Gus Dur, Humor, dan Demokrasi

Ibarat pementasan ludruk, politik adalah sebuah fragmen. Ada kalanya, lantunan kata yang menggelitik dibutuhkan guna mencairkan suasana di tengah pentas pertunjukan.

Suatu waktu di medio tahun 2001, para seniman dan budayawan kondang mendatangi Istana Merdeka, Jakarta. Sujiwo Tejo, Jaya Suprana, Darmanto Jatman, Garin Nugroho, Franz Magnis Suseno, Mudji Sutrisno, dan Greg Barton ramai-ramai menemui Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur.

Tak ada percakapan bernada berat. Pertemuan berlangsung cair. Bahkan, dalam pertemuan itu, Gus Dur lebih berperan sebagai sosok budayawan ketimbang seorang presiden.

Menariknya, dalam pertemuan selama lebih dari dua jam itu, humor menjadi topik utama dalam pembicaraan. Para seniman dan budayawan yang hadir menanyakan alasan hilangnya sifat humor Gus Dur yang sebelumnya menjadi ciri khas. Padahal, humor adalah salah satu cara mengomunikasikan pesan dengan baik tanpa menimbulkan ketegangan.

Apa jawaban Gus Dur?

Menurut Jaya Suprana, Gus Dur mengurangi humor yang menjadi ciri khasnya karena mengikuti nasihat berbagai pihak. Walakin, setelah menerima masukan dari para seniman dan budayawan, Gus Dur berupaya mengembalikan humor khas yang dimiliki dalam berkomunikasi (Kompas, 9 Juni 2001).

Itulah penggalan kisah tentang humor dari istana. Sebagai presiden di tengah segala kesibukannya, Gus Dur turut meluangkan waktunya untuk bertemu dengan para seniman dan budayawan kondang untuk membahas sesuatu hal yang begitu penting dalam perjalanan demokrasi, yaitu humor.

Mengapa penting? Humor atau lelucon adalah sebuah energi dan keseriusan dalam wujud yang berbeda. Kritik sosial, politik, hingga budaya dapat disajikan dalam belut tawa melalui humor. Saat ketegangan mewarnai perjalanan demokrasi, pesan dalam bentuk guyonanlah yang menjadi jalan tengah untuk terus merawat kewarasan bangsa.

Demokrasi dan humor adalah sesuatu yang bersisian, bukan bertolak belakang. Sejarah bangsa ini telah membuktikannya.

Itulah yang banyak dilakukan oleh Gus Dur. Saat urat nadi politik menegang, guyonan adalah cara untuk mengendurkannya. Dalam mencairkan suasana, tak jarang Gus Dur melantunkan paduan kata yang mengundang renyah tawa.

Pernah suatu ketika, saat diminta mundur oleh para demonstran, Gus Dur dengan santainya menyahut, ”Sampeyan ini bagaimana, wong saya ini maju aja susah, harus dituntun, kok disuruh mundur.” Begitulah cara Gus Dur mencairkan ketegangan (Basyaib dan Hermawan, 2010).

Saat bertemu kolega, Gus Dur juga kerap melontarkan guyonan. Ketika menengok keluarga Bacharuddin Jusuf Habibie di Brussel, Belgia, misalnya, Habibie sempat menanyakan tentang guyonan Gus Dur kepada Presiden Kuba Fidel Castro dalam kunjungannya. Kala itu, Gus Dur menyatakan guyonan yang salah satunya menyebut Habibie sebagai presiden yang ”gila beneran”.

Presiden Abdurrahman Wahid menghadiri peresmian The Habibie Center (THC) di Ruang Cendrawasih Jakarta Convention Center, 22 Mei 2000.

Menanggapi pertanyaan ini, Gus Dur secara diplomatis menjawab, ”Kalau Presiden Soekarno itu negarawan, Soeharto hartawan, lah kalau Pak Habibie presiden ilmuwan. Sementara kalau saya sendiri presiden wisatawan yang suka keluyuran.” Sontak semua yang hadir tertawa mendengar guyonan Gus Dur, termasuk Ainun, istri Habibie, yang saat itu tengah dirawat.

Selera humor

Guyonan yang ditampilkan oleh Gus Dur seakan menjadi pengingat bagi bangsa ini betapa pentingnya humor untuk merawat semangat demokrasi di Indonesia. Humor juga telah menjadi karakter budaya bangsa yang hidup bersisian dengan masyarakat sejak berabad-abad silam.

Dalam sejarahnya, humor selalu mendapatkan tempat dalam setiap bagian perjalanan bangsa. Tengok saja relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. Pada salah satu bagiannya terdapat gambaran pemusik jalanan dan seseorang yang menampilkan sebuah gerakan unik. Orang-orang yang berada di depannya pun tertawa. Bisa jadi, ini adalah refleksi tentang humor pada masa lalu (Nastiti, 2016).

Pada era Kerajaan Majapahit, catatan tentang humor atau lawakan juga ditemukan dalam naskah Nagarakertagama. Lawakan menjadi bagian tak terpisahkan yang dipertunjukkan dalam gelaran pesta di lingkungan istana.

Pada era imperialisme modern, humor berkembang sebagai sarana kritik politik. Ludruk, misalnya, pada era pemerintah kolonial, kesenian ini digunakan untuk membangkitkan semangat nasionalisme. Pada era pendudukan Jepang, ludruk digunakan untuk membangkitkan rasa persatuan dalam menghadapi kolonialisme.

Kini, dalam catatan sejarah kontemporer, humor masih digunakan sebagai sarana kritik sosial dan politik. Humor menjadi jalan untuk  menyampaikan kritik tanpa berbuah ketegangan.

Komedi satire pernah begitu populer dalam sketsa televisi Sentilan Sentilun beberapa tahun silam. Gerundelan masyarakat seolah terwakilkan oleh pembawaan khas budayawan kondang Butet Kartaredjasa. ”Urip kuwi mung mampir ngguyu (hidup itu cuma mampir tertawa),” kata Butet yang kerap melontarkan kritik sosial dan politik dengan nada tawa (Kompas, 14 Juni 2013).

Komedi satire dalam kemasan modern semakin berkembang dalam konsep stand-up comedy. Cara ini berkembang dan menjadi oase di tengah riuh ketegangan politik yang kerap hadir di ruang publik. Tak hanya kritik politik, kritik sosial tentang realitas kehidupan sehari-hari juga kerap disuarakan dalam konsep ini.

Satire

Sayang, hari-hari ini kesucian humor sebagai sarana kritik seakan ternoda. Salah satunya adalah saat komika Gusti Muhammad Abdurrohman Bintang Mahaputra atau Bintang Emon mengkritik penanganan kasus Novel Baswedan dalam akun instagramnya melalui komedi satire. Tak berapa lama setelah komedi itu dilontarkan, intimidasi justru muncul melalui ruang media sosial.

Tak lama berselang, giliran Ismail Ahmad, seorang aparatur sipil negara di Kabupaten Sula, Maluku Utara, dipanggil pihak kepolisian dari Polres Sula. Penyebabnya tak lain adalah unggahan di media sosial tentang guyonan Gus Dur yang menyoroti polisi jujur.

Gus Dur memang pernah melontarkan kritik jenaka tentang polisi jujur. Menurut Gus Dur, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yakni patung polisi, polisi tidur, dan mantan Kapolri Jenderal (Pol) Hoegeng Iman Santoso. Kalimat ini tentu harus dipahami sebagai sebuah kritik yang membangun agar tak salah dalam menanggapi.

Rasa-rasanya, ini baru kali pertama penyampaian humor satire dari Gus Dur bermuara di ranah kepolisian. Tentu ini adalah sebuah tragedi di tengah stagnasi demokrasi yang saat ini dialami oleh Indonesia. Beruntung, tindakan ini telah diluruskan dan tidak berlanjut ke ranah hukum.

Guyonan satire yang bermuara pada teguran adalah sebuah teguran bagi penerapan demokrasi. Napasnya menjadi letupan. Praktiknya adalah sandungan. Jika dibiarkan, demokrasi akan berjalan mundur, berhenti, bahkan mati.

Demokrasi dan humor adalah sesuatu yang bersisian, bukan bertolak belakang. Sejarah bangsa ini telah membuktikannya. Untuk itu, pendidikan tentang demokrasi tampaknya adalah hal yang wajib diberikan, baik pada masyarakat sipil maupun aparatur negara.

Ibarat dalang dalam pertunjukkan wayang, ketika penonton jenuh dengan pementasan, bukankah guyonan menjadi solusi pemecah suasana tanpa mengabaikan pesan yang ingin disampaikan?

Sumber: kompas.id

Peneliti Litbang KOMPAS.