Beberapa kalangan menyambut baik wacana new normal (tatanan normal baru) bagi pesantren untuk memulai kembali proses belajar mengajarnya di tengah masih adanya ancaman pandemi virus Corona yang telah berlangsung selama lebih dari dua bulan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pesantren di Kabupaten Jombang yang sudah mulai mengatur kembalinya santri ke pondok seperti Pesantren Darul Ulum, Desa Rejoso, Kecamatan Peterongan, Jombang (NU Online, 2 Juni 2020).
Dari kalangan santri sendiri juga sudah banyak dari mereka yang rindu untuk kembali ke pesantren untuk bertemu dengan pengasuh, ustaz, teman-teman guna melanjutkan kegiatan-kegiatan pesantren seperti ngaji, sekolah dan seterusnya. Hal ini sebagaimana diakui salah seorang santri Pesantren Al-Ghazali Tambakberas, Jombang, bernama Rofiq Hidayat (NU Online, 1 Juni 2020).
Selain itu, juga sudah banyak orang tua santri yang sudah merasa khawatir jika anak-anak terlalu lama di rumah, mereka jadi berubah tidak seperti santri lagi karena kebiasaan di rumah berbeda dengan kebiasaan di pondok. Hal ini dapat diketahui dari beberapa status mereka yang berseliweran di media sosial. Demikian pula para guru dan pengasuh di pesantren juga sudah merindukan para santrinya untuk kembali memakmurkan kegiatan thalabul ilmi dengan bimbingan dan pengarahan dari mereka.
Singkatnya kerinduan antara santri dengan para para guru di pesantren sudah terasa berat untuk ditahan-tahan lagi. Mereka sama-sama menginginkan supaya kerinduannya segera diakhiri dengan memulai kembali belajar sebagaimana biasa sebelum virus Corona mewabah ke seluruh penjuru dunia yang dimulai pertama kali penyebarannya di Wuhan, Provinsi Hube, Cina, pada Nopember 2019.
Sungguhpun demikian, banyak pengamat masih merasa was-was apakah pesantren benar-benar sudah siap untuk menerima kembali para santri yang selama ini telah dipulangkan ke rumah masing-masing demi menghindari Covid-19 yang terus mewabah dan tak pandang bulu siapa yang menjadi korbannya. Rasa was-was itu terutama menyangkut protokol kesehatan virus Corona yang menuntut tiadanya kerumunan massa dalam jumlah besar dalam waktu dan tempat yang sama seperti ruang asrama pesantren.
Di mana-mana yang namanya kehidupan di pesantren itu tidak bisa lepas dari komunalisme, yakni hidup bersama dengan tingkat interaksi yang tinggi antar masing-masing individu dalam pesantren. Mereka biasa berbagi tempat, makanan dan apa saja yang mereka miliki serta saling mengizinkan untuk memanfaatkan properti masing-masing. Semua kebiasaan komunalitas ini tiba-tiba menjadi pantangan demi memutus mata rantai penyebaran virus Corona.
Hal tersebut sebetulnya tidak begitu menjadi masalah jika asrama atau kamar yang mereka tempati berukuran cukup besar sehingga aturan social distancing bisa diterapkan dengan baik. Masalahnya adalah umumnya pesantren tidak memiliki asrama atau kamar-kamar yang ukurannya ideal bagi diberlakukannya social distancing. Banyak pesantren terutama yang masih tradisional memiliki kamar dengan ukuran misalnya 4×4 meter dihuni oleh 10 anak atau bahkan lebih. Dengan kata lain, banyak pesantren memiliki asrama yang overloaded (kelebihan penghuni).
Kamar dengan ukuran 4×4 meter seperti itu idealnya hanya dihuni oleh 4-6 anak dengan asumsi setiap anak membutuhkan setidaknya 1×1 meter sesuai dengan aturan social distancing. Aturan ini sangat sulit untuk ditaati sepenuhnya karena kondisi riil tidak memungkinkan hal itu. Jika diberlakukan sistem shift juga tidak mungkin sebab ruang asrama tidak bisa disamakan dengan ruang kelas, misalnya, yang sangat memungkinkan dipergunakan dengan sistem shift. Ruang asrama diperlukan oleh para santri selama 24 jam per hari walaupun efektif penggunaannya tidak selalu selama itu.
Masalah keterbatasan daya tampung ideal asrama inilah yang paling berat dihadapi oleh umumnya pesantren jika mereka memang sudah memutuskan untuk menarik kembali para santri ke pesantren secara keseluruhan dalam rangka melaksanakan kebijakan new normal sementara kurva pandemi Covid-19 belum melandai. Namun demikian, keterbatasan ruang asrama ini masih bisa dikompromikan (meski tetap riskan) jika setiap anak sebelum kembali ke pondok sudah dipastikan lolos dari rapid test virus Corona dari tempat asal masing-masing.
Hal itu untuk mengurangi risiko penularan virus ini karena social distancing tidak bisa dipraktikkan di dalam asrama yang overloaded. Namun, keharusan setiap santri sudah harus lolos dari rapid test virus Corona dari tempat asal masing-masing bukannya tanpa persoalan. Biaya untuk mendapatkan surat keterangan dari instansi yang berwenang, seperti puskesmas, yang berkisar antara Rp350.000 hingga Rp500.000 bisa jadi dirasa berat oleh para orang tua santri di tengah sulitnya ekonomi saat ini.
Hal itu sebagaimana dikhawatirkan oleh Sekretaris PCNU Jember, Pujiono Abd. Hamid (NU Online, 2 Juni 2020). Menurutnya, wali santri sudah cukup berat saat ini untuk fokus pada biayai kehidupan anaknya di pesantren termasuk biaya pendidikannya. Karena itu, jika diharuskan membiayai rapid test untuk anak-anaknya, tentu terasa berat bagi wali santri terutama yang selama ini sudah terdampak Covid-19.
Dalam kondisi seperti ini diharapkan ada perhatian dari pihak-pihak terkait bagaimana agar keharusan rapid test bagi santri yang akan kembali ke pesantren bisa dibantu pembiayaannya. Menurut Ketua Pengurus Cabang RMINU Jember, Gus Fuad Achsan, pemkot atau pemkab, seperti Pemkab Jember tidak boleh tinggal diam melihat persoalan yang dihadapi pesantren ini di daerahnya. Ia berharap dengan anggaran penanganan Covid-19 sebesar Rp475 miliar, Pemkab Jember bisa membantu masalah biaya rapid test ini bagi santri yang mondok di pesantren di wilayah kewenangannya.
Instansi lain yang diharapkan dapat membantu pembiayaan rapid test bagi santri adalah Kementerian Agama yang membawahi pondok pesantren. Dengan kewenangan yang dimilikinya Kementerian Agama diharapkan dapat membantu para wali santri yang kesulitan mendapatkan surat keterangan telah lolos dari rapid test dengan menyediakan biaya untuk tes tersebut.
Bagaimanapun pesantren adalah aset bangsa yang ikut berperan penting dalam mencerdaskan anak-anak bangsa. Maka kehadiran negara yang dalam hal ini bisa diwakili Kementerian Agama sangat dibutuhkan, apalagi pendidikan pesantren sudah masuk dalam Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren di mana terdapat amanat dalam Bab V, Pasal 28 bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membantu pendanaan penyelenggaraan pesantren melalui anggaran pendapatan dan belanja masing-masing.
Mengacu pada pasal di atas tidak berlebihan kiranya jika beberapa pihak berharap pemerintah tidak tinggal diam dalam memecahkan masalah krusial ini sebagaimana pernyataan Gus Fuad di atas.
Sumber: nu.or.id