Membangun Lingkaran “Hermenutika Mendengar”: Dari Ko-eksistensi Menuju Relasi Pro-eksistensi

Saya adalah tenaga pengajar di Universitas Negeri Gorontalo sebagai pengampu mata kuliah Pendidikan Agama dan mata kuliah Wawasan Budaya. Dua mata kuliah ini menarik buat saya. Misalnya mata kuliah agama ada materi tentang hubungan dan kerukunan antarumat beragama. Sementara pada mata kuliah wawasan budaya, materinya menyangkut keragaman budaya.

Sebelum saya mengajar biasanya saya melalukan apersepsi sebagai pengantar awal sebelum masuk materi. Dua kajian (materi) di atas merupakan langkah review sebagai upaya untuk mendengarkan pengalaman dari setiap individu (mahasiswa) tentang pandangan dan pengalaman mereka dalam melihat orang lain yang berbeda dan menceritakan perlakuan yang diterima dari kelompok agama, etnik, dan budaya yang berbeda.

Praktik mendengar ini saya lakukan dalam tiga kali pertemuan. Kemudian saya merefleksikan apa yang diceritakan oleh mahasiswa. Banyak hal yang ditemui, kalau disederhanakan yang muncul dari cerita mahasiswa adalah proses “N” daripada “U”. Hal itu tergambarkan dari pandangan dan sikap yang disebut sebagai voice of judgment, voice of cynicism, dan voice of fear terhadap orang lain yang berbeda (diversity).

Pandangan dan sikap ini wajar, karena proses “N” lebih dominan daripada proses “U”. Produksi wacana yang selama ini mereka terima dari proses downloading berdasarkan teori “N” bersifat cenderung menghancurkan (rasa takut, rasa benci, dan melahirkan ketidakpedulian). Pandangan bahwa orang-orang di luar Islam adalah kafir dan sesat mereka terima (downloading) selama ini dan mengabaikan keingintahuan, membuka hati dan tekad sebagai bentuk prototype baru yang lahir dari teori “U”.

Dalam praktik mendengar, saya mengajak mahasiswa berkunjung ke rumah-rumah ibadah untuk mendengarkan cerita yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas di Gorontalo (Hindu, Buddha, dan Kristen). Misalnya kasus yang pernah dialami oleh umat Buddha ketika sedang beribadah dan didatangi oleh salah seorang anggota Jama’ah Tabligh. Tanpa basa-basi, salah seorang anggota Jama’ah Tabligh langsung menyuruh kepada seluruh jamaah yang sedang beribadah untuk bersyahadat (mahasiswa saya tertawa mendengar ini). Demikian pula penolakan terhadap pembangunan Stuva yang tingginya tidak boleh melebihi tingginya menara masjid di Gorontalo.

Sementara dari kalangan umat Hindu, kami mendengarkan kisah penolakan pembangunan Pura di kota Gorontalo. Selain itu dari umat kristiani, kami mendengarkan dengan khidmat kisah salah seorang umat kristiani ketika mengucapkan salam, tapi tidak dibalas oleh teman-temannya muslimnya di tempat ia bekerja. Banyak kisah yang didengar, tapi tidak semua mahasiswa mendengar dengan baik, dengan alasan bosan atau membosankan. Ini bukan soal membosankan, tapi tekad untuk mengajarkan dan kesediaan belajar mendengar cerita orang lain yang mengharukan.

Tradisi Mendegar (Membuka Pikiran, Hati, dan Tekad)     

Mendengar atau listening adalah tindakan pasif seseorang terhadap apa yang ia dengar dari orang lain (downloading). Mendengarkan orang bicara ada dua tipe, yakni senang dan bosan. Tidak semua orang mau mendengar, apalagi kalau yang ia dengar menyangkut sesuatu yang kurang menyentuh “alam bawah sadar” seseorang. Banyak hal yang menarik atau juga kurang menarik seseorang untuk mendengarkan sesuatu, karena setiap orang memiliki prototype dan karakter psikologis yang berbeda-beda.

Mendengar harus bebas dari interpretasi, kecurigaan, mental judge, sinisme (voice of cynicism) apalagi ketakutan atau kekhawatiran (voice of fear). Mendengar tidak hanya berhubungan dengan situasi psikologis melainkan juga mengundang perhatian sosiologis-antropologi. Perhatian sosiologis-antropologis dimaksudkan sebagai reaksi kemanusiaan (humanity) di mana setiap orang merasa terlibat (involved) dan terharu (compassion) ketika ia mendengarkan apa yang diceritakan oleh seseorang. Mendengar tidak hanya mendengarkan apa yang dialami oleh seseorang atau komunitas, kemudian setelah itu selesai. Tapi mendengar mendorong orang lain untuk merasa terharu, melakukan konversi, kolaborasi, dan kesepahaman.

Lingkaran ”Hermeneutika Mendengar”

Hermeneutika mendengar sebagai katakanlah ”teori” yang lahir dari hasil refleksi saya terhadap materi level of listening yang kami terima pada saat mengikuti pertemuan Religious Leader Jaringan GUSDURian di Makassar pada 17-19 Juni 2022 lalu. Banyak hal baru yang kami dapat, terutama materi listening (mendengar) dan teori ”U” yang diteorisasi oleh C. Otto  Scharmer.

Berdasarkan hasil refleksi saya, saya mencoba membangun sebuah teori. Saya menyebutnya sebagai teori lingkaran ”Hermeneutika Mendengar”. Tentunya dari teori ini masih banyak kekurangan secara konseptual, tapi minimal tindakan open mind, open heart, dan open will tersampaikan secara teoritis dan praksis. Dalam teori Hermeneutika Mendengar ada 4 (empat) level yang harus dilakukan, yaitu terharu (compassion), konversi (conversion), kolaborasi (collaboration), dan kesepahaman (comprehension). Bagaimana teori ini bekerja? Berikut penjelasan keempat lingkaran hermeneutika mendengar: 

Lingkaran ”Hermeneutika Mendengar”

Terharu (compassion). Terharu merupakan gerakan atau tahap pertama (first stage) menuju perjumpaan dari umat beragama yang berbeda-beda. Kalau orang-orang yang mendengarkan cerita atau kisah yang dialami oleh suatu kelompok atau komunitas dari berbagai perspektif dan alasan tidak merasa terharu terhadap mereka yang mengalami penderitaan, penindasan, dan eksploitasi, maka perjumpaan dalam model ini akan sulit untuk dilaksanakan.

Untuk mewujudkan model perjumpaan seperti ini, maka gerakan yang harus dilakukan adalah mendengarkan dengan merasa menderita bersama dengan mereka yang mengalami penderitaan dan viktimasi. Hanya saja, membuat klaim seperti itu berarti menyangkal apa yang diyakini oleh umat Kristen sebagai kenyataan dosa atau apa yang dilihat oleh umat Buddha sebagai ketidaktahuan. Tapi, ada banyak orang yang merasa terharu karena bangkit rasa humanitasnya dan rasa religiusitas serta keyakinan mereka setelah terharu mendengarakan kisah-kisah yang diceritakan.

Seorang pendengar yang merasakan hal itu akan mendapati mereka terhubung dalam dua arah yaitu tidak hanya mereka yang menjadi korban dari penderitaan, tapi juga dengan orang lain yang yang mempunyai rasa keharuan yang sama. Dalam konteks ini, kita melihat adanya benih awal dari apa yang disebut sebagai “the principle of unity”, di antara komunitas yang ada.

Rasa terharu yang saya rasakan akan menyatu dengan rasa terharu yang Anda rasakan, di mana rasa terharu akan membuat kita bersaudara antarsesama. Para korban dan penderitaan adalah kenyataan yang mengajak kita untuk bertemu dalam suatu pertemuan untuk berdialog. Rasa terharu bisa dicapai jika seseorang membuka pikiran (open mind) dan membuka hati (open heart).

Konversi (conversion). Dalam konversi, para korban tidak hanya menyentuh perasaan kita (pendengar), tapi juga mereka mengajak kita untuk memberi tanggapan (membuka pikiran dan membuka hati) atas penderitaan yang mereka alami. Merasa terharu dengan sesungguhnya akan mendorong munculnya konversi. Keharuan menuntut sesuatu.

Pengalaman bahwa hidup ini selalu berputar seperti arah jarum jam dan merupakan panggilan yang mendorong kita terpanggil bersama orang lain yang mempunyai pengalaman yang sama. Dalam gerakan atau tahap kedua ini, belum ada pembicaraan tentang apa yang harus dibuat atau direncanakan bersama. Dalam gerakan ini yang hanya ada konversi dan panggilan bersama untuk melakukan sesuatu terhadap penderitaan dan ketidakadilan yang dipikul secara bersama-sama.

Kolaborasi (Collaboration). Setelah kita merasa terharu atas penderitaan yang dialami oleh para korban dan terkonversi atas sebab-sebab terjadinya penderitaan, maka akan memungkinkan lahirnya suatu tindakan bersama. Di sinilah inti praksis pembebasan (open will) yang akan mengikat eksistensi kemanusiaan antara komunitas yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda-beda.

Di sinilah keragaman perspektif agama-agama berperan. Keragaman analisis dan kajian untuk mengatasi penderitan dan ketidakadilan merupakan kekayaan yang disumbangkan oleh agama-agama yang berbeda-beda untuk menangani penderitaan yang dialami oleh manusia.

Seluruh usaha untuk saling mendengar secara serius terhadap kepelbagian analisis dan rencana masing-masing berakar di dalam dan ditopang oleh sikap terharu atas berbagai penderitaan yang dialami oleh para korban ketidakadilan. Jadi, kepedulian utama yang membimbing pembicaraan semacam ini bukanlah kehendak untuk memperkenalkan satu agenda atau keyakinan agama masing-masing, melainkan untuk menghilangkan penderitaan dan mengatasi situasi.

Upaya perubahan atau konversi yang ditujukan kepada upaya untuk kesejahteraan para korban ketidakadilan, tidak hanya memungkinkan kita untuk mengemukakan pendapat kita secara terbuka, namun juga mendengarkan orang lain dan mencoba ide-ide dan taktik baru.

Kesepahaman (Comprehension). Kebersamaan membuka pintu kesepahaman (open mind) di antara komunitas umat beragama yang berbeda-beda. Setelah ikut menderita bersama (open heart) dengan orang-orang yang menjadi korban dari penderitaan (terharu), dan menanggapi segala bentuk penderitaan yang dialami oleh korban (konversi), kemudian bekerjasama (open will) dengan dan untuk mereka yang menjadi korban (kolaborasi), maka tibalah pada tahap kesepahaman atau saling memahami, di mana umat beragama merasa terpanggil untuk memulai tugas-tugas untuk saling memahami antara para partisipan dialog dengan orang-orang yang mengalami penderitaan dan viktimasi.

Dalam konteks ini, gerakan praksis alamiah dari lingkaran ”hermeneutika mendengar” mulai bergerak ke arah refleksi, diskusi, studi, doa, dan meditasi. Tapi semua usaha untuk berbagi dan memahami pada tingkat keagamaan akan terjadi dalam wilayah yang sama, sehingga rasa terharu, konversi, dan kolaborasi antarumat beragama.

Dalam momentum ini, umat beragama berbicara dan bertindak bersama. Prinsip persatuan dalam kebersamaan menjadi ikatan solidaritas yang didasarkan pada nilai-nilai humanitas. Bertindak dan menderita bersama di antara komunitas agama-agama, terpanggil bersama dengan cara baru sebagai korban, kini akan merefleksikan keyakinan dan motivasi keagamaan mereka.

Di sinilah mereka mulai terpanggil untuk melihat kembali kitab suci, kepercayaan, dan cerita-cerita yang menjelaskan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain mengenai semangat untuk membimbing dan memelihara perasaan terharu, konversi, kolaborasi demi kesejahteraan umat manusia di bumi ini. Inilah yang menurut Edward Schillebeeckx sebagai bentuk dari oikumenisme baru, atau dalam istilah GUSDURian disebut dengan ”hadir utuh, sadar penuh.”

Pembina Komunitas GUSDURian Gorontalo. Alumnus Workshop Religious Leader Makassar, Sulawesi Selatan.