Kasus pendirian rumah ibadah kembali gagal ditangani. Jemaah Gereja Kristen Protestan Simalungun atau GKPS harus menerima keputusan tempat mereka beribadah disegel. Pemerintah Kabupaten Purwakarta beralasan bahwa bangunan ini belum mendapatkan izin.
Kasus-kasus di atas hanya dua dari ratusan kasus konflik terkait rumah ibadah yang gagal ditangani. Setara Institute mencatat ada 20 kasus pelanggaran kebebasan beragama terkait pendirian rumah ibadah pada 2021. Kasus-kasus lain yang serupa selalu muncul dalam laporan tahunan Setara Institute sejak 2007.
Penanganan kasus-kasus rumah ibadah selama ini identik: pemerintah menyegel rumah ibadah yang diprotes warga. Pemerintah mengklaim keputusan penyegelan sebagai hasil kesepakatan bersama para pemangku kepentingan, termasuk pengurus atau panitia pembangunan rumah ibadah.
Penanganan semacam ini memperlihatkan kegagalan negara dalam menjamin warganya beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Alih-alih memfasilitasi, pemerintah menyegel rumah ibadah mereka. Padahal, memenuhi hak beragama atau berkeyakinan adalah kewajiban negara.
Konflik pendirian rumah ibadah baru atau renovasi agama minoritas di Indonesia akan selalu ada. Selama perpindahan warga dari satu kota ke kota lain berlangsung, selama itu pula kebutuhan akan rumah ibadah baru terus muncul. Setiap kali pendirian rumah ibadah baru selalu ada peluang keberatan dari warga setempat.
Pada 2019, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan 53 persen penduduk Indonesia keberatan atas pendirian rumah ibadah agama lain di lingkungannya. Artinya, ada 5 dari 10 penduduk Indonesia yang berpeluang menolak rumah ibadah baru agama lain di lingkungannya.
Alih-alih memfasilitasi, pemerintah menyegel rumah ibadah mereka. Padahal, memenuhi hak beragama atau berkeyakinan adalah kewajiban negara.
Mengapa gagal?
Penanganan kasus-kasus rumah ibadah umumnya ditempuh melalui jalur kekeluargaan, yang kemudian disebut ”mediasi”. Saya beri tanda petik karena praktik mediasi selama ini tidak mencerminkan prinsip-prinsip mediasi.
Pertama, tidak netral. Masalah utama musyawarah kasus rumah ibadah selama ini adalah netralitas. Pada hampir semua kasus, pemerintah menempatkan diri sebagai mediator. Sebagai mediator, pemerintah merasa paling tahu solusi terbaik pada setiap kasus. Di sinilah ketidaknetralan dimulai.
Bagi pemerintah, solusi terbaik adalah ketika kasus ini tidak lagi muncul di media massa. Agar cepat ”selesai” dan tidak lagi menjadi bahan pemberitaan, pemerintah mencari siapa yang salah pada kasus tersebut. Siapa yang salah, dia yang harus mengalah.
Kedua, mencari kesalahan, bukan mengidentifikasi kebutuhan. Pemerintah sebagai mediator sering sibuk mencari salahnya ada di mana. Apakah bangunan sudah memenuhi perizinan atau tidak. Jika belum mendapat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), solusi dari pemerintah hanya satu: menyegel bangunan.
Pada 2014, Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Barat merilis bahwa sebanyak 60 persen dari 162.000 masjid dan mushala di Jawa Barat belum memiliki IMB. Tak hanya masjid, rumah ibadah lainnya juga sudah pasti tidak semua memiliki IMB. Jika menyegel bangunan tanpa IMB tak berizin sebagai jalan keluar terbaik, berapa ratus ribu warga yang butuh beribadah di tempat nyaman tidak terpenuhi?
Menyegel bangunan yang belum memiliki IMB tidak menyelesaikan masalah. Masalah utama warga adalah mereka membutuhkan tempat beribadah yang layak. Menyegel rumah ibadah sama dengan mengabaikan kebutuhan tersebut.
Terakhir, tidak setara. Dari segi jumlah, konflik rumah ibadah biasanya antara pihak calon pengguna dari kelompok minoritas dan pihak penolak dari kelompok mayoritas. Dalam relasi kuasa semacam ini, pemerintah sering lebih banyak mendengarkan keinginan pihak mayoritas daripada menyimak kebutuhan minoritas.
Bagaimana bisa menghasilkan kesepakatan bersama jika hanya suara satu pihak yang lebih didengar daripada pihak lainnya?
Dilihat dari prosesnya, penanganan kasus rumah ibadah dengan pendekatan di atas tidak mencerminkan mediasi, melainkan penghakiman non-hukum. Musyawarah dengan model penghakiman non-hukum ini sampai kapan pun akan merugikan warga minoritas. Di situlah negara melanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan warga.
Lalu, bagaimana musyawarah yang seharusnya, yang menggunakan pendekatan mediasi dengan benar? Dapatkah memediasi konflik agama, khususnya rumah ibadah, menghasilkan kesepakatan bersama melalui proses yang setara?
Pertanyaan di atas bersifat retorik dan memperlihatkan pesimisme karena konflik agama dianggap sebagai isu sensitif yang menyangkut keyakinan.
Meski terbatas jumlahnya, Komnas HAM telah berhasil memediasi sekitar 4-5 kasus konflik rumah ibadah setiap tahunnya. Pada setiap kasus, Komnas HAM berhasil mencapai resolusi konflik yang semua pihak merasa puas.
Empat prinsip
Pusat Mediasi Nasional (PMN) Jakarta, lembaga di mana saya memperoleh sertifikat mediasi profesional, merumuskan empat prinsip yang harus terpenuhi dalam mediasi profesional.
Prinsip pertama, mediator bersikap imparsial. Imparsial berarti mediator tidak memiliki benturan kepentingan dengan salah satu pihak. Jika mediator merasa akan condong kepada salah satu pihak, ia harus mundur. Dalam kasus konflik agama, dapatkan mediator bersikap imparsial? Jawabannya, kenapa tidak.
Agar dapat bersikap imparsial, prinsip kedua, proses mediasi haruslah menjamin kesetaraan pada pihak. Prinsip ini akan tercermin dalam proses sejauh mana mediator memberikan waktu yang sama kepada para pihak untuk mengemukakan sudut pandang masing-masing atas masalah yang mereka hadapi. Para pihak harus mendapat porsi dan waktu bicara yang sama.
Tugas mediator ketika mendengarkan para pihak adalah mencatat harapan dan kekhawatiran. Dari kekhawatiran dan harapan itu, mediator akan merumuskan apa saja hal-hal yang sama dan hal-hal yang perlu dirundingkan. Mengidentifikasi kesamaan dan perbedaan para pihak adalah prinsip ketiga mediator profesional.
Pada kasus-kasus pendirian rumah ibadah, biasanya para pihak memiliki beberapa kesamaan. Misalnya, mereka sama-sama menginginkan hidup bertetangga dengan nyaman walau rumah ibadah baru. Ini adalah titik pijak penting untuk menghasilkan kesepakatan pada proses berunding.
Di sisi lain, hal-hal yang harus dirundingkan dalam konflik rumah ibadah biasanya lebih dari satu. Semakin banyak isu teridentifikasi, semakin besar peluang keberhasilan mediasi.
Di antara isu yang sering muncul dalam kasus rumah ibadah adalah komunikasi. Pihak penolak biasanya belum tahu atau tidak diajak bicara. Maka, kedua pihak perlu menyepakati bagaimana pola komunikasi antara panitia pembangunan dan warga setempat tanpa kecuali.
Isu lain yang juga biasanya muncul adalah bagaimana mereka menyepakati pembangunan rumah ibadah memenuhi prinsip transparansi dan keterbukaan. Kehadiran rumah ibadah baru biasanya diiringi kekhawatiran ajakan berpindah agama. Jalan keluarnya, kedua pihak harus menyepakati bagaimana transparansi beragama dipenuhi bersama.
Jika isu konflik telah teridentifikasi dengan cermat, jalan keluar harus datang dari para pihak. Ini prinsip terakhir. Bagaimana proses kehadiran rumah ibadah baru transparan, misalnya, para pihaklah yang lebih tahu apa jalan keluarnya. Mediator hanya membantu proses kelahiran kesepakatan-kesepakatan tersebut.
Keempat prinsip di atas hanya bisa dilakukan mediator yang terampil. Ia harus terampil menggali apa yang menjadi kekhawatiran dan harapan pihak-pihak yang bersengketa, bukan mencari-cari kesalahan siapa. Mediator juga harus terampil merumuskan apa saja isu yang sebetulnya bertentangan pada para pihak.
Keterampilan mediator lainnya adalah kemampuan membantu proses perundingan yang kesepakatannya datang dari para pihak. Mediator harus mampu menurunkan ekspektasi jika para pihak bersikukuh dengan tuntutan yang tidak dapat dipenuhi satu sama lain.
Untuk mengatasi konflik keagamaan, khususnya terkait rumah ibadah, di masa depan, pemerintah seharusnya memperbanyak mediator profesional yang siap membantu para pihak yang berkonflik.
Di antara aktor yang potensial menjadi mediator adalah anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Ketiadaan keterampilan mediasi profesional di lingkungan FKUB mengakibatkan peran lembaga ini seakan-akan bagian dari masalah, bukan solusi.
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina baru saja melahirkan setidaknya 50 mediator profesional dari kalangan tokoh agama di Kota Medan, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Malang.
Dengan sumber daya yang dimiliki, pemerintah bisa melahirkan ribuan mediator profesional dari kalangan agamawan. Tanpa mereka, kita akan kembali membaca berita konflik rumah ibadah yang gagal ditangani.
______________________________
Artikel ini pertama kali dimuat di Harian Kompas, 11 April 2023