Memasuki masa kampanye, para calon kepala daerah di berbagai daerah sudah gencar melakukan berbagai kegiatan kampanye, terlebih pilkada Banten yang terdiri dari dua pasangan calon gubernur yaitu Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi dan Andra Soni-Dimyati Natakusumah.
Salah satu pemandangan yang lumrah ditemukan di berbagai tempat adalah foto calon, baik melalui spanduk, baliho, banner, hingga striker yang bertebaran. Hal ini bukan hanya sebagai bentuk promosi tapi juga bagian dari pendidikan politik terhadap masyarakat, meski hanya tampilan membosankan yang kita temukan, karena yang nampak hanyalah tebaran janji-janji politik dengan wajah-wajah yang sudah dipoles sedemikian rupa sehingga nampak cantik dan gagah.
Tampilan para calon yang terlalu canggih membuat kita semakin tak mampu mengenali siapa para calon pemimpin yang akan membawa nasib kita lima tahun mendatang. Apalagi semenjak pemilu, kini tampilan wajah para calon kepala daerah juga mengikuti gaya kampanye Prabowo-Gibran dengan tampilan animasi serta penggunaan teknologi AI (Artificial Intelligence).
Salah satunya adalah video Prabowo sedang bersalawat, sehingga banyak yang mengira itu adalah video asli. Efeknya, para pengagumnya semakin jatuh cinta karena melihat calon pemimpin yang saleh karena rajin salawatan.
Sebenarnya penggunaan berbagai alat peraga untuk kampanye sangat diperbolehkan termasuk penggunaan media dan teknologi. Hanya saja harus dibarengi dengan nilai edukasi untuk masyarakat, bukan sekedar menonjolkan sisi entertainnya saja. Apalagi sekarang rasanya setiap pemilu wajib memakai lagu. Dulu saat pertama kali berkontestasi di pemilu tahun 2014 bergema lagu “Dari gondrong sampai botak, salam dua jari, jangan lupa pilih Jokowi”. Dan sekarang lagu “Oke gas oke gas”.
Hampir selalu di setiap kampanye pasti ada hiburan dari penyanyi, entah artis tanah air atau artis pantura. Masyarakat memang terhibur, tapi dalam rentang waktu itu para calon pemimpin hanya sedikit berinteraksi dengan para calon pemilihnya, setidaknya untuk melakukan dialog interaktif dengan masyarakat terkait kebijakan yang akan mereka lakukan untuk mensejahterakan masyarakatnya.
Seperti ketika dua minggu lalu salah satu dari pasangan calon gubernur Banten mengatakan di depan masyarakat, “Jika kami terpilih, di Banten tidak akan ada satu pun pengangguran”. Sebuah janji yang kelewat berani, saya kira. Sebenarnya banyak janji lain yang dikatakan dan semuanya hampir sama seperti para calon pada umumnya. Dan respons sebagian masyarakat hanya tersenyum sumir, bahkan yang bertepuk tangan menyambut janji itu hanya beberapa saja. Itu menunjukan bahwa masyarakat sudah cerdas.
Dengan banyaknya media talk show politik arus utama seperti acara ILC (Indonesia Lawyer Club), Mata Najwa, Rossi, Rakyat Bersuara, Panggung Demokrasi, sedikit demi sedikit masyarakat mulai tercerahkan. Belum lagi masifnya media-media online melalui acara podcast menambah melek politik masyarakat awam sekalipun.
Meski harus diakui media dalam istilah teori Noam Chomsky bisa menjadi “model propaganda”. Karena informasi yang disebarkan bukan sekedar refleksi realitas objektif, tapi juga disaring dan dibentuk untuk membentuk wacana publik dan membentuk persepsi dalam skala global.
Memberikan edukasi politik kepada masyarakat oleh berbagai program TV dan media tadi sangatlah penting karena belum mampu dilakukan oleh partai-partai politik, sehingga mampu membawa wacana demokrasi ini menjadi satu langkah di atas rata-rata. Bahwa politik bukan hanya mainan para elite saja yang dengan mudahnya berpikir bahwa masyarakat bisa dibohongi dengan janji-janji.
Bahkan dalam acara SKPP (Sekolah Kader Pengawas Partisipatif) yang diinisiasi oleh Bawaslu RI tahun 2022 telah menunjukkan bahwa berbagai daerah di Indonesia sudah banyak yang tidak percaya politik uang. Apabila ada momen pemilu dan pilkada, lalu ada calon-calon yang hendak memberi uang atau barang-barang lain pasti ditolak. Sebagai gantinya mereka ingin program nyata seperti pembangunan jalan, pembuatan UMKM, perbaikan gedung sekolah, dan lain-lain.
Kampanye politik yang hanya menekankan pada sisi artifisial saja, membuat praktik berdemokrasi itu menjadi dangkal. Hal ini dikarenakan politisi banyak menjadikan politik sebatas kegiatan transaksional dan bukannya pertarungan ide dan gagasan. Terlebih untuk pemilihan tingkat kota atau kabupaten yang kurang memiliki ruang untuk berdialog seperti halnya pilpres atau pilkada di level provinsi yang sudah mulai ditayangkan oleh stasiun televisi sehingga semua masyarakat bisa mengetahui isi kepala para calon.
Rusadi Kantaprawira dalam bukunya Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar, mengatakan bahwa pendidikan politik bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan rakyat agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. Sesuai paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, rakyat harus mampu menjalankan tugas partisipasi.
Belum lagi kebiasaan para calon yang ketika kampanye selalu mengobral kata “bersama wong cilik”, seolah dengan begitu membuat mereka bagian dari masyarakat kecil. Sejak dulu kemiskinan memang jualan yang laris. Tak heran Jokowi saja menang sampai dua periode karena mempopulerkan “blusukan” yang seolah membuatnya tak berjarak dengan rakyat. Padahal mereka semua yang menjadi calon adalah bagian dari elite.
Dan sudah seharusnya masa kampanye ini menjadi panggung uji bagi para calon untuk menunjukan kelayakan mereka dalam memimpin, dengan berpedoman pada yang dikatakan oleh Rocky Gerung, yaitu pertama elektabilitas, kedua intelektualitas, dan terakhir jika memenuhi dua standar tadi baru elektabilitas.