Beberapa waktu lalu telah terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara oleh Presiden Joko Widodo. PP tersebut memberikan ruang kepada ormas keagamaan untuk mengelola dan memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Tentunya ini menimbulkan pro dan kontra, di mana ruang agama bukan hanya berada di mimbar saja, melainkan hingga turun ke urusan tambang-menambang. Artikel ini sendiri hendak melihat bagaimana tanggapan gereja dan Alkitab mengenai pemberian izin lahan itu.
Gereja dan Kerusakan Alam
Lalu bagaimana dengan gereja Kristen? Gereja dalam sejarahnya memang jauh dari urusan pertambangan. Namun dalam catatan Gulliot, umat Kristen dekat dengan pembukaan hutan untuk pemukiman baru di era zending Kristen atau di era kolonial. Tentunya pembukaan lahan bertujuan untuk penaklukan dan pembukaan pemukiman baru. Hal ini terjadi di Ngoro dan Mojowarno yang diyakini telah dibuka oleh para zending untuk kepentingan pemukiman Kristen pada masa itu.
Dalam tesis White disebutkan, ada beberapa hal yang memengaruhi krisis lingkungan hidup atau ekologi, di antaranya adalah agama dan budaya. White merupakan seorang sejarawan yang memiliki pandangan teologi yang cukup mumpuni. Dirinya mengkritik penggunaan teknologi untuk pertanian dan perkebunan yang berdampak pada krisis lingkungan. Begitu juga dengan yang disampaikan oleh Robert P. Borong, di mana ulah manusianya yang mengakibatkan kerusakan dari alam ini.
Bagian kedua dalam tesis ini menyatakan bahwa Kristen yang dominan di Barat merupakan agama yang menekankan antroposentrik. Artinya kondisi tersebut membuat manusia menjadi titik utama dalam kehidupan beragama, atau dengan kata lain manusia telah mengambil peran antara kedaulatan Tuhan dengan alam.
Hutan yang sakral dan diyakini sebagai tempat suci oleh orang di zaman dahulu harus dibabat karena agama baru masuk dan menjadikannya tempat permukiman bagi manusia. Bagi White, gereja juga bertanggung jawab atas kerusakan yang mereka dilakukan dengan mendukung tokoh-tokoh yang telah memberikan perlindungan pada alam, seperti Fransiskus sebagai orang kudus pelindung ekologi yang kemudian melahirkan Laudato Si.
Gereja dan Tambang: Sebuah Perenungan
Dalam tulisan Prof. Gerrit Singgih, disebutkan perlunya sebuah teologi ekologi yang kontekstual untuk melihat persoalan lingkungan yang ada, khususnya di Indonesia. Praktik gereja dalam menghadapi masalah lingkungan telah dilakukan oleh Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Malang di Pantai Sendangbiru, Malang Selatan. Awalnya terjadi pembukaan hutan untuk membuat perkampungan Kristen yang akhirnya malah mengeksploitasi hutan yang ada. Namun kemudian berbalik dengan mengelolanya dengan menanaminya kembali sehingga menjadi hutan bakau dan menjadikannya ekowisata. Apa yang mereka lakukan merupakan pertobatan ekologis.
Sebelum membahas mengenai tambang dan gereja, gereja perlu menilik kembali relasi gereja dengan alam. Relasi gereja dengan alam tidak boleh bersifat antroposentris, melainkan harus kosmosentris. Gereja harus melihat alam sebagai subyek ciptaan yang Tuhan berikan untuk manusia dan berkolaborasi untuk menjaga dan melestarikannya.
Firman Tuhan dalam Kejadian 1:26 menjelaskan bahwa kata menguasai tidak diartikan sebagai dominasi atau kolonialisasi terhadap alam, melainkan menaruh alam dapat mitra yang sejajar. Ketika manusia telah berdosa dan melakukan banyak kesalahan yang mengakibatkan ketidakkeseimbangan di alam, maka alam pun dapat menuntut kembali kepada manusia apa yang telah disebabkan olehnya. Jadikan alam sebagai mitra setara bagi manusia dalam pemenuhan peribadatan kepada Tuhan.
Dalam hal ekologi, penulis setuju dengan pendekatan yang ditawarkan oleh Prof. Gerrit bahwa penting untuk membangun semuah teologi ekologi yang kontekstual, melampaui sekedar antroposentrisme dan kosmosentrisme. Etika Kristen telah mengatur kelangsungan lingkungan dalam konteks etika global, yang menekankan pentingnya keadilan dan kesejahteraan bagi manusia maupun non-manusia.
Karena sesungguhnya, apa yang terjadi di suatu tempat dapat berpengaruh secara signifikan di tempat yang lain. Seperti penembangan hutan di Amazon akan memengaruhi penyerapan karbon di tempat lainnya, atau fenomena El Nino yang berada di Pasifik namun dampaknya dirasakan sampai ke Indonesia.
Alam, warga lokal, dan masyarakat luas merupakan segitiga yang sangat berpengaruh satu dengan yang lainnya. Sehingga ketiganya tidak dapat dipisahkan. Di situlah peran gereja, di mana melalui pengajaran teologi memberikan nilai-nilai kasih yang melampaui sekedar manusia bahkan makhluk lainnya juga. Dalam hal ini ialah alam dan lingkungan sekitar kita.
Dalam konteks penguasaan tambang oleh ormas agama, penulis di sini menyatakan ketidaksetujuan dengan peraturan diberikan pemerintah tersebut. Hal ini dapat mencederai sekaligus menimbulkan krisis ketidakseimbangan alam. Nantinya alam yang asri akan dieksploitasi untuk diambil hasilnya tanpa melihat efek jangka panjangnya.
Maka dari itu, gereja harus bersuara lantang dengan menentang ketidakbenaran yang menjadikan alam sebagai obyek eksploitasi ini. Gereja juga tidak boleh turut mendukung apalagi menjual konsesi tambang pada pihak ketiga karena hal ini dapat memperburuk kondisi yang ada.