Teringat pesan Sang Guru Allahyarham KH. Muhtar Adam “Al Safarah Madrasah Kabirah”, bahwa perjalanan itu banyak mengandung pembelajaran yang besar. Pernyataan ini sering dikutip oleh beliau di setiap kesempatan, dan ini telah dibuktikannya dengan banyak melakukan perjalanan ke luar negeri dan berbagai daerah di Indonesia.
Setiap perjalanan yang beliau lakukan khususnya ke luar negeri selalu menghasilkan atau melahirkan sebuah buku. Beliau banyak mencatat hasil perjalanannya, kemudian diramu dalam sebuah buku. Banyak ulama-ulama yang memanfaatkan hasil perjalanannya dari satu daerah ke daerah lainnya, hasil pengamatan, penelitian di berbagai daerah dan menghasilkan suatu karya yang besar.
Ulama-ulama klasik banyak yang melakukan diaspora untuk mencari ilmu. Mereka meninggalkan daerahnya menuju ke daerah yang lain yang dihuni oleh ulama-ulama besar, dengan tujuan menimba ilmu ke ulama tersebut. Ulama-ulama dulu sangat suka melakukan perjalanan karena banyaknya pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik dari hasil perjalanan. Ada inspirasi-inspirasi baru yang dihasilkan dalam suatu perjalanan. Betapa pun faqih-nya Imam Syafi’i sebagai salah satu imam mazhab, akhirnya mendapatkan inspirasi baru setelah mengadakan perjalanan dari tempat tinggalnya di Baghdad ke Mesir, sehingga muncul qaul qadim dan qaul jadid, atau pendapat lama dan pendapat baru.
Begitupun dengan Imam Abu Hanifah, ada pendapat-pendapat baru yang dimunculkan setelah bertemu dengan Imam Ja’far, sehingga terkenal ungkapan Imam Abu Hanifah yang sangat terkenal, “Laula sanatani lahalaka Nu’man“. Artinya, seandainya tidak pernah bersama Imam Ja’far selama dua tahun, maka celakalah Nu’man. Nama lain dari Abu Hanifah adalah Nu’man. Kebanyakan ulama-ulama klasik mengalami masa kejayaan keilmuan karena banyak safari intelektual atau perjalanan dari satu daerah ke daerah lainnya.
Dalam konteks keindonesiaan, ada para tokoh nasional sekaligus ulama sekaligus cendekiawan seperti Gus Dur, Harun Nasution, Cak Nur, Quraish Shihab, Syafi’i Maarif, Komaruddin Hidayat, Ali Yafie, Sahal Mahfudz, Jalaluddin Rakhmat, dan sederat ulama-cendekiawan lainnya. Mereka adalah diaspora-diaspora ulung yang pindah dari satu tempat ke tempat yang lain demi untuk menambah kapasitas keilmuannya.
Mereka berhasil melakukan safari keilmuan dan menjadi juru bicara umat atau referensi keilmuan pada masanya. Mereka juga adalah ulama-ulama yang mempunyai banyak karya atau sangat banyak melahirkan buku-buku karangan. Kalau kita membaca satu per satu karya para ulama atau cendekiawan tersebut, kita akan kagum betapa mereka dalam perjalanan intelektualnya sangat serius menapaki jalan keilmuan. Sejak awal melakukan perjalanan, sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga yang pas-pasan, namun tekad mereka sangat tinggi dalam usaha untuk memperdalam keilmuan.
Membaca perjalanan intelektual dan pemikiran para tokoh tersebut adalah hal yang mengasyikkan. Kita terbawa rasa haru dan ikut merasakan betapa dalam perjalanan menuntut keilmuan adalah hal yang sangat berat dan butuh kesabaran. Mereka adalah peletak dasar keilmuan keislaman moderat di tahun 1970-an sampai di era awal 2000-an. Sekarang sudah banyak kader-kader mereka yang turut mewarnai pemikiran keislaman hari ini, dan itu menjadi ladang jariyah yang akan terus mengalir pahalanya karena meletakkan dasar pemikiran keislaman moderat untuk masa-masa yang akan datang.
Ada persambungan atau kontinuitas intelektual mereka dengan ulama-ulama abad pertengahan, baik sebelum Al Ghazali maupun pasca Al Ghazali, karena mereka banyak mengakses kitab-kitab klasik seperti karya Al Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, dan ulama-ulama besar lainnya.
Perjalanan intelektual para ulama kebangsaan atau ulama moderat ini, sangat banyak mengkaji karya-karya ulama klasik tersebut. Katakanlah Gus Dur, yang semasa mondok di pesantren-pesantren tradisional, sudah sangat familiar dengan kitab-kitab klasik karya ulama-ulama terdahulu, sehingga dia dapat mengakses ilmu-ilmu klasik maupun ilmu-ilmu kontemporer. Itu karena Gus Dur selepas menuntut ilmu di beberapa pesantren tradisional di tanah air langsung melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Timur Tengah, yakni ke Mesir dan Irak.
Begitupun dengan Cak Nur, dia sangat matang dalam kajian keilmuan klasik dan kontemporer. Hal itu karena latar belakang pendidikan Cak Nur dimulai dari pesantren tradisional di Jombang, kemudian melanjutkan ke Gontor yang merupakan pesantren modern, kemudian lanjut ke IAIN, dan akhirnya ke Chicago (Amerika Serikat).
Di kota terakhir inilah dia belajar metodologi keilmuan dari seorang ulama kontemporer, yakni Fazlur Rahman. Dengan melihat latar belakang keilmuan para ulama atau cendekiawan Islam yang beraliran moderat tersebut, mereka punya dasar yang kuat terhadap akses keilmuan Islam yang ditinggalkan oleh para ulama abad pertengahan yang telah mewariskan kitab-kitab klasik yang sangat berharga.
Dengan membaca karya-karya mereka, itu akan menambah wawasan keilmuan kita dan kita diajak memahami keilmuan Islam yang runtut. Karena mereka sangat memahami metodologi dalam mengakses ilmu-ilmu keislaman, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Kita akan mewarisi keilmuan Islam moderat, dan ini sesuai dengan program pemerintah saat ini dalam mengkampanyekan moderasi dalam beragama.
(Bumi Pambusuang, 23 Januari 2024)