memiliki humor. Tetapi lebih sengsara lagi, hidup di negara yang membutuhkan humor”. Namun, bangsa-bangsa yang berperadaban tinggi cenderung memiliki humor yang baik. Persia mempunyai Abu Nawas (756-814), penyair dan sosok bijak dan kocak. Turki memiliki Nasrudin Hodja, sufi satririkal yang meninggal pada abad ke-13. Inggris melahirkan Charlie Chaplin (1889-1977). Rusia dan negara-negara Eropa Timur melahirkan cerita-cerita humor yang getir. Tak dapat disangkal, humor merupakan bagian penting dari kebudayaan dan peradaban bangsa. Bagaimana Indonesia, siapa tokoh humor kita?

Abdurrahman ad-Dakhil atau Abdurrahman Wahid, lebih dikenal Gus Dur adalah sosok yang unik dan kontroversial. Humornya sering mengundang gelak-tawa, dan gagasan-gagasannya sering mengejutkan dan memicu perdebatan. Namun semua itu seolah semakin mengukuhkan kecerdasan, wawasan, serta visinya yang jauh ke depan.

Gus Dur itu seperti meteor kaum Nahdliyin yang sulit dicari bandingnya. Lelaki kelahiran Denanyar, Jombang itu menguasai khazanah pemikiran Islam tetapi juga akrab dengan khazanah Barat. Gus Dur menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Prancis dengan baik. Fasih membaca kitab kuning namun juga akrab dengan ilmu sosial dan buku-buku kiri, pecandu sastra dan musik, serta sepak bola. Masa remajanya dipenuhi gabungan tiga hal: kegilaan atas sepak bola, kecintaan akan buku, dan kegandrungan terhadap musik.

Pada saat santri-santri NU masih tenggelam dengan tafsir, hadis dan ushul fiqh (kitab kuning), Gus Dur sudah membaca Das Kapital-nya Karl Marx, What is to be Done-nya Lenin, dan Prison Notebook-nya Gramsci, serta bergumul dengan novel-novelnya John Steinbeck, Hemingway, Tolstoy, dan Dostoevsky. Ketika warga NU hanya mengenal rebana dan kasidahan, dan para kiai masih berselisih paham soal hukum sejumlah alat musik, Gus Dur sudah khusuk dalam kemerduan suara Ummi Kultsum dan kemegahan karya Bethoven dan Bach, serta entakan Janis Joplin lewat lagunya Summertime dan Me and Bobby MeGee.

Di antara presiden-presiden Indonesia yang memiliki banyak gelar doktor Honoris Causa, tampaknya hanya KH. Abdurrahman Wahid yang layak juga mendapat gelar doktor Humoris Causa. Gus Dur identik dengan humor. Hakekat pemikiran Gus Dur adalah humor. Karena itu, Gus Dur dan humor bagai dua sisi mata uang. Memisahkan Gus Dur dari lelucon ibarat mencoba memisahkan rasa manis dari gula atau memisahkan rasa asin dari garam. Ia piawai menciptakan, mengadaptasi, mengumpulkan, dan menyampaikan humor. Tak heran, putri bungsu Gus Dur, Inayah Wahid, suatu saat mengatakan, “Gus Dur itu sesungguhnya adalah komedian yang punya profesi sampingan sebagai presiden, kiai, budayawan, dan penggerak sosial,” (dalam kata pengantar Sujiwo Tedjo: Kelakar Madura Buat Gus Dur, Imania, hlm. 8). Sebelum stand up comedy menjadi tren sekarang ini, Gus Dur telah memulai dengan ceramah-ceramah sampai pidato-pidato saat menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Gus Dur tidak hanya mumpuni dalam menciptakan, mengadaptasi, mengumpulkan, dan menyampaikan humor, juga paham teori-teori humor dari perspektif psikologi, sosiologi, antropologi, taksonomi, sampai politik. Keahlian Gus Dur dalam teori-teori humor bisa kita lihat pada tulisannya berjudul “Melawan Melalui Lelucon” (Majalah Tempo, 19 Desember 1981) dan kata pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia (Pustaka Grafitipres, Maret 1986). Selain itu saat presentasi pada diskusi “Suksesi dan Humor: Mengintip Demokrasi dari Lubang Humor”, September 1992 yang diselenggarakan Yayasan Pijar, Lembaga Humor Indonesia (LHI) dan Majalah humor. Ketiganya membuktikan Gus Dur mumpuni dalam teori dan praktek humor.

Pada September 1992 di TIM, Emha Ainun Nadjib bahkan membandingkan Gus Dur dengan Asmuni, pelawak Srimulat. “Gus Dur dan Asmuni itu berasal dari desa yang sama, Ndiwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Sebenarnya Asmuni yang layak menjadi Ketua NU dan Gus Dur yang Srimulat.

Gus Dur dan Teori Humor:

Humor itu serius. Demikian dikatakan Arwah Setiawan, pendiri dan tokoh Lembaga Humor Indonesia (LHI) pada ceramah di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, 27 Juli 1977. Makna serius antara lain pada proses penciptaan karya, pesan moral yang ingin disampaikan, dan keinginan humor sejajar dengan seni sastra, teater, dan lainnya. Arwah Setiawan juga menulis, humor adalah rasa atau gejala yang merangsang kita untuk tertawa atau cenderung tertawa secara mental. Rangsangan bisa berupa rasa atau kesadaran di dalam diri kita (sense of humor); bisa berupa suatu gejala atau hasil cipta dari dalam maupun dari luar diri kita. Untuk dapat mengamati, merasakan, atau mengungkapkan humor, seseorang memerlukan kepekaan terhadap humor. (M. Darminto Sudarmo, Anatomi Lelucon, Penerbit Buku Kompas, 2004, hlm. 218)

Sementara Leiber (dalam Mulyana, 2008: xiv) berpendapat bahwa: “lelucon sering dibuat mengenai hal-hal paling ditakuti, dan bahwa tertawa memungkinkan penjagaan jarak, melepaskan tegangan dan sekaligus kelegaan”. Demikianpun humor merupakan sebuah aktivitas komunikasi, tidak sepenuhnya mampu dijelaskan melalui teori-teori komunikasi lainnya. Humor merupakan sebuah peristiwa yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu, humor dikaji dengan berbagai sudut pandang, mulai dari sudut pandang filsafat, psikologis, sosiologis, dan komunikasi.

Rocky Gerung, sahabat Gus Dur, menjelaskan tentang humor dan filsafat (kumpulan makalah simposium humor nasional, Jakarta, Sepetember, 2016: hlm. 13), “Paradoks adalah alat berpikir yang jitu untuk mengeksploitasi humor. Di sisi lain, humor juga mengajarkan konsep “relativitas” (bahwa posisi adalah soal sudut pandang), “dialektika” (bahwa yang baik berasal dari yang buruk), “nihilisme” (bahwa setiap makna mengandung kontradiksi). Filsafat tak pernah berseberangan dengan humor. Mereka memakai jembatan yang sama, yaitu, “reasoning” (penalaran). Bedanya, bila filsafat menjaga keutuhan penalaran, humor justru memporak-porandakannya. Jadi, dua-duanya adalah aktivitas kecerdasan. Untuk memporak-porandakan logika, seorang harus memiliki kecerdasan tinggi. Humor adalah filsafat yang mendialektisir dirinya sendiri.

Filsafat berurusan dengan argumen, Hanya dalam argumentasi pikiran diloloskan. Bukan dengan doa atau ultimatum. Argumentasi diuji dalam koherensi penalaran. Humor adalah filsafat yang mengekstrimkan penalaran ke batas daya dukung argumen. Pada ekstrim itu paradoks muncul sebagai tacit knowledge. Adalah transaksi kecerdasan intersubyektif yang melumerkan keketatan argumen demi menghasilkan “suasana”. Humor adalah filsafat yang “bersuasana”. Kita dapat membawa soal ini dalam kelas psikoanalisa, dan memahaminya sebagai “pelepasan” seksual dalam format Lacanian. Yaitu subyek mencapai kelengkapan. Itulah pengalaman kebebasan. Jadi, humor adalah suatu peristiwa politik dalam upaya manusia menyelesaikan konfrontasi dengan institusi-institusi peradaban: agama, istana, dan kapital. Negara yang kekurangan humor tak punya alasan untuk merdeka. Negara merdeka yang menyensor humor adalah negara yang kekurangan IQ. Kecerdasan politik terbaca dalam kemampuan seseorang menghumorkan suasan tanpa kehilangan fokus kritik.

Mohamad Sobary pada simposium humor nasional (September, 2016) mengatakan, “Pada umumnya, humor ‘dicipta’ oleh humoris tulen untuk mengundang gelak tawa yang segar, dan sehat, sehingga misi humor terpenuhi dan misi kita “mampir ngguyu” tak begitu sia-sia.” Orang yang punya kemampuan seperti itu biasanya juga bukan pelawak. Dia hanya berkata secara rileks, apa adanya, dan ketika orang lain terbahak-bahak, dia sendiri tak ikut ketawa, Gus Dur jelas termasuk jenis itu tetapi ada sedikit bedanya: ada kalanya—meskipun tidak seperti Eddy Syd atau pelawak lain yang tak lucu—Gus Dur suka ikut ketawa dan muncullah humor-humor berikutnya.

Jaya Suprana (pembelajar humor sebab tidak mengerti apa sebenarnya yang disebut humor itu), dalam kata pengantar buku Humor Politik karya Milo Dor & Reinhard.F (Grafiti Pers, 1989) mengatakan humor biasanya tumbuh di suasana yang kontradiktif dan munafik, di mana realita tidak sesuai bahkan bertolak belakang dengan apa yang diidamkan. Maka tak heran apabila salah satu masalah yang sering menjadi bulan-bulanan humor adalah politik.

Politik menciptakan konstelasi herarkis di struktur kehidupan manusia, di mana ada kelompok yang berkuasa dan kelompok yang dikuasai. Kesenjangan kekuasaan itu, secara langsung atau tidak, dalam kadar tertentu, sering menimbulkan tegangan dan tekanan, terutama pada pihak yang dikuasai. Humor merupakan salah satu cara untuk membebaskan diri dari beban tekanan. Dengan humor seolah jenjang beda kekuasaan lenyap. Tertawa memang merupakan sarana demokratisasi yang paling ampuh. Karena tertawa penguasa memang tak banyak beda dengan tertawa mereka yang dikuasai. Hanya mungkin yang satu bisa tertawa lepas secara terbuka, sementara yang lain secara sembunyi.

Di samping politik dihumorkan, ternyata juga bisa dipolitikkan. Humor bisa menjadi senjata agitasi politik yang ampuh. Jaya Suprana mengutip film The Great Dictator. Di situ Charlie Chaplin tampil konyol dengan kostum dan gaya persis Adolf Hitler. Film ini disambut gelak tawa di seluruh dunia kecuali di Jerman. Humor juga bisa dimanfaatkan untuk merobohkan suatu pemerintahan. Contohnya adalah lelucon-lelucon yang menelanjangi nepotisme dan keserakahan Ferdinand dan Imelda Marcos, kaum oposisi berhasil menggalang persatuan dan mengobarkan semangat juang. Sehingga pada 1986 Marcos jatuh, lari ke Hawaii.

Humor politik lebih menggebu di suasana diktatoris, tidak demokratis. Karena itu tidak heran bahwa George Orwell sampai memperingatkan: “Hati-hati terhadap lelucon politik. Di dalam setiap lelucon politik selalu terselip sebuah revolusi kecil!”

Menurut Arwah Setiawan (1997) dalam bukunya Humor Zaman Edan, ada enam manfaat humor dalam kehidupan manusia dan masyarakat. Pertama, hiburan, katarsis atau pengenduran ketegangan. Kedua, tolok ukur sekaligus pendorong intelegensi. Ketiga, ungkapan sekaligus perangsang kreativitas. Keempat, sarana informasi yang enak diterima. Kelima, kritik sosial atau social corrective yang masih akseptabel. Keenam, sarana pendewasaan jiwa manusia, penunjang faktor mental “ketahanan personal” maupun “ketahanan nasional”.

Dalam berbagai ceramah dan tulisan, menunjukkan Gus Dur paham teori-teori humor. Ia mampu menjelaskan teori humor sekaligus memberi contoh lelucon yang sesuai. Gus Dur juga piawai menjelaskan humor politik. Salah satu tujuan humor politik adalah protes terselubung. Ia juga sebagai wadah ekspresi politis yang kegunaannya minimal akan menyatukan bahasa rakyat banyak dan mengidentifikasi masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan. Tidak muluk-muluk, lelucon juga memiliki kemampuan untuk menggalang kesatuan dan persatuan, minimal dengan jalan mengidentifikasi “lawan bersama”. Lelucon juga dapat berfungsi sebagai kritik terhadap keadaan tidak menyenangkan di tempat sendiri. Protes terhadap penyalahgunaan wewenang oleh tokoh-tokoh yang berkuasa sering sekali dituangkan dalam bentuk lelucon. Selain itu, terkadang lelucon berfungsi sebagai pelepas kejengkelan orang banyak kepada penguasa yang dianggap sudah bertindak terlalu jauh membohongi dan menyakiti hati rakyat.

Bagaimana humor yang baik menurut Gus Dur? Lelucon yang baik jika memiliki unsur-unsur ‘humor yang mengena’. Unsur surprise atau kejutan pada akhir cerita musti ada. Juga ada sindiran halus, yang mengajukan kritik atas hal-hal yang salah dalam kehidupan, tetapi tanpa rasa kemarahan atau kepahitan hati. Tak lupa unsur rasionalitas dalam cerita dan unsur kearifan dalam penyelesaian atau semacam solusi.

Bagi Gus Dur (2000: 272), lelucon itu merupakan protes terselubung. Meski kurang efektif lelucon sebagai wahana ekspresi politis sebenarnya memiliki kegunaan sendiri, minimal menyatukan bahasa rakyat banyak dan mengidentifikasi masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan. Seperti lelucon Gus Dur di bawah ini. Pada saat kampanye pemilu era Orde Baru seorang pejabat berpidato di depan ribuan massa. “Saudara-saudara siapa yang membangun jalan dan jembatan?” tanya pejabat itu. “Golkaaar,” jawab massa. “Siapa yang membangun sekolah dan pasar?” tanya pejabat lagi. “Golkaaar” jawaban massa menggema. “Begitu kok dibilang korupsi. Siapa yang korupsi?” gerutu pejabat itu lirih. Lagi-lagi massa menjawab,” Golkaaaar.”

Ekspresi politis yang menunjukkan kebosanan masyarakat terhadap suatu pemimpin juga diceritakan Gus Dur ke publik (termasuk saat ceramah di TIM, September 1992) melalui lelucon. Ada seorang pemimpin yang setiap tiga bulan sekali pergi ke tukang cukur langganannya. Setiap pemimpin itu cukur rambut, si tukang cukur selalu bertanya tentang suksesi. “Bagaimana pak, suksesi sudah ada penggantinya?” tanya tukang cukur. ”Belum,” jawab pemimpin itu lalu bicara soal lain.Tiga bulan kemudian pemimpin itu cukur lagi. “Bagaimana suksesi, sudah ada penggantinya pak?” tanya tukang cukur. “Belum,” jawab pemimpin itu dan berlanjut bicara topik lain. Tiga bulan berikutnya terjadi dialog antara pemimpin dan tukang cukur. “Bagaimana suksesi, sudah ada penggantinya belum?” tanya tukang cukur. “Kamu ini bagaimana sih selalu tanya soal pengganti saya. Kamu tidak suka dengan saya tetap menjadi pemimpin ya?” jawab sang pemimpin dengan nada tinggi. Dengan tenang tukang cukur itu menjawab, “Bukan begitu pak, kalau saya tanya bapak sudah ada penggantinya atau belum, bulu kuduk bapak berdiri. Jadi saya gampang motongnya….”

Cerita lain, masih mengenai kebosanan terhadap sebuah rezim, yang sering diceritakan oleh Gus Dur merupakan adaptasi dari humor Barat. Ada seorang pemimpin yang sudah lama memimpin, pada suatu hari berkeliling di pinggiran hutan dengan berkendaraan kuda. Ketika akan menyeberang sebuah jembatan, kuda yang dinaikinya terkejut melihat derasnya arus sungai di bawah jembatan itu. Sang pemimpin terjatuh dari kudanya dan terperosok ke dalam sungai itu, dan hanyut terbawa arus deras. Namun, setelah hanyut cukup jauh, ia ditolong oleh seorang pengail ikan yang pekerjaannya tiap hari mengail di tempat itu. Dengan rasa terima kasih sangat besar, ia menyatakan kepada pengail miskin itu siapa dirinya, dan betapa besarnya jasa pengail itu kepada negara, dengan menolong dirinya. Ditanyakannya kepada pengail tersebut, apa hadiah yang diinginkannya sebagai imbalan atas jasa sedemikian besar itu. Dengan kelugasan orang kecil, pengail itu menjawab: “Satu saja, Paduka. Tolong jangan ceritakan kepada siapa pun bahwa sayalah yang menolong Paduka.”

Masih tentang lelucon yang menunjukkan kebosanan. Pada suatu hari di era Orde Baru yang saat itu menteri penerangan dijabat oleh Harmoko (dulu sering diplesetkan Hari-hari Omong Kosong), terjadi dialog antara pembeli dan pedagang elektronik di kawasan Glodok, Jakarta. “Silakan bang pilih merk TV yang mana?” tanya pemilik toko. “Ada nggak merk TV yang siarannya nggak ada Harmokonya?”

Mengutip Gus Dur pada kata pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia (1986), Rasa humor dari sebuah masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain. Kepahitan akibat kesengsaraan, diimbangi oleh pengetahuan nyata akan keharusan menerima kesengsaraan tanpa patahnya semangat untuk hidup. Dengan demikian humor adalah sublimasi dari kearifan sebuah masyarakat.

Mustofa Bisri atau Gus Mus bersama Amang Rahman dan Zamawi Imron mengadakan pameran lukisan. Mereka mengundang Gus Dur membuka pameran lukisan. Dalam sambutannya, Gus Dur antara lain mengatakan, “Sudah tahu orang tidak bisa melihat, kok disuruh membuka pameran lukisan….” (Jaya Suprana: 2013).

Masih cerita Gus Mus, suatu ketika Gus Dur menelpon dari Kuba dari forum pertemuan kepala-kepala negara. “Wah saya baru saja dapat giliran pidato dan mendapat aplaus yang gegap gempita dari hadirin,” katanya dengan ketawa. “Wah, apa yang sampeyan omongkan kok sampai mendapat sambutan begitu meriah?” tanya Gus Mus. “Bukan soal apa yang saya omongkan, tapi saya diberi tahu bahwa karena banyak pemimpin negara yang harus pidato, maka masing-masing dibatasi hanya boleh berbicara 5 menit. Untuk itu disiapkan di atas mimbat lampu merah-hijah-kuning kayak di MTQ itu lho. Kuning artinya siap-siap, merah berarti sudah 5 menit, harus berhenti. Lha saya tidak melihat, kok bisa pas 5 menit. Itu yang membikin mereka bertepuk tangan.”

Humor lain yang menertawakan diri sendiri seperti pernah diceritakan Gus Dur berikut ini. “Pak Harto dulu presiden new order. Pak Habibie, presiden in order, boleh juga out of order. Dan Gus Dur sendiri?” “Saya presiden no order,” katanya. (Hamid Basyaib & Fajar W Hemawan, Saya Nggak Mau Jadi Presiden Kok!, Alvabet: hal 121)

Atau yang satu ini. Saat banyak tuntutan mundur sebagai presiden terhadap Gus Dur yang dituduh terkait skandal Brunaigate, dengan enteng Gus Dur menjawab, “Sampeyan ini bagaimana, wong saya ini maju saja susah, harus dituntun, kok disuruh mundur…”

Gus Dur dan Pratik Humor:

Gus Dur jauh sebelum menjadi presiden adalah aktivis yang rajin dan kreatif membuat humor untuk menyindir penguasa. Sebagain besar lelucon itu terlihat jelas merupakan adaptasi dari lelucon serupa dari mancanegara terutama Eropa Timur. Dalam salah satu teori humor politik, makin tertindas masyarakat, makin kreatif mereka mencipta humor untuk meledek penguasa, sebab mereka tahu pasti: mengritik secara terbuka adalah bunuh diri. Satu sindiran halus pernah disampaikan Gus Dur kepada penguasa Orde Baru. “Kalau anak orang kaya ulang tahun atau menikah dibelikan TV. Kalau anak penguasa ulang tahun atau menikah dibelikan stasiun TV,” ujar Gus Dur. Tentu publik mengetahui setelah TVRI, menyusul TV swasta RCTI dan TPI yang dimiliki keluarga Presiden Soeharto.

Pasca reformasi 1998, bermunculan banyak partai termasuk yang dari kalangan warga nahdliyin. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dibesut Gus Dur adalah satu dari sekian partai yang mengasosiasikan diri sebagai partainya NU. Namun dengan cerdas Gus Dur mengatakan, “NU itu seperti induk ayam. Dari pantatnya keluar telur dan juga tai. Nah PKB adalah telur yang lain tai ayamnya….”

Gus Dur tak sempat mengurus negara, karena sibuk mengumpulkan lelucon. Komentar Arief Budiman Ph.D (Hamid Basyaib & Fajar W Hemawan: 2000), sahabatnya di Forum Demokrasi itu tampaknya tidak dimaksudkan untuk melucu. Ketika kritik dari “tukang kritik” itu disampaikan ke Presiden Gus Dur, tanggapannya biasa saja. “Biar saja Arief Budiman ngomong begitu. Nanti toh kalau negaranya makin tertib, ekonominya makin baik dan masyarakatnya makin sejahtera, semuanya pada seneng. Nanti toh orang tahu, biar saya melucu-lucu begini, tapi bisa ngurus negara. Arief itu kadang-kadang bagus juga, kok…kadang-kadang..”

Arief Budiman dan sebagian lainnya, mungkin cenderung melihat kegemaran Gus Dur berlelucon, yang makin menjadi-jadi saat menjabat presiden, sebagai kelemahan ketimbang kekuatan. Sementara itu pula banyak yang melihat justru kegemaran berhumor itu merupakan kekuatan Gus Dur daripada kelemahannya. Bahkan ada yang meyakini, sebagian sukses Gus Dur selama ini, baik dalam mencapai dan menjalankan kepemimpinannya di Nahdhatul Ulama maupun kepresidenannya, cukup banyak disumbang oleh bakat yang luar biasa dalam memanfaatkan humor.

Jika saja urusan perhumoran itu dibuat kepangkatan lengkap dengan bintangnya seperti pada institusi TNI, Gus Dur pasti sudah menyandang jenderal alias bintang empat. Tetapi banyak orang percaya, ia tak terlalu gembira dengan pangkat bintang empat, bukankah selama ini Gus Dur adalah pemimpin sebuah organisasi Islam terbesar dengan logo bintang sembilan?

Tidak seperti para kandidat presiden Amerika Serikat yang menyewa penulis humor untuk memasok lelucon kepadanya, bagi Gus Dur penulis humor adalah dirinya sendiri. Gus Dur pernah mengutip joke tentang tiga calon kuat presiden Amerika kandidat dari Partai Demokrat. “Saya tadi malam mimpi diberkati Tuhan.” Kata Adlai Stevenson kepada dua calon lainnya, Hubert Humprhrey dan Lyndon Johnson. “Aneh, saya juga bermimpi yang sama, sehingga kans kita tampaknya sama,” sahut Humphrey. Yang “menang” adalah Johnson, yang keheranan dan berkata, “Lho, bagaimana mungkin? Saya kok tidak merasa memberkati kalian?”

Cerita Gus Dur yang juga mengutip joke Barat pernah disampaikan pada diskusi suksesi dan humor pada September 1992 di TIM Jakarta. Pada suatu ketika di sebuah penjara Havana, Kuba ada tiga orang dalam sebuah sel. Ketika itu Kuba dalam keadaan darurat militer. Terjadi dialog di dalam sel itu. “Saya ditahan karena demo mendukung Che Guevara,” kata seorang tahanan. “Lho kok aneh, saya dijebloskan ke penjara ini karena aksi menentang Che Guevara?” jawab tahanan lainnya. Mereka bingung lalu sepakat bertanya kepada seorang yang diam di pojok sel. “Kami yang mendukung dan menentang Che Guevara sama-sama ditahan penguasa, Anda ditahan karena apa?” Dengan kalem orang ketiga itu menjawab, “Saya Che Guevara!” Inilah contoh humor tentang kebingungan atau kekacauan pada suatu bangsa.

Ketika Gus Dur menjadi presiden, sebagian rakyat juga menikmati lelucon-leluconnya melalui pidato-pidato maupun cerita di balik cerita. Begitu dilantik menjadi presiden Gus Dur sudah mulai melucu dengan menyamakan DPR seperti Taman Kanak-kanak (TK). Sebagian anggota dewan yang terhormat tersengat, sebagian santai, woles saja. Pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Gus Dur-Megawati, juga menjadi bahan lelucon bagi Gus Dur. Mengejek diri sendiri atau self-mockery itu pula yang dilakukan dalam pertemuan besar bisnis internasional di Bali, akhir 1999. Di depan ratusan peserta dari berbagai negara, dengan rileks Gus Dur bicara dalam bahasa Inggris yang fasih. “Presiden dan wakil presiden kali ini adalah tim yang ideal,” katanya. “Presidennya tidak bisa melihat, dan wakilnya tidak bisa ngomong…”

Mengejek diri sendiri adalah salah satu ciri kedewasaan seseorang. Itulah yang pernah dilakukan Gus Dur pada acara talk show dengan Jaya Suprana di stasiun televisi TPI. “Apakah Gus Dur ini adalah presiden yang paling kocak di dunia? Ada enggak presiden lain yang lebih lucu?” tanya Jaya Suprana. “Wah, soal itu saya enggak tahu. Yang jelas, saya ini nyasar. Mustinya jadi pelawak kok malah jadi presiden.” (Menurut Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, kadang-kadang Gus Dur lupa bahwa dia presiden). Lalu Gus Dur mengemukakan perbedaan dirinya dengan presiden RI sebelumnya. Presiden pertama kita itu disebut gila wanita, Presiden kedua gila harta, Presiden ketiga gila beneran. “Dan, presiden RI keempat, membikin rakyatnya gila….”

Kisah berikut ini benar-benar terjadi. Gus Dur ingin menunjuk Mahfud MD (MD ada yang menyebut Madura) sebagai menteri pertahanan. Mahfud menyangka dirinya akan diminta menjadi menteri pertanahan karena masih ada kaitan dengan masalah hukum, keahlian selama ini. Saat bertemu Presiden Gus Dur, Mahfud mengatakan, “Pak presiden terima kasih atas penunjukan saya sebagai menteri pertahanan, tetapi saya ini tidak berpengalaman di bidang pertahanan.” “Wis antum tenang saja bisa tanya-tanya ke pak Yudhoyono. Kalau soal pengalaman, lha saya juga tidak berpengalaman menjadi presiden kok…” (Mahfud MD: 2000).

Kebiasaan Gus Dur membuat pernyataan kontroversial sempat membuat kegaduhan yang tak perlu. Saat di Ambon terjadi kerusuhan bernuansa SARA, Gus Dur menyatakan bahwa provokator kerusuhan adalah seorang petinggi tentara bernama “Mayjen K”. Siapa pula orang ini? Seperti biasa Gus Dur tak menjelaskannya. Tapi Mayor Jenderal Kivlan Zein merasa terserempet, lalu segera menemui di rumahnya untuk minta penjelasan. Setelah berbicara beberapa waktu, keduanya keluar dan menyampaikan keterangan kepada pers. Menurut Gus Dur, yang dimaksud “Mayjen K” itu bukanlah Kivlan Zein. Dan dia minta supaya masalah ini tidak usah diperpanjang lagi. Tapi orang masih penasaran. Kalau begitu siapa yang dia maksud dengan “Mayjen K”? Sambil terkekah, Gus Dur menjawab, “Mayjen K itu maksudnya Mayjen Kunyuk (monyet). Habis, apa namanya kalau kerjanya jadi dalang kerusuhan..” Masih terkait soal kerusuhan Ambon, Gus Dur didemo di depan istana oleh ribuan orang yang hendak berjihad di Ambon. Dia lalu menyatakan bahwa pemerintah akan bertindak tegas. “Saya tidak peduli. Yang Kristen kek, yang Islam kek, kalau mengganggu keamanan akan kiat tindak. Mau jihad kek, mau jahid kek, kalau mengganggu akan ditangkap.” (Basyaib, Hamid & Fajar W. Hermawan: 2000, hlm. 43)

Seno Gumira Adjidarma dalam bukunya Antara Tawa dan Bahaya: Kartun dalam Politik Humor (Kepustakaan Populer Gramedia, 2012) menulis tentang pernyataan GM Sudarta. Karikaturis Kompas itu mengatakan pemimpin bangsa ini sikapnya selalu seperti siklus yang berulang. Setiap sampai kali ke puncak kekuasaan, sepertinya si presiden enggan menerima kritik pers. Soekarno melemparkan tuduhan kontrarevolusi, antek imperialis, atau Manikebu. Presiden Soeharto menggunakan Surat Izin Terbit (SIT), Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), dan ancaman pembredelan. Presiden Abdurrahman Wahid menuduh pers suka memelintir berita. Presiden Megawati Soekarnoputri merasa dipojokkan oleh pers. Dan terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengimbau pers jangan memperolok bangsa. Pernyataan tersebut terdapat dalam buku 40 Tahun Oom Pasikom: Peristiwa dalam Kartun Tahun 1997-2007 (GM Sudarta mengakhiri kariernya di Kompas tahun 2007).

GM Sudarta kadang menerima ancaman dan teror. Pernah suatu hari ia menerima telepon dari seseorang yang kurang senang dirinya mengkarikaturkan Gus Dur. Si penelpon bertanya dalam nada retoris sekaligus mengandung makna implisit, “Pak GM, apa sampeyan (kamu) pernah merasakan rendang bom?” Pengalaman GM Sudarta, pernah juga dialami Miing Bagito dan redaksi Jawa Pos yang digeruduk massa pendukung Gus Dur karena lawakannya dan beritanya dianggap menyinggung Gus Dur. Namun tentu belum bisa dipastikan bahwa upaya pembungkaman itu datang dari “perintah” Gus Dur atau hanya inisiatif dari para pendukung Gus Dur belaka.

Gus Dur dan Komunikasi Politik:

Sebagai presiden, sosok Abdurrahman Wahid sangat unik. Seperti Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, tingkah laku Gus Dur cukup sulit dipahami. Amien Rais, doktor ilmu politik dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, misalnya, pernah mengatakan bahwa ada tiga hal yang tak seorang pun dapat memastikan, yaitu jodoh, ajal, dan apa yang akan dilakukan Gus Dur. Presiden Gus Dur hampir setiap minggu menggulirkan isu politik yang, menurut Amien Rais, kerap mengguncang masyarakat. “Di kalangan elit politik saja membingungkan, apalagi di kalangan rakyat kecil. Mereka jauh lebih sulit lagi memahami manuver politik Gus Dur, yang memang tidak ada substansinya,” tambah Amien Rais. (Rendro Dhani: 2004). Begitu pula kebiasaan lama Gus Dur sebelum terpilih sebagai menjadi presiden. Publik mengenalnya sebagai tokoh yang sering mengeluarkan pernyataan kontroversial. Dia bisa memainkan banyak peran. Publik terkadang sulit memahami apakah dia berbicara dalam kapasitas sebagai seorang ulama, intelektual liberal, atau pemimpin sebuah organisasi massa.

Amien Rais adalah tokoh Poros Tengah yang mempunyai andil besar terpilihnya Gus Dur menjadi presiden. Hasil pemilihan umum 1999 mencatat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) keluar sebagai pememang. Saat itu sebenarnya Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri sudah di atas angin terpilih menjadi presiden. Namun manuver Amien Rais melalui Poros Tengah-nya kemudian memilih Gus Dur dan Megawati sebagai presiden dan wakil presiden. Menurut Gus Dur, menanggapi terpilihnya dirinya menjadi presiden, “Saya menjadi presiden itu cuma modal dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais.”

Gebrakan Gus Dur setelah terpilih menjadi presiden adalah membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Dia menganggap bahwa kedua departemen itu membebani dan memboroskan anggaran negara. DPR kemudian menggunakan hak bertanya terkait pembubaran dua departemen itu. Dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 18 November 1999, Presiden Gus Dur melakukan dialog dengan para wakil rakyat dalam suasana informal. Penjelasan presiden yang disiarkan oleh televisi secara langsung itu sesekali ditingkahi gurauan serius. Presiden Wahid bahkan sempat menyamakan DPR dengan Taman Kanak-kanak (TK). (Rendro Dhani: 2004).

Salah satu bentuk komunikasi dan penyebaran informasi yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid secara rutin adalah dialog terbuka dan langsung dengan jamah masjid usai salat Jumat. Format tanya jawab dipandu oleh seorang moderator yang memberi kesempatan kepada tiga orang (yang bukan wartawan) untuk bertanya tentang berbagai macam isu.

Pernyataan kontroversial kerap dikeluarkan Gus Dur dalam dialog Jumat. Gus Dur agaknya tidak merasa kehilangan apa pun (nothing to lose) dengan mengeluarkan pernyataan yang oleh sebagian kalangan dinilai “kontroversial”. Berbagai pernyataannya, baik disadari maupun tidak disadari, justru bisa menjadi bumerang terhadap pemerintahannya. Menteri Luar Negeri Alwi Shihab pernah memberi saran kepada Gus Dur agar komunikasi setiap hari Jumat itu sebaiknya diadakan dua minggu sekali atau dimuat off the record. Namun Gus Dur, menurut Alwi, “Saya harus berbicara kepada rakyat. Saya harus berkomunikasi dan harus mendengar.” Dialog Jumat tetap diteruskan. Sayangnya, kata Ketua Juru Bicara/Tim Media Presiden RI Wimar Witoelar, keterbukaan dalam dialog usai salat Jumat itu kerap disalahgunakan pers.

Bentuk lain dari komunikasi yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid adalah dialog interaktif yang disiarkan televisi. Pada mulanya talk show interaktif digelar di TVRI dengan judul “Secangkir Kopi” (belakangan diganti “Secangkir Teh” karena Gus Dur tak minum kopi). Acara berdurasi 45 menit itu mirip dialog Jumat, namum bisa ditonton dan diikuti secara interaktif di seluruh tanah air.

Pada “Secangkir Teh”, 14 Maret 2000, Presiden Abdurrahman Wahid meminta maaf kepada para korban G30S yang menurutnya banyak dilakukan oleh anggota Nahdlatul Ulama (NU). “Dari dulu pun, ketika masih menjadi Ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, saya sudah minta maaf. Bukan sekarang saja,ntanyakan kepada teman-teman di lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya sudah meminta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yangdikatakan sebagai komunis.”

Setelah TVRI, acara serupa muncul di TPI. Kali ini yang menjadi pemandu adalah Jaya Suprana, acaranya namanya “Jaya Suprana Show.” Acara semacam ini lebih sebagai pelemparan wacana yang sangat membuka peluang untuk diperdebatkan dan didiskusikan.

Komunikasi Tanpa Manajemen:

Pada awal tulisan ini Arief Budiman cenderung melihat kegemaran Gus Dur berlelucon, yang makin menjadi-jadi saat menjabat presiden, sebagai kelemahan ketimbang kekuatan. Gus Dur juga tak jarang mengungkapkan sinisme yang keras terhadap orang-orang yang membuatnya jengkel karena berbagai alasan. Sinisme ini tentu tak lucu karena memang bukan dengan maksud melucu. Dalam perbincangan publik, ia membungkus humor politiknya dengan rapi. Humor dalam negara otoriter, sebagaimana fungsi sastra dalam masyarakat Jawa lampau, menurut Goenawan Mohamad, memang adalah pasemon, untuk menyamarkan pesan.

Dalam hal pasemon, Gus Dur istimewa: ia memang sudah lucu dari “sono”nya. Sehingga ketika ia menanggapi suatu peristiwa, misalnya, ia sering jenaka, meski sama sekali tanpa berniat melucu. Ini terutama menyangkut pilihan kata (diksi) yang digunakannya, yang terutama dipetiknya dari khazanah Jawatimuran.

Hobi berhumor itu terus dipupuknya setelah ia menjadi presiden. Ini memang sulit dilepaskan oleh Gus Dur yang, menurut Cholil Bisri, kelucuannya memang gawan bayi, bawaan sejak lahir. Ditambah tradisi di kalangan para kyai NU, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah, memang kaya dengan humor, Rapat-rapat mereka pun banyak diwarnai saling ledek dengan kocak.

Namun, setelah lewat setahun menjabat presiden, pelan-pelan kekocakan Gus Dur hilang. Para pemirsa televisi malah lebih sering menyaksikan dia berkata keras dalam menanggapi pelbagai peristiwa politik di tanah air. Setelah DPR melayangkan Memorandum I, Februari 2001, humor Gus Dur benar-benar lenyap tak berbekas, setidaknya di depan publik.

Hilangnya lelucon Gus Dur makin lengkap dengan munculnya rekaman di depan kamera televisi. Ia seperti mengancam. “Kalau saya sampai dipermalukan di Sidang Istimewa, maka sejak hari pertama turun (dari kursi presiden) saya akan terus berkampanye sampai tahun 2004.” Gus Dur mengingatkan kepada lawan politiknya, dirinya masih sangat populer dan patut diperhitungkan pada pemilihan presiden secara langsung pada 2004.

Hilangnya humor Gus Dur membuat sejumlah kawannya, Darmanto Jatman, Franz Magnis Suseno, Garin Nugroho, Greg Barton, Jaya Suprana, Mudji Sutrisno, dan Sujiwo Tedjo, merasa perlu mendatanginya di Istana Negara. Merdeka menanyakan ke mana gerangan perginya “aksesori” Gus Dur yang menyegarkan dan ampuh bahkan secara politik itu. Menurut Jaya Suprana, seusai pertemuan dua jam pada Jumat 8 Juni 2001, Gus Dur mengatakan sebenarnya dia ingin terus bersikap humoristis, tapi beberapa pihak menyarankan bahwa presiden tidak boleh melucu. “Tapi Gus Dur berusaha mulai besok, Sabtu, akan melucu lagi,” tambah Jaya Suprana.

Menurut Ratih Hardjono, mantan Sekretaris Presiden Abdurrahman Wahid, Gus Dur mempunyai sejumlah kelemahan. Di antaranya, Gus Dur tidak bisa membedakan komunikasi yang bersifat private dengan komunikasi yang bersifat public. Indra penglihatannya memang tidak sempuna. Dia juga nyaris tidak bisa membedakan antara komunikasi formal dengan komunikasi informal. Bila berkomunikasi dengan wartawan atau pakar. Misalnya, Gus Dur menganggap sama, semua serba terbuka, semua pembicaraan menjadi informal sebagaimana forum modus operandus di pesantren. (Rendro Dhani: 2004)

Gus Dur sering menanggapi pertanyaan serius dengan jawaban sederhana, kadang-kadang diimbuhi ucapan: “Gitu aja kok repot”. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Gus Dur selalu ingin mempermudah persoalan yang sebenarnya mungkin rumit. “Kalau bisa dipermudah, mengapa sih dipersulit. Kayak kurang kerjaan aja.” Yang kerepotan justru para staf presiden. Sebaliknya para wartawan bisa setiap saat berkomunikasi langsung dengan dia,

Mohamad Sobary menilai watak dasar sebagai Ketua Umum PBNU terus dibawa sampai ke Istana. Dia menggunakan komunikasi nyaris tanpa manajemen. Gus Dur membeberkan semua informasi. Hampir tidak ada informasi yang bersifat rahasia. Sebagai presiden Gus Dur sudah seharusnya menuangkan pemikiran dan membahas suatu persoalan dengan jelas. Gus Dur harus lebih membuka diri untuk dipahami banyak orang. “Gus Dur itu membikin dirinya sebagai dirinya, seolah-olah ada suatu perasaan mau ngerti syukur, nggak ngerti juga nggak masalah. Itu masalah! Presiden kok nggak masalah, gimana?”

Salah satu faktor yang menyebabkan krisis kepemimpinan politik Gus Dur adalah ketidakmampuan melakukan komunikasi politik. Gaya komunikasi politik Gus Dur nyleneh, sulit diduga, kontroversial, dan kontradiktif (semacam plintat-plintut). Gaya komunikasi ini merupakan kendala dan tidak menguntunkan bagi terselenggaranya administrasi negara atau manajemen pemerintahan yang efektif (demokratis, berwibawa, dan efisien).

Menghadapi gaya komunikasi Gus Dur, para menterinya sulit menerjemahkan visinya ke dalam berbagai kebijakan dan tindakan kongkret. Itu sebabnya mengapa kebanyakan menteri Gus Dur seperti ragu dan ‘linglung” dalam menghadapi pekerjaan mereka, selain mereka juga tidak kompak.

Gaya komunikasi Gus Dur dipengaruhi budaya Jawa dan pesantren yang –menggunakan kategori Edward T. Hall (1976)—termasuk dalam komunikasi konteks tinggi, sebagaimana umumnya budaya Timur, Dalam komunikasi konteks tinggi, kebanyakan pesan implisit, terdapat dalam konteks fisik atau terpendam dalam benak para pesertanya. Menurut Hall, budaya konteks tinggi punya kecenderungan lebih besar untuk membedakan orang dalam dari orang luar daripada budaya konteks rendah. (Deddy Mulyana: 2013).

Komunikasi efektif jelas bukan komunikasi yang pesan-pesannya penuh humor dan kiasan seperti gaya Gus Dur. Bukan pula yang polos dan terlalu lugas seperti gaya Amien Rais. Humor tetap penting sebagai salah satu cara berkomunikasi bagi seorang presiden. Masalahnya, seorang presiden harus mampu memanfaatkan humor demi kepentingan komunikasi, bukan menggunakan humor demi humor itu sendiri. Sebab, seorang presiden bukanlah komika yang mengundang tertawa saat open mic, melainkan membuat tertawa rakyat melalui kebijakan publik yang menyentuh mereka.

Sumber: alif.id

Staf pengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta. Pernah aktif di Lembaga Humor Indonesia (LHI). Tahun 2018 mengikuti program residensi di Berlin selama satu bulan dari Robert Bosch Stifftung untuk meneliti humor politik era Jerman Timur. Saluran Youtube: TASS Bukan Kantor Berita.