Perjalanan Peran Serta untuk Setara

“Perempuan dan laki-laki harus diberi kesempatan yang sama. Tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang lebih tinggi. Keduanya berperan sama pentingnya dalam membangun kehidupan yang adil dan sejahtera karena perempuan bukan konco wingking (teman di belakang: dapur, kasur, sumur). Semua orang berhak mendapatkan kesetaraan, tidak peduli apa jenis kelaminnya, agamanya, atau dari mana asalnya.” – Gus Dur

Karena Perempuan adalah Empu untuk Dirinya

Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex (1949) mengatakan, “Man is defined as a human being and woman as a female. Whenever she behaves as a human being she is said to imitate the male.” Sangat mengenaskan pada masa Perang Dunia Kedua, hanya laki-laki yang boleh mengklaim dirinya sebagai manusia. Lalu, ketika perempuan memanusiakan dirinya, ia dituduh meniru laki-laki.

Sampai sekarang juga tidak habis pikir bahwa bahasa Inggris dari laki-laki adalah man, dan manusia adalah human. Kemudian, perempuan adalah woman. Jadi, ke mana pun dan apa pun itu, perempuan tidak bisa lepas dari bayang-bayang laki-laki. Saya sangat bersyukur dengan kata perempuan dalam bahasa Indonesia yang menekankan bahwa puan adalah empu untuk dirinya sendiri, di mana membedakan dengan esensi kata wanita (wani ditata atau berani untuk dikontrol) yang mana sangat umum di masa pemerintahan era Soeharto dengan konsep ibuismenya.

Di Indonesia, setiap kali saya memikirkan tentang peran dalam keluarga, peran pencari nafkah, dan peran perawatan, saya sering kembali pada 9 nilai utama yang diajarkan Gus Dur dan salah duanya adalah kesetaraan dan keadilan. Gus Dur adalah bapak ideologis saya yang sangat luar biasa menggantikan peran bapak biologis saya yang malah membuat saya fatherless. Di dalam keluarga intinya, semasa hidupnya ia satu-satunya laki-laki di antara 5 perempuan: istrinya, Ibu Sinta Nuriyah dan 4 anak perempuannya: Mbak Yenny, Mbak Alissa, Mbak Anita, dan Mbak Nay (Inayah).

Gus Dur dan Keluarganya: Harmoni dalam Kesetaraan

Mungkin masa kepemimpinan Gus Dur hanya sebentar saja, 1999-2001, namun sekejap bukan berarti tak bermakna. Dalam bedah bukunya Gender Gus Dur: Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender Era Presiden Abdurrahman Wahid, Ashilly Achidsti menyebutkan tiga hal yang sering terlewatkan dalam pemerintahan Gus Dur.

Pertama, Gus Dur berhasil membawa isu gender ke dalam isu pemerintahan. Kedua, Gus Dur bisa menempatkan orang-orang yang memiliki rekam jejak dalam dunia aktivis kesetaraan gender menjadi lingkaran terdekat beliau dalam menyusun dan mengimplementasikan kesetaraan gender. Ketiga, inisiatif Gus Dur untuk menggunakan kewenangannya untuk melakukan perubahan kebijakan dengan mengubah nama Kementerian Urusan Peranan Wanita menjadi Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Ia juga menerbitkan Inpres Pengarusutamaan Gender Nomor 9 Tahun 2000.

Dalam ranah keluarga, Gus Dur tidak pernah memandang peran laki-laki sebagai pencari nafkah utama atau peran perempuan hanya sebagai konco wingking (teman di belakang) untuk mengurus rumah tangga. Sebaliknya, ia selalu menekankan bahwa setiap orang terlepas dari jenis kelaminnya memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup mereka, untuk berkontribusi pada masyarakat sesuai dengan minat, bakat, dan panggilan hati mereka. Semangat ini juga menjadi salah 1 dari 9 nilai utama Gus Dur yaitu pembebasan.

Ibu Sinta Nuriyah sendiri adalah sosok yang kuat terlepas dari statusnya sebagai seorang istri presiden. Ia juga seorang aktivis perempuan yang bergerak di bidang hak-hak perempuan dan kemanusiaan. Begitu pula 4 anak perempuannya yang kini berkiprah di berbagai bidang terutama dalam isu-isu sosial dan kemanusiaan.

 Budaya Indonesia dan Ketimpangan Gender

Walaupun demikian, masih ada banyak ketimpangan yang luar biasa dalam pembagian peran berdasarkan gender di banyak keluarga Indonesia. Dalam banyak rumah tangga, laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama atau breadwinner, sedangkan perempuan sering diharapkan untuk fokus pada pekerjaan rumah tangga dan merawat anak. Peran-peran ini—meskipun dihormati—sering kali membatasi ruang gerak perempuan di luar rumah, khususnya dalam dunia kerja dan kepemimpinan.

Saya sendiri menyaksikan ketimpangan ini sejak kecil. Bapak biologis saya melarang ibu saya untuk bekerja setelah menikah dengannya meskipun ia sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dengan baik karena kekerasan dan kecanduan yang ia miliki. Namun, beruntung saya memiliki panutan (role model) seperti Gus Dur dan keluarganya untuk menyembuhkan diri dan melanjutkan perjalanan peran serta untuk setara bersama pasangan saya.

Malala dan Ziauddin Yousafzai, Bersama Melawan Patriarki

Ziauddin Yousafzai, ayah dari Malala Yousafzai, perempuan termuda yang pernah menerima Nobel Peace Prize karena perjuangannya untuk pendidikan anak perempuan di Pakistan hingga ditembak di bagian mata oleh Taliban saat naik bus sekolah, meyakini bahwa melawan patriarki harus dimulai dari mengubah mindset (cara berpikir). Dia juga meyakini bahwa keluarga adalah institusi terkuat yang mampu membawa perubahan baik.

Selain itu, ia meyakini bahwa dengan mendukung pembebasan, kesetaraan, dan keadilan perempuan sama saja dengan melakukan pembebasan bagi seluruh umat manusia. Bahkan dalam buku dan film pendek He Named Me Malala (2015), Ziauddin berjuang untuk menggebrak budaya patriarki yang tidak mau memasukkan anak perempuan dalam pohon keluarga.

Meskipun mendapatkan banyak perlawanan dari para laki-laki di keluarga besarnya, ia tidak menyerah, hingga akhirnya Malala diakui dalam pohon keluarga besar mereka. Doa Ziauddin juga terkabul dengan memberi nama Malala terinspirasi dari nama pahlawan perempuan Afghanistan, Malalai dari Desa Maiwand dalam Perang Maiwand melawan penjajah Inggris.

Penutup

Kesetaraan adalah bagian dari keadilan. Tanpa kesetaraan, mustahil keadilan bisa dicapai. Kesetaraan juga merupakan pembebasan. Dalam kesetaraan ada keseimbangan. Mari kita bersama terus upayakan dalam kesempatan apa pun baik di ranah privat maupun publik untuk menciptakan kesetaraan, keadilan, dan juga pembebasan karena kita semua berhak dan layak untuk hidup dengan damai, sehat, dan bahagia.




_______________________________________

Tulisan ini pernah diikutkan dalam lomba esai peran setara yang diselenggarakan oleh GenSet (Generasi Setara) Kopernik dan Magdalene.co

Penggerak Komunitas GUSDURian Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *