Gus Dur berpandangan kalau orientasi pembangunan negara harus mengutamakan kepentingan warga masyarakat/rakyat kebanyakan. Ketika Gus Dur ditanya mengenai adakah konsep Negara Islam? Gus Dur menjawab melalui tulisannya bahwa “Tidak ada, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas mengenai negara. Besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya” demikian kata beliau.Gus Dur melihat bahwa kejayaan Islam justru dapat terwujud ketika agama mampu berkembang dan beradaptasi secara kultural. Sehingga Gus Dur lebih menyukai gerakan dan perjuangan yang menekankan pada upaya kulturalisasi.
Dalam ayat al-Qur’an yang berbunyi “udhkuluu fi al silmi kaffah”, kaum literal menafsirkan kata “al-silmi” dengan kata “Islami”. Sedangkan Gus Dur justru menafsirkan kata tersebut dengan “perdamaian”. Lantas kemudian orang-orang yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada sebuah upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara fundamental dengan terpaksa mengabaikan pluralitas masyarakat.
Sehingga pemahaman seperti itulah yang kemudian mengakibatkan warga negara yang beragama selain Islam (non-muslim) menjadi warga negara kelas dua. Dengan demikian, Gus Dur berpendapat bahwa untuk menjadi Muslim yang baik, seorang Muslim sebaiknya juga perlu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran atau rukun Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan, menegakkan profesionalisme dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan ujian.
Oleh karena itu, mewujudkan sistem Islam atau formalisasi Islam tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk mendapatkan predikat sebagai seorang muslim yang taat. Bagi Gus Dur formalisasi atau ideologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia, hal tersebut lantaran Indonesia terkenal dengan negerinya kaum Muslim moderat. Sehingga Islam di Indonesia ini menurut Gus Dur muncul dalam keseharian secara kultural yang tidak perlu diberi “baju” ideologis.
Gus Dur juga melihat bahwa ideologisasi Islam berpeluang untuk mendorong umat Islam pada sebuah upaya politis yang kemungkinan besar mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Sebagai contoh, upaya sejumlah kalangan yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila dan keinginan sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya piagam Jakarta.
Oleh karena itu, bagi Gus Dur Islam itu adalah seperangkat nilai-nilai dengan sejumlah etis yang harus dimiliki oleh setiap muslim, yang harus instrinsik dari dalam dirinya dan perjuangannya, sehingga Gus Dur tidak setuju dengan mereka yang mengungkapkan bahwa terdapat konsep negara Islam dan formalisme Islam di dalam negara, seperti di Republik Indonesia ini.
Gus Dur dan gagasan keislamannya ini berupaya menolak formalisasi, ideologisasi dan syari’atisasi yang cenderung mendorong untuk tidak menyetujui gagasan mengenai negara Islam. Seperti yang sudah banyak dikemukakan Gus Dur dalam tulisan-tulisannya yang secara tegas menolak gagasan negara Islam. Gus Dur mengklaim, bahwa dalam perjalanan hidupnya beliau telah mencari dengan sia-sia makhluk yang bernama negara Islam.
Maka dari itu, Gus Dur menyimpulkan bahwa Islam memang tidak memiliki konsep mengenai negara dibuat dan dipertahankan. Sebagai seorang muslim, Gus Dur kemudian meneladankan kita melalui beberapa laku lahir spiritual di antaranya melayani dan menjalin silaturahmi, menggembirakan orang, mempersenangkan fakir miskin, memuliakan tamu, suka membantu orang, membela yang terdzalimi, dan bertabaruk dengan para wali.
Selain itu, sebagai seorang muslim yang berpijak pada lokalitas tradisi dan bangsa, sudah selayaknya kita meneruskan gagasan dan perjuangan Gus Dur seperti halnya menyadarkan, membebaskan, mempersaudarakan, memanusiakan, menyetarakan, mengadilkan, menghargai dan mengembangkan tradisi, memajukan dan mendamaikan.
Gus Dur sudah meneladankan, selanjutnya kita yang meneruskan.