Akhir-akhir ini fenomena flexing menjadi suatu persoalan besar di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Sejumlah orang dengan sematan sultan atau crazy rich memamerkan outfit pribadinya, barang-barang mewahnya berupa mobil-mobil berkelas, pakaian bermerek kelas dunia, dan lain sebagainya.
Manusia berusaha menunjukkan eksistensinya kepada orang lain melalui harta yang dimilikinya. Hal ini menjadi semakin marak dengan hadirnya media sosial yang memudahkan orang-orang itu untuk menjangkau lebih banyak kalangan. Pola pikir manusia sepertinya telah berubah soal taraf kehidupannya dalam tingkat sosial masyarakat. Manusia berusaha menunjukkan sesuatu yang menurutnya akan mengangkat martabat sosialnya dalam masyarakat.
Persoalan fenomena flexing ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa jiwa sosial seakan hilang dari kesadaran manusia. Kita perlu menyadari bahwa di balik megahnya kekayaan orang-orang itu, masih ada orang-orang yang berusaha bertahan hidup dengan seadanya karena berbagai kesulitan yang dihadapi untuk memperoleh sesuap nasi. Fenomena ini juga akan menjadi begitu tak bermartabat ketika apa yang dipamerkan itu adalah hasil dari korupsi atau pencurian hak milik mereka yang menderita tadi. Hal ini bukan suatu kemungkinan, tetapi sungguh telah terjadi dan melilit elite-elite negeri yang sebelumnya telah bangga dengan harta kekayaannya yang serba mewah.
Fenomena flexing ini dalam pengamatan saya, akhir-akhir ini selain tampak dalam ruang lingkup ekonomi dan sosial masyarakat, juga telah menjamur di dalam lingkup penghayatan iman keberagamaan kita. Pada kenyataannya hal ini sangat sering terjadi dalam masyarakat yang sedang menghayati agamanya. Model penghayatan iman keberagamaan sering ditampilkan di ruang publik untuk menunjukkan kualitas imannya kepada orang lain. Sayangnya hal itu dilakukan dengan berusaha menghalang-halangi orang lain atau warga lain untuk menghayati atau menjalankan iman kepercayaannya.
Maka dari itu, tindakan saling mengkafirkan atau persoalan diskriminasi sering tampak dalam keseharian masyarakat. Orang berusaha menutup tempat ibadah, menolak pembangunan tempat ibadah, menolak pelaksanaan ibadah, dan lain sebagainya, untuk menunjukkan bahwa kehadiran semuanya itu mengganggu kekhusyukannya dalam menghayati imannya. Artinya, orang masih memiliki keinginan untuk menunjukkan bahwa dia ingin mendalami imannya akan Tuhan sehingga segala sesuatu itu akan mengganggunya.
Perjalanan manusia akhir-akhir ini menunjukkan suatu realitas keberagamaan baru bahwa manusia merasa imannya terganggu ketika orang lain dari agama tertentu hadir dengan berbagai rujukan penghayatan imannya. Akan tetapi orang tidak begitu terganggu dan bahkan imannya tidak sama sekali goyah ketika ia sendiri tidak mendalami imannya dengan membaca kitab suci dan sejenisnya. Dengan kata lain, penghayatan iman manusia masih dipusatkan pada bagian ekstrinsik belaka. Manusia masih lupa untuk mendalami imannya dari dalam dengan mendasarkan imannya pada kitab suci dan aneka refleksi dalam agama masing-masing yang sejatinya mengarahkannya untuk sampai pada penghayatan agama yang dewasa.
Dalam konteks fenomena flexing, iman masih dapat dikatakan menjadi alat flexing di tengah masyarakat. Iman dipertontonkan kepada khalayak publik untuk menunjukkan diri sebagai sosok yang layak dihargai karena kedalaman imannya. Ini tentu suatu ironi baru dalam hidup beragama di Indonesia. Ini menjadi masalah yang lebih kompleks ketika fenomena flexing ini dibawa pada situasi perpecahan antara satu dengan yang lainnya. Kesatuan dinihilkan oleh suatu intensi untuk menggemakan diri di ruang publik.
Gagasan Gus Dur tentang pribumisasi Islam merupakan suatu ajakan untuk umat Islam di Indonesia agar mampu menghayati agamanya secara lebih mendalam, mementingkan yang substansial dan esensial, dan tidak mementingkan simbol yang kerap kali dapat menimbulkan problem dalam kehidupan bersama. Gus Dur menghendaki adanya kedewasaan dalam beragama. Secara universal, setiap umat beragama diharapkan untuk tidak mudah jatuh oleh kehadiran simbol yang memang pada agama tertentu adalah sarana bagi mereka untuk mendalami imannya.
Tentu ini penting dalam realitas keberagaman bangsa ini. Dan yang pasti bahwa Gus Dur sama sekali tidak menghendaki adanya oknum-oknum yang menunjukkan kualitas imannya kepada publik dengan menggerus relasi persahabatan di negeri ini. Dengan kata lain, fenomena flexing sungguh secara tidak langsung ditentang oleh Gus Dur secara khusus dalam konteks penghayatan iman keberagamaan.
Harapan dari suatu bentuk penghayatan iman kepercayaan masing-masing pribadi adalah dengan tindakan yang mengarah pada kebaikan bersama. Setiap pribadi diharapkan mampu menghayati agamanya secara dewasa, tidak hanya sekedar untuk mendapat pujian dari orang lain. Sesungguhnya yang diharapkan dari penghayatan agama itu adalah dampak yang baik bagi kehidupan bersama di masyarakat.
Maka dari itu, pendalaman kita akan agama jangan sampai berkutat di dalam ruang–ruang suci dan hanya muncul saat kehadiran yang lain di sekitar yang dianggap mengusik kekhusukannya di dalam ruang suci itu. Dapat dipastikan bahwa itu justru akan membawa dampak yang buruk dalam kehidupan bersama sebagai satu bangsa. Yang penting adalah pemahaman dan berbagai refleksi suci yang diperoleh dalam ruang-ruang suci itu hendaknya dijadikan dasar untuk ikut menyucikan dunia dan kehidupan bermasyarakat dengan kehidupan yang baik, yang mampu membawa dinamika hidup yang baik pula dalam masyarakat.
Dan, tidak dapat dimungkiri bahwa itu akan membawa dampak kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa iman kepercayaan yang dipertontonkan untuk kepentingan sendiri hanya akan memasukkan dunia pada persoalan dan sejenisnya.