Pertama kali naik pesawat di masa pandemi, saya duduk bersebelahan dengan seorang lelaki. Walaupun berjarak dan sama-sama bermasker, pada saat ia bersin, saya spontan menambah masker yang saya gunakan dan memiringkan badan menjauhinya.
Saya tahu bahwa untuk naik pesawat tersebut dibutuhkan surat PCR negatif. Seharusnya saya tidak perlu cemas karena berarti penumpang tersebut sudah sah dinyatakan bebas virus korona (SARS-CoV-2). Malangnya, saya pun tahu bahwa di Indonesia, apa pun bisa terjadi. Surat bisa direkayasa dan diperjualbelikan.
Alhasil, saya pun tidak meyakini bahwa saya benar-benar bisa lepas dari bahaya Covid-19 dengan mengandalkan sistem yang dibuat oleh negara. Tidak berapa lama, publik pun ramai dengan kasus pemalsuan dan jual beli hasil tes, korupsi antigen, dan sebagainya.
Urusan rasa percaya memang pelik, apalagi jika menyangkut kehidupan bersama sebagai masyarakat atau bangsa. Beberapa waktu terakhir ini, ramai tagar #PercumaLaporPolisi setelah Project Multatuli mengungkap perkara kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh seorang ayah kepada ketiga anaknya pada 2019 yang dihentikan penyidikan kasusnya oleh Kepolisian Luwu Timur. Publik menilai bahwa ketiga korban dan ibunya mengalami persoalan ganda: tindak kekerasan dan ketidakadilan penanganan oleh kepolisian karena penghentian penyidikan tersebut.
Tagar ini muncul sebagai seruan bela rasa terhadap ketiga korban dan kekecewaan mendalam atas sikap aparat penegak hukum. Namun, tagar tersebut meluas menjadi kanal udar rasa masyarakat, yang kerap kecewa saat laporan mereka ke polisi tidak membuahkan hasil apa-apa. Setelahnya muncul tagar #PolisiSesuaiProsedur dan #PolriSiapLebihBaik yang sekilas menjadi tandingan dari tagar pertama.
Situasi kekecewaan publik yang paling fenomenal adalah tagar #BlackLivesMatter yang diawali dari Amerika Serikat, tetapi menjadi gerakan global. Diawali dengan protes kepada sikap umum kepolisian Amerika Serikat yang cenderung menggunakan kekerasan berlebihan kepada orang-orang Afrika-Amerika dan berkali-kali mengakibatkan hilang nyawa orang yang tidak bersalah, gerakan ini menjadi gerakan ketidakpercayaan yang masif.
Robert Putnam dalam buku klasiknya, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community (2001), menyatakan bahwa masyarakat Amerika Serikat mengalami penurunan rasa percaya antarwarga yang terefleksikan dalam berkurangnya partisipasi warga dalam kehidupan bertetangga. Padahal, rasa percaya ini adalah pelumas kehidupan sosial. Ketika warga memercayai warga lain dan sistem dalam komunitasnya, maka ia lebih tergerak untuk berkontribusi dan saling mendukung. Segala hal dapat diselesaikan dengan membangun kesepakatan sosial. Oleh Putnam, ini disebut sebagai generalized reciprocity (kesalingan yang berlaku umum).
Menurut dia, ketidakpercayaan sosial membawa masyarakat untuk bertumpu pada aturan formal dan proses hukum untuk menyelesaikan setiap ketegangan. Musyawarah tidak lagi dianggap efektif karena hilangnya keyakinan bahwa musyawarah tersebut dilandasi prinsip keadilan, kesetaraan, dan orientasi pada kepentingan bersama. Yang ada justru sikap kompetitif atas agenda pribadi/kelompok karena rasa takut akan dirugikan oleh lawan.
Stephen Covey Jr juga mengungkapkan pandangan senada tentang nilai ekonomis kepercayaan melalui tajuk konsepnya The Speed of Trust. Saat kepercayaan publik menurun, biaya pengelolaan kehidupan bersama akan meningkat. Sebaliknya, saat kepercayaan publik meningkat, biaya pengelolaan kehidupan bersama akan menurun.
Contohnya adalah dampak tagar #BlackLivesMatter yang membuat penggunaan body-cam menjadi prosedur standar operasi bagi polisi Amerika Serikat sebagai alat untuk memantau langsung perilaku polisi sekaligus sebagai instrumen pengingat kepada yang bersangkutan bahwa ia terawasi penuh. Secara langsung, terjadi dampak anggaran ”hanya” untuk memastikan akuntabilitas prosedur. Secara psikologis, alat ketidakpercayaan ini tentu menjadi beban tersendiri bagi polisi yang menyandangnya.
Contoh yang lebih sederhana di Indonesia bisa dirasakan oleh penumpang pesawat udara di masa pandemi ini, dengan diberlakukannya syarat sertifikat dan keterangan bebas Covid-19. Penumpang harus melakukan verifikasi, lalu walaupun itu adalah syarat untuk masuk area selanjutnya, petugas di tahap selanjutnya pun harus memeriksa lagi. Demikian berulang beberapa kali.
Dari survei Nenilai tahun 2020 ditemukan bahwa dalam dimensi nilai-nilai bangsa saat ini, muncul perhatian lebih pada kategori penghargaan terhadap efisiensi kelembagaan negara, kinerja sistemik, dan nasionalisme (ikatan kebangsaan). Namun sayangnya, bukan nilai-nilai positif yang mendominasi, melainkan nilai yang menghambat kemajuan, di antaranya birokrasi/aturan yang berbelit-belit, korupsi, diskriminasi SARA, dan berpikir jangka pendek.
Nilai-nilai penghambat inilah yang dapat makin menggerus generalized reciprocity kita. Ketika orang lain atau kelompok lain kita lihat dengan kacamata ancaman diskriminasi dan intoleransi, maka akan sangat sulit untuk menjaga keadilan dan perdamaian. Ketika birokrasi dan aturan dibuat berbelit-belit dan tidak dapat diandalkan sebagai sistem, kita jadi tidak percaya terhadap birokrasi dan aturan yang ada karena semua bisa diatur.
Anehnya, publik menerima kenyataan aturan yang berbelit-belit atau prosedur yang tidak bisa diandalkan sebagai keniscayaan. Warga tetap mengikuti tanpa protes. Apakah ini karena rakyat merasa tidak berdaya menghadapi sistem? Atau karena merasa tidak berhak? Atau karena ternyata lebih besar dipengaruhi oleh sikap nrima, ikhlas, tepa selira?
Barangkali seperti kata orang, ya begitulah Indonesia yang penuh kontradiksi. Paling-paling, saat naik pesawat dan ada orang bersin di sebelah, kita tidak ingat sistem dan belingsatan menyelamatkan diri.
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 17 Oktober 2021)