Pagi itu, sebelum fajar menampakan diri, beberapa orang sudah berkumpul bersama di depan Gedung Karya Sosial. Berkumpul bukan tanpa arti, namun berkumpul untuk bersiap-siap mubeng (berkeliling) di pagi hari.
Inilah komunitas Sega Mubeng, komunitas yang berarti “nasi keliling” atau lebih tepatnya berkeliling sambil membagikan nasi bungkus. Salah satu pengurus memimpin doa berkat yang berisi permohonan berkat Tuhan atas nasi bungkus yang akan dibagikan. Sasaran pembagian nasi bungkus adalah buruh gendong pasar, gelandangan, pengemis, petugas kebersihan, dan kelompok masyarakat yang membutuhkan.
Komunitas ini berdiri sejak 2018. Berawal dari Romo Mahar yang sering membagikan nasi bungkus dari kelebihan jatah makan di pastoran, yang kemudian diinisiasi lebih lanjut menjadi sebuah komunitas di Gereja Katolik Santo Antonius Kotabaru, Yogyakarta.
Komunitas yang masih eksis hingga sekarang tersebut rutin membagikan ratusan nasi bungkus di Sabtu pagi dan membagikan roti serta minuman hangat seperti wedang jahe, kopi, teh, dan susu setiap Senin malam. Esai ini sendiri mencoba untuk merefleksikan pengalaman penulis dalam mengikuti aktivitas Sega Mubeng serta refleksi nilai kasih dan kemanusiaan yang senantiasa hadir di setiap kegiatan mubeng (keliling) tersebut.
Pengalaman dalam Mubeng Bersama
Sega Mubeng merupakan salah satu jaringan dari GUSDURian Yogyakarta yang bergerak dalam aksi sosial. Komunitas ini bersifat inklusif dan terbuka bagi siapa pun yang ingin mengikutinya, apa pun latar belakang identitasnya, baik untuk menjadi anggota maupun sekadar volunteer dalam kegiatannya.
Pagi itu setelah kami mubeng, kami melakukan sesi refleksi di mana diberikan kesempatan ke seluruh peserta untuk menyampaikan pengalaman dan kesannya setelah mengikuti mubeng. Salah satu teman saya dari GUSDURian, Nadifz Fikri menyampaikan impresi dan perasaannya dalam perkumpulan itu.
“Pagi ini merupakan pengalaman pertama saya dalam berbagi nasi bersama Sega Mubeng. Saya merefleksikan bagaimana senyum mereka yang menerima sangat terasa berarti bagi saya. Mereka memberikan energi positif dan baru terhadap saya. Saya teringat dengan khotbah Jumat lalu, yang mana sang khatib menyampaikan bahwa sebaik-baiknya manusia ialah mereka yang bermanfaat bagi sesamanya,” terangnya.
Pada pagi yang lain, saya membagikan nasi bungkus bersama teman GUSDURian lainnya, Hamada Hafidzu. Kami mendapat rute di Jalan Solo, Kampus Atma Jaya Babarsari, hingga Selokan Mataram, dan berakhir di Jalan Gejayan. Kami membagikan 30 nasi bungkus untuk para tukang becak dan tukang rongsok yang kami temui di jalan. Pagi itu mereka sudah bekerja untuk mencari peruntungan, untuk mendapatkan rezeki di pagi hari. Kami berdua berusaha merefleksikan nilai apa yang kami dapatkan dari aksi pagi itu. Kami merasakan bahwa nilai kemanusiaan dari Gus Dur terngiang-ngiang dalam pikiran kami.
The Way of Sega Mubeng dan Kemanusiaan ala Gus Dur
Nilai kemanusiaan merupakan teladan Gus Dur yang terkenang, di mana kemanusiaan tidak mengenal apa agamamu, apa warna kulitmu, kaya atau miskinkah dirimu. Kemanusiaan mengikat setiap individu untuk dapat saling tolong-menolong tanpa melihat latar belakang kita. Sega Mubeng mengajarkan pentingnya nilai kemanusiaan kepada sesama yang mana nilai ini masuk dalam The Way of Sega Mubeng.
The Way of Sega Mubeng berisikan sasaran yang akan diberikan, khususnya mereka yang masih berada dalam kondisi ekonomi ke bawah. Membagikan nasi bungkus bukan sekadar membagikan makanan, melainkan memberikan berkat Tuhan yang besar yang sudah dirasakan oleh pengurus dan volunteer Sega Mubeng.
Cinta yang penuh hormat itulah yang diperlukan, di mana kita perlu memberikan rasa cinta serta hormat kepada mereka yang menjadi sasaran. Rasa hormat bukanlah sesuatu yang kita harapkan, namun sesuatu yang kita berikan sebagai wujud kita memberikan hormat kepada sesama manusia.
Para volunteer juga diharapkan dapat mendengarkan kehidupan mereka sejenak setelah membagikan nasi. Hal ini merupakan wujud dari rasa kepedulian dan perhatian. Serta diakhiri dengan refleksi bersama terkait apa yang dapat kita terima setelah berkeliling membagikan nasi.
Dalam refleksi penulis, Gus Dur juga menginspirasi dengan mengajarkan nilai kemanusiaan pada berbagai hal dalam hidupnya. Tanpa membedakan latar belakang agama dan etnis, ia membuka sekat-sekat dalam ruang beragama dalam masyarakat Indonesia. Gus Dur yang dikenal sebagai tokoh bangsa itu beberapa kali menunjukan sisi kemanusiaannya ketika diperhadapkan dengan berbagai hal. Baginya kemanusiaan merupakan nilai tertinggi di atas kepentingan golongan atau kelompok manusia.
Sega Mubeng menunjukan itu di dalamnya. Tanpa disadari nilai kemanusiaan begitu nyata di dalamnya.