Pelajaran Politik Berharga dari Gus Dur

Sungguh kiranya tak habis-habisnya terus mengulas dan mengambil samudera pelajaran yang berharga dari sosok pendekar, pejuang, dan pemimpin yang telah banyak berjasa bagi Indonesia. Tentu sosok yang dimaksud yakni Almarhum Almaghfurllah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur merupakan pejuang kemanusiaan yang terus berjuang tanpa mengenal lelah. Hal ini terbukti dari sepak terjangnya dalam berbagai catatan tertulis maupun kenangan dari orang-orang yang pernah menyaksikan pengorbanan selama hidupnya dalam membela kelompok minoritas.

Gus Dur juga memberikan pandangan yang cukup untuk membuat banyak orang merasakan dampak positif bagi kehidupan sekarang. Lagi-lagi kita hanya bisa merasakan ketika sosok Gus Dur telah wafat dan bangsa Indonesia pun sangat kehilangan sosok yang sangat visioner dan telah mendermakan sepanjang hidupnya untuk kebaikan dan memberikan kebahagiaan bagi banyak orang. 

Tercatat sepanjang hidupnya, Gus Dur berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari nilai-nilai agama sebagai rahmatan lil alamin, serta tradisi pesantren yang sangat melekat semenjak Gus Dur kecil. Perjuangan Gus Dur membela minoritas yang tertindas (atau dalam bahasa Arab: mustadh’afin) sering menghadapi hantaman dan tantangan. Namun, dengan keyakinan dan konsistensi perjuangan atas nama kemanusiaan, Gus Dur tak pernah surut langkah dan tak pernah mundur sejengkal pun. Beliau selalu berada di garda depan dalam perjuangan membela dan menebarkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai yang beliau wariskan turut memberikan inspirasi bagi warga lintas etnis dan agama, sekaligus berpengaruh dalam jaringan antar pemimpin dunia.

Namun, pada topik ini saya ingin memberikan sekilas pandang pelajaran politik berharga bagi generasi muda sebagai penerus simpul tali yang erat untuk terus mengilhami dan belajar banyak dari KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang patut untuk terus kita rawat dan jaga betul. Pelibatan serta peran kaum santri dalam dunia politik bukanlah sebuah fenomena baru. Meskipun jika ditinjau secara riil telah banyak tokoh besar yang lahir dari rahim pondok pesantren dan telah berhasil menghantarkannya menjadi seorang pemimpin tertinggi di Republik Indonesia dan memiliki kualitas dengan dedikasi tinggi untuk terus memberikan khidmah terbaiknya kepada Tanah Air tercinta.

Politik dalam setiap periode bergulir dengan tetap mengikuti pemahaman yang telah ditetapkan dan kuantitasnya dalam setiap episode politik berbeda-beda, namun proses pewarnaan politik Indonesia tidak lepas dari keterlibatan kaum santri sebagai produk dari pondok pesantren. Posisi seperti ini sesungguhnya sejalan dengan peta politik di Indonesia, di mana keterlibatan kaum santri dapat kita analisa dari empat masa yang tercatat pada perjalanan sejarah Indonesia.

Keempat masa itu adalah masa pra-kemerdekaan, masa awal kemerdekaan hingga berakhirnya Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa Reformasi. Dari Empat periodisasi tersebut maka dapat kita digunakan untuk membaca dan menganalisa pasang-surut kiprah kaum santri di dalam percaturan dunia politik. Banyak gagasan, tindakan, dan kebijakan Gus Dur sebagai jiwa untuk pergerakan serta perjuangan kemanusiaan pada masa kini dan mendatang, yang tentunya mengandung banyak pelajaran berharga bagi generasi muda.

Cita-cita Gus Dur dan awal berdirinya PKB

Gagasan Gus Dur sebagai tokoh yang sangat lekat dengan kehidupan pesantren dan berada di bawah komando para kiai sepuh yang memberikan support kepadanya, maka dengan begitu membuat dirinya mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (disingkat PKB). PKB lahir di masa era Reformasi, tepatnya didirikan pada 23 Juli 1998 oleh para kiai dari Nahdlatul Ulama (NU), seperti KH. Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyat, KH. Abdurrahman Wahid, KH. Mustofa Bisri, dan KH. A Muhith Muzadi melalui wasilah dan petunjuk dari para kiai-kiai sepuh pada masa itu.

Namun pada setelah era Orde Baru berakhir, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendapatkan banyak usulan dari warga Nahdlatul Ulama di seluruh pelosok Tanah Air untuk membentuk partai politik (parpol). Sementara itu KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur prihatin bahwa kelompok-kelompok NU ingin mendirikan partai politik NU karena terkesan mengaitkan agama dan politik partai.

Setelah melalui rapat yang begitu panjang, kemudian pembentukan partai, pemilihan nama, hingga deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pun dilakukan pada 23 Juli 1998 di Jakarta. Pemilihan nama PKB itu sendiri sesuai dengan sifat yang dijunjung parpol ini, yakni kejuangan, kebangsaan, terbuka dan demokratis. Partai ini terbentuk untuk menampung aspirasi warga Nahdliyin pada khususnya dan umat Islam serta rakyat Indonesia pada umumnya.

Gus Dur sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, sikap dan gagasannya mengenai relasi Islam dan negara sebenarnya cukup jelas dan nyata, yaitu bagaimana membangun independensi agama dan para pemeluknya vis a vis negara. Menurut Gus Dur, agama sebagai wilayah privat manusia seharusnya tidak boleh dicampuri oleh siapa pun.

Sikap itu begitu tegas disampaikan oleh Gus Dur, baik melalui berbagai tulisan esai maupun ceramahnya, yang menunjukkan bahwa Gus Dur menolak bentuk formalisme agama dalam kehidupan politik, baik sebagai kehendak masyarakat maupun sebagai kehendak negara. Hal ini juga bisa dilihat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya, partai mayoritas muslim yang tidak melabelkan Islam, sebuah refleksi pemikirannya dalam membangun relasi Islam dan negara.

Gus Dur, dengan corak pemikiran politiknya, kemudian dikategorikan sebagai kelompok realis yang cenderung moderat dalam merespons realitas sosial. Meskipun Gus Dur berlatar belakang kaum tradisionalis, akan tetapi pemikirannya cukup mewarnai kalangan Islam neo-modernis, sebuah kelompok yang afirmatif dalam merespons sekulerisme dan secara tegas menolak formalisasi agama.

Presiden dengan periode jabatan tersingkat

Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato laporan pertanggungjawaban Habibie dan mundur dari pemilihan presiden. Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung yang pada saat itu menjabat sebagai ketua Golkar dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Golkar secara kompak akan mendukung Abdurrahman Wahid. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali berkumpul dan mulai memilih presiden baru. KH. Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan total keseluruhan 373 suara, sedangkan Megawati Soekarnoputri hanya mendapatkan 313 suara.

Keterpilihan Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia pasca kejatuhan rezim Orde Baru pada 1998 terjadi ketika Indonesia tengah mengalami ancaman disintegrasi kedaulatan negara. Berbagai konflik meletus di beberapa wilayah dan daerah. Ancaman separatisme pun semakin nyata. Menghadapi hal itu, setelah pengangkatan dirinya sebagai presiden, KH. Abdurrahman Wahid melakukan pendekatan dari hati ke hati terhadap daerah-daerah yang sedang berkecamuk.

Terhadap Aceh misalnya, KH. Abdurrahman Wahid memberikan opsi referendum otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendum Timor-Timur (kini: Timor Leste). Pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dilakukan KH. Abdurrahman Wahid dengan mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut serta netralisasi Irian Jaya dilakukan KH. Abdurrahman Wahid pada 30 Desember 1999 dengan mengunjungi ibukota Irian Jaya. Selama kunjungannya, Presiden Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa beliau akan mendorong penggunaan nama Papua sebagai penggantinya. 

KH. Abdurrahman Wahid menjadi pemimpin yang berhasil meletakkan pondasi perdamaian Aceh dan pembicaraan damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia menjadi semakin terbuka. Padahal, sebelumnya, pembicaraan dengan GAM sesuatu yang tabu, sehingga peluang perdamaian sepertinya berjalan alot dan ditutup rapat, apalagi jika sampai mengakomodasi tuntutan kemerdekaan.

Saat sejumlah tokoh nasional mengecam pendekatannya untuk Aceh, namun KH. Abdurrahman Wahid tetap memilih menempuh cara-cara penyelesaian yang lebih simpatik dengan mengajak tokoh GAM duduk satu meja dengan rileks untuk membahas penyelesaian Aceh secara damai. Bahkan secara rahasia KH. Abdurrahman Wahid kala itu mengirim Bondan Gunawan, Pjs (pejabat sementara) Menteri Sekretaris Negara untuk menemui Panglima GAM Abdullah Syafii di pedalaman Pidie. Di masa Abdurrahman Wahid pula, untuk pertama kalinya tercipta “Jeda Kemanusiaan”.

Selain usaha perdamaian dalam wadah NKRI, KH. Abdurrahman Wahid disebut sebagai pionir dalam mereformasi militer agar keluar dari ruang politik. Kebijakan awal pada pemerintahan Gus Dur memang sangat mengejutkan dengan membubarkan Departemen Penerangan (sekarang: Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Di masa Orde Baru, Departemen Penerangan merupakan alat bagi Presiden Soeharto untuk mengekang kebebasan pers.

Dengan dibubarkannya departemen tersebut maka kebebasan pers di Indonesia semakin terjamin. Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah (PKM), yang selama pemerintahan BJ Habibie menjadi lokomotif ekonomi kerakyatan dijadikan kementerian non-portofolio alias menteri negara. Akibatnya, Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah tak punya kaki sekaligus menandai disisihkanya kembali sistem ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak.

Gus Dur menjadi presiden keempat yang dipilih oleh MPR dan presiden tercepat dalam sejarah Indonesia, dimulai 20 Oktober 1999 dan berakhir 23 Juli 2001, ditandai dengan “lengser” dari kursi kekuasaannya. Khusus kasus Gus Dur, kekuasaan yang cepat tidak ada korelasinya dengan perubahan besar yang dilakukan di masa kekuasaannya. Akibat perubahan tersebut, sampai sekarang masih dirasakan oleh bangsa ini sebagai warisan sekaligus pembelajaran bagi penerus bangsa.

Warisan Politik Gus Dur

Meskipun Gus Dur pernah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia namun beliau tidak meninggalkan warisan dalam bentuk fisik (uang triliunan, tanah berhektare-hektare), bahkan dompet saja beliau tidak punya. Yang beliau wariskan adalah warisan politik yang secara nasional dan telah mendunia diakui karena berhasil menjadi pemimpin kunci dari gerakan reformasi dan presiden yang menciptakan banyak terobosan baru yang di luar nalar manusia lainnya.

Perlu diketahui, warisan Gus Dur dalam bidang politik yang harus dijaga betul marwah dan reputasinya, yakni kemurnian serta arah gerak partai politik: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dengan dibuktikan apakah terus selaras dengan cita-cita Gus Dur, bukan hanya menjadi perhatian utama bagi kaum sarungan semata.

Karena bagi Gus Dur, ada tiga kunci demokrasi. Pertama, kebebasan. Setiap orang bebas menyatakan pendapatnya. Kedua, kesamaan. Setiap orang harus diperlakukan sama. Ketiga, penegakan hukum. Barulah setelah itu demokrasi akan hidup. Mengutip pernyataan Prof. Mahfudz MD tentang pesan Gus Dur untuk selalu menjalankan politik yang berdemokrasi. Politik yang harus menuju pada pemanusiaan manusia, sehingga manusia jadi lebih bermartabat, maka kita merdeka.

Mari kita berkontestasi dengan baik, kemudian kita selenggarakan negara ini bersama-sama oleh yang menang atau kalah di dalam posisi masing-masing. Demikian pesan Gus Dur sebagai perenungan bersama bagi generasi muda dan para penggerak serta penggemar Gus Dur agar terus menggaungkan “politik yang berkemanusiaan”. Karena Bagi Gus Dur, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian”.

Penggerak Komunitas GUSDURian Brebes. Kontributor NU Online Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *