Dilema Media Sosial: Dari Regulasi hingga Kasus Bunuh Diri

Provinsi Gorontalo—tempat saya tinggal—baru-baru ini mengalami kejadian horor. Sebuah fenomena yang membuat semua orang takut, bingung, dan cemas. Kasus bunuh diri tengah meningkat begitu derasnya. Sesuai catatan yang saya kumpulkan, jumlah kasus bunuh diri—maupun percobaan bunuh diri—yang terjadi menyentuh angka 24 kasus selama bulan Januari hingga Juli 2023. Rata-rata kasus bunuh terjadi tiap bulannya ada tiga hingga empat kasus.

Angka ini signifikan. Kasus ini telah menjadi fenomena gunung es. Hanya puncaknya yang terlihat. Akibat yang nampak ke ruang publik. Namun sesungguhnya dasar dari kasus ini sangat kompleks. Ada berbagai spekulasi yang beredar di benak masyarakat terkait fenomena ini. Ada yang mengatakan penyebabnya karena kurangnya iman, kondisi ekonomi yang terpuruk, bahkan krisis mental dari generasi masa kini. Yang terdengar agak konyol menurut saya, ada yang berspekulasi bahwa kasus ini terjadi sebab adanya roh jahat yang beredar di masyarakat. Ini adalah tautologi.

Seperti zaman sebelum datangnya filsafat, manusia akan berspekulasi kepada roh-roh, kekuatan makhluk tak kasat mata, atau bahkan kekuatan Tuhan terhadap fenomena yang tak diketahuinya. Namun, masalah ini menurut saya salah satunya berakar dari penggunaan media sosial yang menggila.

Tak bisa dipungkiri media sosial telah mendarah daging dalam kehidupan kita. Setiap hari kita memanfaatkan media sosial untuk berbagai tujuan. Bahkan sekedar mengabarkan letak keberadaan kita juga bisa dibuang ke berbagai platform media sosial.

Melansir dataindonesia.id yang memaparkan hasil laporan We Are Social menunjukan jumlah aktif pengguna media sosial pada tahun 2023 sebanyak 167 juta orang. Jika dipersentasi setara 60,4% dari total penduduk Indonesia. Dari data tersebut, waktu yang dihabiskan oleh masyarakat dalam berselancar rata-rata 3 jam 18 menit setiap harinya. Di mana, durasi tersebut menjadi yang tertinggi kesepuluh di dunia.

Penggunaan media sosial ini memang memberi segudang informasi yang bermanfaat. Termasuk kepada saya. Tapi saya sadar setelah menonton dokumenter berjudul ‘The Social Dilemma’. Dalam dokumenter tersebut para narasumber sepakat bahwa, media sosial bukan tempat yang menyediakan hal yang kita inginkan. Media sosial seperti: Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, dan lainnya adalah ladang bisnis bagi pengusaha.

Dalam film itu tidak main-main mengambil narasumber. Narasumber yang dihadirkan di antaranya adalah para mantan pegawai perusahan besar yang saya sebutkan sebelumnya. Bahkan ada pemangku jabatan yang tinggi. Dari kesimpulan mereka lagi, media sosial adalah ladang bisnis yang membuat para penggunanya untuk selalu tertarik.

Setiap detik kita seperti tersihir untuk terus membuka atau men-scroll medial sosial pada ponsel kita. Ya, mereka membuat kita bertahan pada aplikasi itu dengan menyuguhkan informasi sesuai keinginan kita. Tapi bukan seperti itu maksud sebenarnya. Mereka membuat kita bertahan dengan media sosial agar mereka mendapat keuntungan.

Tapi saya tidak akan membahas film dokumenter itu. Mungkin akan saya ulas di waktu lain khusus film itu. Yang menjadi poin pentingnya yaitu, media sosial yang sudah sejak dulu menemani kehidupan kita adalah media yang tidak memiliki filter sebab para pemiliknya ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Profit Oriented.

Di Indonesia sendiri belum ada regulasi yang mengatur penggunaan media sosial. Mungkin sekedar pembatasan umur bagi konten-konten dewasa. Namun, sekali lagi hal itu mudah diakali. Saya sering kali menemukan konten-konten yang berbunyi konten sensitif, tapi masih bisa untuk diakses. Seolah ingin membatasi tapi setengah hati. Mengapa?

Padahal di beberapa negara seperti Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, Cina, India, Brasil, Jerman, Australia, Turki, dan lainnya telah meregulasi penggunaan media sosial dengan membatasi bahkan menghapus konten-konten yang mengandung unsur kekerasan dan lainnya.

Amerika Serikat contohnya. Mereka telah menerbitkan berbagai undang-undang dan regulasi federal, termasuk Comunications Decency Act dan Children’s Online Privacy Protection Act, di mana regulasi itu mengatur tentang penggunaan dan perlindungan anak-anak dalam bermedia sosial.

Kembali ke film dokumenter The Social Dilemma tadi. Para narasumber setuju bahwa di setiap negara-negara yang ada di dunia ini perlu meregulasi lebih serius penggunaan media sosial. Hal ini juga telah disuarakan oleh Wakil Ketua Dewan Pers Indonesia Hendry Ch. Bangun. Dia mengatakan bahwa, Indonesia sudah saatnya memiliki regulasi mengenai media sosial.

Bahkan sumber informasi yang lebih sering diakses oleh masyarakat adalah media sosial. Ketimbang misalnya media massa atau pemberitaan yang lebih komprehensif dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun sekali lagi, ada anomali yang terjadi di sini bahwa masyarakat juga menginginkan informasi tapi akses terhadap informasi itu cukup mahal. Maka solusi yang murah meriah adalah media sosial yang merupakan tempat sampah internet.

Di beberapa negara misalnya telah menggunakan filter dan teknologi otomatis untuk mengidentifikasi dan bahkan menghapus konten yang berbahaya. Termasuk menerapkan mekanisme pelaporan yang melanggar, sehingga pengguna dapat melaporkan konten bunuh diri dan mengajukan permintaan penghapusan. Namun, di Indonesia hal ini tidak ada. Sehingga kasus bunuh diri yang angkanya makin bertambah terjadi di negara ini, khususnya di Provinsi Gorontalo.

Langkah yang diambil oleh pemerintah Provinsi Gorontalo saat ini sekedar menghimbau. Terbilang setengah hati. Ketimbang hal itu, pemerintah bisa langsung menurunkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang tidak panjang prosedur birokrasinya dan menekankan pada pembatasan konten media sosial, yang di dalamnya bisa bekerja sama dengan pihak Dinas Kominfotik provinsi maupun kabupaten/kota. Atau pemerintah hanya bisa sekedar mengimbau. Solusi setengah hati yang menjadi andalan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Gorontalo.