Kunjungan Universitas Sydney ke Jaringan GUSDURian: Bahas Keadilan hingga Nilai Gus Dur

Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, juga merupakan negara yang kaya tradisi dan agama yang beragam. Jaringan GUSDURian terinspirasi dari mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), berdiri sebagai pelopor keadilan sosial dan pluralisme.

Pada Sabtu, 22 Juni 2024, Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian di tengah kesibukan kerja-kerja advokasi dan kampanye keberagaman, kedatangan tamu spesial dari University of Sydney.

Para mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu, termasuk education, social work, occupational therapy, dan Indonesian studies, datang dengan antusias untuk membahas isu keadilan sosial dan pluralisme di Indonesia.

Kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian acara New Colombo Indonesian Field School bertajuk Social Justice in Indonesia. Field school ini tidak hanya melibatkan mahasiswa Australia, tetapi juga mahasiswa lokal Yogyakarta dari Fakultas Psikologi UGM, Pekerjaan Sosial UIN Sunan Kalijaga, dan Pendidikan Bahasa Inggris UII.

Jadi, siapkan kopi atau camilan favoritmu!

Artikel ini akan mengantarkanmu pada sebuah dialog panjang yang seru, melelahkan sekaligus mencerahkan tentang realitas sosial dan perjuangan untuk menegakkan keadilan di Indonesia.

GUSDURian: Komunitas Lintas Iman yang Terinspirasi oleh Gus Dur

Meskipun Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pernah menjabat sebagai presiden keempat Indonesia, komunitas GUSDURian tidak didirikan semata-mata karena status Gus Dur sebagai presiden. Komunitas ini lahir untuk terus merawat nilai, pemikiran, dan keteladanan (NPK) Gus Dur, baik sebelum maupun setelah masa jabatannya sebagai seorang pejabat publik.

Hal ini ditegaskan oleh Heru Prasetia yang akrab disapa Buya Heru, Koordinator Divisi Riset dan Publikasi Jaringan GUSDURian, “(The GUSDURian Network was founded), it’s not because Gus Dur was the president, but because of his legacy before and after the presidency.”

Pada tanggal 30 Desember 2009, Gus Dur menghembuskan napas terakhirnya. Setahun kemudian, pada peringatan Haul Gus Dur (the commemoration of Gus Dur’s passing) yang pertama, banyak tokoh dan murid Gus Dur di Indonesia dan luar negeri merasa terpanggil untuk meneruskan NPK Gus Dur. 

Terlebih pada bulan Februari 2010, peristiwa tragis penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Peristiwa ini membangkitkan semangat para murid Gus Dur untuk bersatu dan melawan segala bentuk intoleransi dan kekerasan.

Koordinator Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, Jay Akhmad, memperkuat argumen Buya Heru dengan menekankan inti pemikiran Gus Dur: agama bukan hanya tentang ritual, tetapi tentang kemanusiaan. Intoleransi dan kekerasan sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Bagi Gus Dur, segala sesuatu yang dilakukan dan dipikirkannya tak lepas dari kemanusiaan. Bahkan, ketika berbicara tentang agama dan politik, ujungnya selalu kembali pada kemanusiaan.

“Inilah warisan yang dilanjutkan oleh GUSDURian,” tegas Jay Akhmad. “Inilah alasan mengapa GUSDURian ada.”

Berangkat dari pernyataan Jay, sejatinya salah satu tujuan dibentuknya Jaringan GUSDURian adalah untuk kerja-kerja advokasi dan antidiskriminasi. Menariknya, di tengah diskusi, Dr. Margaret Spencer, dosen senior di Universitas Sydney, melontarkan pertanyaan yang menggelitik: “Bagaimana kalian bisa melakukan advokasi tanpa menjadi politisi?”

Menanggapi pertanyaan Dr. Margaret, Buya Heru menjelaskan bahwa Jaringan GUSDURian memang bergerak dalam ranah politik, namun bukan politik elektoral. GUSDURian tidak terikat pada partai politik (not party-aligned) atau ambisi kekuasaan jangka pendek.

Meskipun para penggerak GUSDURian berpartisipasi dalam pemilu, seperti dengan memilih (do vote) dan mempromosikan pemilihan damai, secara organisasi GUSDURian tidak mempromosikan kandidat tertentu dan menjaga jarak dengan partai politik.

Mencari Makna Keadilan ala GUSDURian

Diskusi antara Dr. Margaret dan Buya Heru berlanjut. Dr. Margaret juga melontarkan pertanyaan yang tidak kalah memancing: “Salah satu prinsip kalian adalah keadilan,” ungkap Dr. Margaret. 

“Saya tertarik untuk mengetahui bagaimana kalian mendefinisikan keadilan dalam konteks Indonesia?”

Pertanyaan Dr. Margaret tentang keadilan sangat tepat sasaran. Keadilan adalah salah satu nilai inti yang dijunjung tinggi oleh Jaringan GUSDURian. 

Seperti yang dijelaskan dalam buku Ajaran-ajaran Gus Dur: Syarah 9 Nilai Utama Gus Dur karya Nur Khalik Ridwan, GUSDURian juga mengedepankan nilai-nilai lain seperti Ketauhidan (spirituality), kemanusiaan (humanity), Kesetaraan (equality), pembebasan (liberation), Persaudaraan (solidarity), Kesederhanaan (humility), Kekesatriaan (chivalry), dan Kearifan tradisi (wisdom of tradition).

Dr. Margaret mengamati sembilan nilai utama GUSDURian sebagai nilai-nilai universal. Menurutnya, nilai-nilai tersebut dapat ditemukan dalam agama lain seperti Buddha, Hindu, Yudaisme, dan sebagainya.

Dr. Margaret bahkan mengatakan, “I could look at those values and say that’s Christianity. That’s gospel.”

Kembali ke pertanyaan yang menggugah, bagaimana Jaringan GUSDURian memandang keadilan dalam konteks masyarakat Indonesia yang penuh keragaman?

A question about justice is fairly difficult, I think,” jawab Buya Heru.

Namun, beliau menegaskan prinsip dasar yang diwariskan Gus Dur tentang keadilan: semua orang di Indonesia harus setara di depan hukum (equal before the law). Sebab itu, prinsip non-diskriminasi menjadi sangat penting.

Inilah fondasi gerakan GUSDURian dalam mempromosikan keadilan. Mereka memperjuangkan agar semua orang diperlakukan sama di depan hukum, baik dalam penetapan maupun penegakan hukum.

GUSDURian: Penting atau Populer?

Faisal Hussain, mahasiswa jurusan Social Work dari University of Sydney, melontarkan pertanyaan yang tidak biasa: “Seberapa populer gerakan GUSDURian?”

Marleni Adiya, koordinator wilayah GUSDURian Jawa bagian barat menjawab, “Kami bukanlah komunitas populer atau organisasi besar.” Ia kemudian menjelaskan fokus GUSDURian, “Kami memperkuat masyarakat sipil, terutama terkait hak asasi manusia dan hak politik.”

Marleni mengakui bahwa apa yang dilakukan oleh Jaringan GUSDURian bukan untuk mengejar popularitas, melainkan untuk melanjutkan cita-cita semangat dan perjuangan Gus Dur. 

Not popular yet. But I think this movement is important to strengthen the civil society movement.

Terlepas dari popularitasnya, sejak berdiri 14 tahun lalu, Jaringan GUSDURian telah tersebar di lebih dari 150 komunitas di berbagai daerah di Indonesia hingga luar negeri. Di Yogyakarta, komunitas GUSDURian lebih dikenal dengan sebutan “Santri Gus Dur.” Agri Satrio, Presidium Komunitas GUSDURian Yogyakarta, menjelaskan komposisi anggotanya.

“Kebanyakan anggota kami adalah pelajar yang sedang menempuh pendidikan di Jogja,” ungkap Agri.

“Di kota lain, anggota komunitas mungkin berasal dari penduduk setempat. Namun, karena Jogja adalah kota pelajar, sebagian besar anggota kami adalah mahasiswa dari berbagai universitas, seperti UIN, UGM, dan lain-lain.”

Alfi Ramadhani, salah satu penggerak komunitas, lantas mengingatkan. Meskipun menggunakan nama “Santri Gus Dur,” komunitas ini bukanlah komunitas berbasis agama tertentu.

Maybe you see us wearing hijab or veil, actually not all of us is Muslim,” kata Alfi, “Ada juga anggota yang beragama Katolik atau Kristen. Jadi, komunitas kami pada dasarnya bukan komunitas berbasis agama, tetapi dipersatukan oleh visi yang sama.”

Mlathi Anggayuh, mahasiswi Fakultas Psikologi UGM, melontarkan pertanyaan menarik: “Dari pandanganku, gerakan ini (GUSDURian) bagus tapi dalam tanda kutip ‘nyeleneh’. Tapi ada enggak sih dari masyarakat yang misalnya menganggap komunitas ini sesat? Kedua, sebagai gerakan sosial, apakah posisi Gus Dur yang pernah di politik jadi pembatas untuk komunitas ini bergerak?”

Ahmad Fatin Ilfi, Koordinator Divisi Pengorganisasian Penggerak dan Komunitas (PPK) Jaringan GUSDURian, menanggapi pertanyaan dari Gayuh. Menurut Fatin, komunitas GUSDURian melihat Gus Dur sebagai sosok humanis. Dedikasinya dalam mempromosikan dialog lintas iman dan kolaborasi lintas agama di Indonesia telah terbukti nyata.

“Di berbagai daerah, sebagian besar tidak mengasosiasikan Gus Dur dengan politik praktis. Ada satu-dua kasus yang terkendala dengan citra tersebut,”

Dr. Margaret kembali melontarkan pertanyaan. Dirinya penasaran, “Sebagai negara kepulauan yang luas, dengan basis komunitas yang tersebar di seluruh Indonesia, bagaimana Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian menjaga kesatuan organisasi?”

How do you network and keep yourselves as one organization without people breaking off?”

Nur Solikhin dari Tim Advokasi dan Jaringan Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian menjelaskan bahwa GUSDURian bukanlah organisasi dengan struktur hierarkis. Artinya, Sekretariat Nasional dan komunitas lokal GUSDURian di berbagai daerah memiliki posisi yang setara. Hal ini merupakan salah satu bentuk pengejawantahan dari salah satu dari 9 nilai GUSDURian, yaitu Kesetaraan.

Meski independen, komunitas lokal tetap bersatu berkat adanya unsur pemersatu, sembilan nilai inti Gus Dur serta kode etik tidak tertulis. Kemandirian komunitas lokal juga terlihat dalam segi keuangan. Mereka memiliki cara masing-masing untuk mendanai kegiatan organisasi dan program sosial mereka.

Gus Dur: Sosok Multidimensi yang Melampaui Batasan, Dari Papua Hingga Kursi Roda

Ndeye Kor, peneliti Senegal-Amerika yang sedang magang di Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, membagikan perspektifnya tentang Gus Dur.

Sebagai warga negara Amerika, Kor awalnya tidak mengenal Gus Dur. Ia tertarik untuk mempelajari pengaruh Gus Dur dalam ranah demokrasi Indonesia. Kor sebelumnya melihat hubungan antara agama dan demokrasi di Amerika, negara dengan mayoritas Kristen. Di sana, banyak ilmuwan politik berpendapat bahwa negara sekuler tidak bisa berjalan beriringan dengan negara Islam, dan sebaliknya.

Kor mengamati bahwa Indonesia merupakan sebuah pengecualian. Berbeda dengan banyak negara lain, Indonesia mampu menerapkan sistem demokrasi sekuler meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Menurutnya, keberhasilan Indonesia dalam hal ini disebabkan salah satunya oleh keberadaan pemimpin seperti Gus Dur.

Senada dengan Kor, Dadung Ibnu Muktiono, kandidat PhD di bidang Gender dan Kajian Budaya dari University of Sydney, memberikan fakta menarik tentang Gus Dur. Gus Dur dikenal sebagai sosok multidimensi yang melampaui keterbatasan fisiknya.

Gus Dur merupakan penyandang disabilitas. Beliau mengalami gangguan penglihatan sehingga membutuhkan pendamping saat berjalan dan menggunakan kursi roda. Namun, keterbatasan fisik tersebut tidak menghalangi Gus Dur dalam memperjuangkan keberagaman dan membangun hubungan dengan kelompok rentan.

Gus Dur was the first president to visit Papua and renamed the island to Papua. During the Suharto era, it was known as Irian Jaya, but Gus Dur changed it to Papua to respect the Papuan people.”

Berbicara tentang Gus Dur, agama, dan demokrasi di Indonesia tidak ada habisnya. Sebagaimana yang disinggung oleh Dadung, Gus Dur yang hanya menjabat selama 2 tahun (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) telah banyak melakukan langkah penting, salah satunya adalah menghapus dwifungsi ABRI (militer not running the country).

Lantas, Sumatra Dylan-Costin, yang akrab disapa Marty, mengajukan pertanyaan menarik, “Sebagai pembela hak untuk menjalankan agama lokal (indigenous religions) dan agama minoritas, apakah perjuangan ini akan berdampak positif terhadap penerimaan hak ‘untuk tidak beragama’?”

Dr. Margaret mengamplifikasi pertanyaan Marty dengan mencontohkan di Australia, pada sensus penduduk setiap lima tahun, warga negara boleh memilih untuk tidak mencantumkan agama (atheism) atau bahkan memasukkan kepercayaan fiktif seperti Jediism atau Church of the Flying Spaghetti Monster.

Buya Heru menanggapi pertanyaan Marty dengan menjelaskan realitas keberagaman agama di Indonesia, sekaligus tantangan yang dihadapi.

Buya Heru meluruskan anggapan bahwa Indonesia hanya memiliki lima agama. Ia menyatakan, “Di Indonesia, saya kira kita memiliki ratusan agama.” Ia memberi contoh agama Kaharingan di Kalimantan dan Tolotang di Sulawesi yang memiliki kepercayaan tersendiri. Tolotang sendiri kemudian dipaksa untuk “bergabung” dengan agama resmi seperti Hindu.

Buya Heru mengakui bahwa saat ini sudah ada kolom kepercayaan lokal dalam KTP Indonesia. Namun, ia menegaskan, “Ya, Anda harus mengimani ketuhanan, beragama. Karena salah satu dasar Indonesia, Pancasila, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Buya Heru menjelaskan adanya kehati-hatian masyarakat Indonesia terhadap ateisme. Ia berpendapat bahwa sejarah kelam Indonesia dengan komunisme, yang dipandang dekat dengan ateisme, turut memengaruhi pandangan sebagian masyarakat. 

(In the context of Indonesia), communism is (considered) very close to atheism. People who call themselves atheists may be labelled as communists, making it very difficult to live in Indonesia if you have such tendencies.

Melestarikan Warisan Gus Dur: Tanggung Jawab Kita Bersama

Kunjungan mahasiswa dari University of Sydney ke Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian mengungkapkan nilai-nilai fundamental yang diwariskan oleh Gus Dur: kemanusiaan, kesetaraan, dan pluralisme. Komunitas GUSDURian, terinspirasi oleh Gus Dur, tetap konsisten memperjuangkan keadilan sosial dan keberagaman tanpa terikat pada politik elektoral.

Melalui dialog ini, kita menyadari pentingnya advokasi non-diskriminasi dan penghargaan terhadap semua keyakinan. NPK Gus Dur menjadi pijakan bagi GUSDURian untuk membangun masyarakat yang inklusif dan adil. 

Kunjungan ini tidak hanya memperkuat hubungan lintas budaya, tetapi juga mengajak kita semua untuk terus memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebelum pertemuan diakhiri, Dr. Margaret Spencer kembali mengajukan pertanyaan, “What would you say is the most pressing social justice issue in Indonesia today?

“Keadilan ekonomi dan pemenuhan hak-hak sipil politik,” jawab Jay mantap.

Sebagai ‘Korea’ yang menumpang makan di Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, saya tidak bisa mengingkari pernyataan Jay. Saya bisa betul-betul merasakan bahwa ketimpangan ekonomi itu benar adanya. Kalau urusan politik, saya belum berani ikut mengiyakan.

Penggerak Komunitas GUSDURian Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *