Kekuasaan dan kemuliaan pada mulanya boleh jadi merupakan dua wilayah yang berbeda sama sekali. Untuk keperluan tulisan ini cukuplah dikatakan bahwa, kalau yang pertama berasosiasi pada otoritas dan kepatuhan, yang kedua berasosiasi pada keagungan dan penghormatan. Kuasa mengisyaratkan kemampuan mempengaruhi bahkan memaksa pihak lain untuk melakukan sesuatu, kemuliaan mengisyaratkan aura, semacam getar ganjil yang menerbitkan ketakziman pihak lain. Kekuasaan adalah terminologi politik, sedangkan kemuliaan bisa diperlakukan sebagai terminologi kultural.
Domain utama kekuasaan adalah praktik-praktik politik, sedangkan kemuliaan mungkin lebih umum diterima sebagai semacam opus spirituale yang tercermin langsung dalam perilaku. Kalau kekuasaan dihasilkan dari relasi-relasi sosial, kemuliaan hanya mungkin diraih melalui pengolahan ruhani secara individual. Ekstrem negatif kekuasaan adalah pemanfaatan sumber-sumber daya koersif untuk menghabisi lawan, sedangkan kemuliaan pada titik ekstremnya bisa melahirkan ketaklidan buta para pengikut. Kalau kekuasaan bisa menjadi tirani, kemuliaan berpotensi menghasilkan dogma.
Secara teoritis kekuasaan boleh jadi tidak mensyaratkan kemuliaan seperti kemuliaan juga tidak pernah mengandaikan kekuasaan. Tapi dalam praktik dua hal ini tampaknya tidaklah mudah dipisahkan. Relasi di antara keduanya mungkin muncul dalam problematik apakah mungkin kemuliaan bisa tidak merefleksikan relasi kuasa, atau tidakkah pada dasarnya kemuliaan adalah sebuah arena tempat kontestasi segala bentuk potensi kuasa. Ditinjau dari jurusan lain, problemnya barangkali adalah bagaimana secara kategoris memisahkan kuasa dan kemuliaan ketika baik kuasa maupun kemuliaan secara substansial sama-sama berorientasi pada kontrol satu pihak terhadap pihak lain. Cukup beralasan jika dikatakan bahwa salah satu mimpi terindah masyarakat politik di Indonesia adalah justru berlangsungnya penyatuan antara kekuasaan dan kemuliaan pada, katakanlah, sosok pandita ratu, mahaguru yang suci-bijak-bestari sekaligus seorang raja yang adil dan perkasa. Napoleon yang manunggal dengan Goethe. Utopisme semacam ini akan membantu menjelaskan riwayat kekuasaan modern di Indonesia.
Pemberhentian Abdurrahman Wahid dari tahta presiden melengkapi riwayat ganjil kekuasaan di negeri ini: setiap pergantian kepala pemerintahan selalu dilatarbelakangi oleh kemelut politik rumit berkepanjangan, sedemikian rupa sehingga banyak orang berkeyakinan bahwa solusi terbaik hanyalah dengan mengganti pucuk pimpinan. Kenyataan seperti ini, paling tidak, mengindikasikan dua hal.
Pertama, eksistensi seorang pemimpin pemerintahan senantiasa diandaikan sebagai hulu sekaligus muara dari nasib politik negara. Penyelenggaraan negara, dengan demikian, tidak diasumsikan sebagai mekanisme sistemik dan impersonal melainkan lebih sebagai perpanjangan kemampuan personal figur seorang pemimpin. Kedua, dalam rentang yang sangat panjang, sejarah masyarakat politik di Indonesia sebagian besar merupakan kisah bersambung kekerasan. Suksesi jadi identik dengan perebutan kekuasaan.
Menjelang kejatuhan Wahid, misalnya, sebagian masyarakat ditikam kecemasan akan kemungkinan timbulnya konflik horisontal yang bisa membawa prahara politik. Di pikiran kita waktu itu yang terbayang adalah darah dan tubuh bergelimpangan untuk sebuah kesia-siaan politik. Tampak jelas bahwa politik telah menjadikan tubuh biologis sebuah arena pertempuran. Parade kolosal petugas keamanan menjadikan bayangan menakutkan itu makin mendekati kenyataan. Ketika TNI dan Polri pamer kekuatan seperti sedang hendak memaklumkan sebuah perang besar, orang makin bertanya-tanya apakah negeri ini sudah akan habis.
Satu hal moronis terjadi ketika yang dipagari ribuan senapan dan mobil baja bukan rakyat tapi salah satu pihak yang jadi penyebab kerawanan politik: anggota parlemen dan MPR. Jika dibaca dari sebuah jarak kritis fenomena seperti itu akan memunculkan pertanyaan problematik tentang keterlibatan mereka dalam membangun bayangan masyarakat tentang kekerasan yang muncul setiap terjadi suksesi kepala negara dan kepala pemerintahan.
Banyak orang kemudian sering berpaling pada sejarah kelam suksesi kekuasaan dalam kerajaan-kerajaan besar di Jawa pra Indonesia–yang konon berlangsung melalui kekerasan, mewariskan luka sosial dan dendam politik turun temurun. Siapa pun yang ingin berkuasa, dengan demikian, ia harus cukup keji untuk menghargai lembar-lembar nyawa hanya jadi sederet angka statistik.
Pergantian pemimpin jadi jauh lebih menyerupai ritus-ritus primitif dengan darah dan nyawa manusia sebagai tumbal bagi sebuah kemuliaan. Bayangan tentang kekuasaan sebagai kemuliaan semakin lengkap, ketika tahta kekuasaan juga dikukuhkan dengan simbol mahkota yang terbuat dari logam dan batu mulia. Kesatuan kuasa dan kemuliaan lantas diterjemahkan secara material menjadi sumber-sumber kemakmuran ekonomis. Karena itu cukup mengharukan bahwa salah satu motivasi dominan orang memperebutkan jabatan publik di sini bukan terutama untuk mengabdikan diri kepada negara, melainkan untuk meraih sumber-sumber kemakmuran. Praktik-praktik kotor seperti kolusi dan korupsi menjadi keniscayaan dalam kosmologi seperti itu.
Telaah klasik seperti yang telah dilakukan oleh Ben Aderson (1972) dan Wessing (1978), misalnya, memperlihatkan kepada kita bahwa konsep kuasa dalam masyarakat Jawa tempo dulu niscaya ditarik masuk ke wilayah spiritual bahkan supranatural. Selain dianggap konkret seperti dalam analisa Ben Anderson, kekuasaan juga dipahami sebagai sesuatu yang sumber-sumbernya tidak berasal dari dunia sosial melainkan dari dunia di atasnya. Sumber kuasa diyakini berada di seberang realitas.
Pada dekade 1960an, misalnya, kita pernah mengenal gelar Panatagama Senapati ing ngalaga dan Pemimpin Besar Revolusi yang disematkan hanya pada dada satu orang, Soekarno. Dalam sosok Soekarno rakyat membayangkan integrasi antara keperkasaan seorang panglima perang dan kemuliaan seorang pemimpin spiritual (agama), sehingga kekuasaan menjadi memusat dan total. Ia jadi hulu dari mana negeri ini bisa merebut martabat eksistensial di hadapan bangsa-bangsa lain, dan pada saat yang sama ia juga jadi muara ke mana seluruh energi rakyat mengalir untuk mencapai samudra kebesaran sebuah bangsa. Seokarno bukan saja seorang presiden tapi juga nabi bahkan seorang mesiah.
Tahun 1999 yang lalu sebagian masyarakat kita juga pernah menaruh harapan sangat besar pada penjelmaan tunggal sosok ulama dan umara sekaligus, Abdurrahman Wahid. Utopisme semacam itu ditopang oleh rasa takut kolektif yang hampir bersifat mistis akibat penciptaan wacana kekerasan. Sebelum Wahid dipilih, misalnya, para petualang politik secara eksesif telah menciptakan dan memanipulasi wacana tentang bahaya perang saudara kalau kompetisi politik di antara dua kekuatan terbesar waktu itu, Golkar dan PDIP, tidak dicarikan jalan keluar secara damai. Tepat di ujung abad 20 pada tingkat wacana kita seperti dikembalikan ke masa perang paregreg berabad-abad yang lalu.
Celakanya, penyelesaian yang dipilih tidak didasarkan pada perhitungan hasil suara pemilu melainkan melalui manuver-manuver politik tingkat tinggi. MPR bukan memilih salah satu dari dua kandidat melainkan malah mengajukan satu calon lain yang sama sekali tidak terlibat dalam kompetisi dari awal, Abdurrahman Wahid. Dari situ kita bisa melihat bagaimana para politisi mengelola pertentangan: konflik tidak dihadapi dengan respon positif tapi dihindari.
Solusi damai dicapai bukan melalui kerelaan satu pihak menerima kemenangan politis pihak lain secara terbuka dan dewasa, melainkan dengan meniadakan pertentangan. Wahid dipilih bukan karena ia meraih suara terbesar rakyat, tapi karena kemungkinan resistensi terhadapnya diasumsikan paling kecil. Latar belakang seperti itu telah menempatkan Wahid sebagai seorang mesiah baru. Orang yang tiba-tiba muncul jadi penyelamat bangsa dari potensi kehancuran—yang sebenarnya hanya ada dalam khayalan. Kita ingat bagaimana beberapa orang menyambut Wahid sebagai berkah Tuhan untuk bangsa.
Dalam kasus Soekarno dan Wahid tadi, kemuliaan diandaikan melekat pada kekuasaan. Kalau Soekarno dianggap Ratu Adil, masih cukup segar dalam ingatan bagaimana Amien Rais menunjuk Wahid sebagai figur yang mendapat dukungan “suara dari langit”. Secara sembrono Wahid dianggap memiliki legitimasi dari dua dunia sekaligus: realitas politik bahwa ia tidak akan menghadapi resiko penentangan cukup besar, dan berkah lumen supra naturale atau wahyu dari langit yang akan memberkati tahtanya.
Dalam sebuah masyarakat politik dengan tradisi panjang kepercayaan pada mesianisme, pernyataan seperti itu tentu saja bisa diartikan bahwa tahta yang akan diberikan kepada Wahid bukan semata kekuasaan sekular melainkan juga amanat suci spiritual. Kuasa yang menyatu tubuh dengan kemuliaan. Secara sadar mereka telah menjebak rakyat dalam perangkap kesalahan sejarah dan kecelakaan intelektual yang akibat-akibat buruknya masih kita rasakan sampai hari ini. Nasib tragis yang menimpa Wahid sebenarnya sudah terbayang sejak awal.
Jakarta, 11 Agustus 2001
Pernah dimuat pada situs Detik.com pada 22 Agustus 2001
Sumber: hikmatbudiman.id
Selanjutnya: Jatuhnya Kekuasaan Modern Indonesia (2): Pelajaran dari Wahid