Melawan Pendangkalan Agama: Belajar dari Gus Dur dan Semangat Universalisme

Pendangkalan agama yang melahirkan sikap eksklusif Muslim saat ini ketika bersentuhan dengan umat beragama lain rupanya sudah dirasakan KH. Abdurrahman Wahid sejak tahun 1997, bahkan mungkin jauh sebelum itu. Hal itu Gus Dur ungkapkan lewat tulisan beliau: “Dialog Agama dan Pendangkalan Agama” yang dimuat di Harian Media Indonesia (1997) dan dipublikasikan ulang oleh GusDur.net (Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama – GusDur.Net).

Melalui diskusi Majelis GUSDURian yang diinisiasi Komunitas GUSDURian Banjarmasin, GUSDURian Tanah Laut dan GUSDURian Martapura, Minggu 12 Januari lalu, Fadhal Ahmad dengan sangat baik memaparkan kembali gagasan Gus Dur tersebut. Gus Dur mengurai bahwa pendangkalan pemahaman umat Islam terhadap agamanya dimulai dari interaksi Islam di Indonesia dengan Islam di Timur Tengah.

Islam di Timur Tengah sudah menjadi ideologi bahkan komoditas politik. Dengan demikian, menurut Fadhal Ahmad, nuansa Islam di Indonesia di masa Gus Dur hingga terasa saat ini tak lepas dari campur tangan ideologi Islam Timur Tengah yang tersebar secara transnasional itu. Selain itu, ujar Gus Dur lagi, aktivitas pendidikan dan dakwah Islam yang bermuatan memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain menambah pendangkalan agama di kalangan Muslim.

Saya cukup beruntung hadir dan belajar dalam diskusi itu. Saya juga mendapat kesempatan memberi sedikit tanggapan (hanya) untuk memperkaya perspektif diskusi. Untuk itu saya mengajukan gagasan Mustafa Akyol, seorang sarjana muslim Turki yang mengajar di Amerika, dalam bukunya Reopening Muslim Minds (2023).

Teologi Asy’ariyah dan Universalisme

Mustafa Akyol mendedah bahwa kaum Muslim telah kehilangan banyak hal saat ini: moralitas (bahwa ada nilai moral yang independen), penggunaan akal, universalisme, syariat yang terbuka dan luwes, ilmu-ilmu sains, dan lain-lain. Padahal, kesemuanya itu pernah dimiliki dan menjadi identitas Muslim yang dikagumi dunia. Yang menarik dari gagasan Akyol adalah bahwa kaum Muslim kehilangan semua itu karena pengaruh dari teologi Asy’ariah.

Pada mulanya Asy’ariah memperdebatkan status al-Qur’an apakah kalam Allah itu hadits (baharu, bermula) atau qadim (tak bermula) dengan rivalnya, yaitu Mu’tazilah. Dengan kata lain, apakah al-Qur’an diciptakan ataukah sudah ada sejak azali. Sementara Mu’tazilah berpihak pada kebaharuan firman Tuhan, Asy’ariah mendukung ketakbermulaan al-Qur’an.

Konsekuensi dari masing-masing pernyataan itu adalah jika al-Qur’an bermula maka akan membuka kemungkinan penafsiran yang terbuka dan luas. Sementara jika al-Qur’an tak bermula penafsiran tidak boleh terlalu jauh kalau tidak harfiah sama sekali. Jika penafsiran yang luas itu mungkin dengan penggunaan akal, maka yang membatasi penafsiran agar tidak jauh adalah hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw.

Teologi Asy’ariah berpengaruh dalam pemahaman sebagian besar Muslim dalam konteks universalisme. Universalisme secara lugas berarti paham yang menekankan kesamaan mendasar di antara semua manusia dan meyakini kebenaran dimiliki semua orang terlepas dari budaya, agama atau layar belakang apa pun.

Terkait hal itu paham Asy’ariah melahirkan tradisi Sunni yang bermazhab komunalistik. Dalam pandangan ini, “Manusia memiliki hak hanya jika mereka adalah Muslim, atau jika mereka diberi perlindungan oleh Muslim sebagai kaum dzimmi yang lemah atau kaum yang terikat perjanjian damai. Adapun non-Muslim lainnya dianggap sebagai kafir harbi (kafir musuh), yang tidak memiliki hak bawaan yang melekat secara inheren pada kemanusiaan mereka semata” (Akyol, 2023: 105). Pandangan semacam ini lahir dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an secara terbatas dengan bantuan hadis-hadis.

Selain itu, ada pula pemahaman yang sempit terhadap ayat al-Qur’an tentang fitrah (sifat dasar manusia). Awalnya ayat tersebut dapat menjadi dasar yang kuat bagi humanisme. “Namun sebuah hadis seolah menutup pintu humanisme itu: ‘Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah, namun orang tuanya dapat mengubahnya menjadi Yahudi, Kristen atau Majusi.’ Dari pernyataan hadis ini banyak kalangan Muslim menyimpulkan bahwa fitrah itu identik belaka dengan Islam” (Akyol, 2023:105).

Dengan demikian, apa yang kita sebut dengan pedangkalan agama Muslim tidak semata dipengaruhi oleh persoalan politik, melainkan juga pengaruh akidah Muslim, yang dalam hal ini teologi Asy’ariah. Apabila teologi Asy’ariah memengaruhi hilangnya nilai universalisme Islam, Mustafa Akyol nampaknya mencoba mengajak kita untuk melirik kembali teologi Mu’tazilah. Di zaman kita sekarang kelompok aliran tersebut sepertinya sudah tidak ada lagi jejaknya karena secara politis telah tersingkir.

Di masa kejayaannya Mu’tazilah yang menjunjung tinggi peran akal dalam pemahaman agama memengaruhi kemajuan kaum Muslim yang luar biasa. Tidak dapat disangkal bahwa budaya intelektual Muslim mencapai prestasi gemilang berkat pengaruh Mu’tazilah. Dalam artikel bertajuk The Beginning of Islamic Philosophy (2020, (12) The Beginning of Islamic Philosophy) saya mengatakan bahwa teologi Mu’tazilah memiliki andil dalam lahirnya Filsafat Islam. Pengaruh teologi Mu’tazilah yang mengandung spirit kosmopolitanisme pulalah yang memicu munculnya semangat universalisme.

Meski terkesan membela Mu’tazilah dan mengkritik paham Asy’ariah yang punya andil dalam pelbagai kehilangan Muslim, sebagaimana uraian singkat di atas yang tentu bisa kita kritik balik, dalam beberapa diskusi daring Mustafa Akyol menyangkal dukungannya secara penuh terhadap Mu’tazilah. Peristiwa Mihnah menjadi dosa sejarah yang ditinggalkan kelompok Mu’tazilah, tindakan yang melahirkan kebencian dan balasan dari kaum Sunni, sehingga kini Mu’tazilah seperti lenyap tanpa jejak. Walau begitu, saya tetap saja berandai-andai: apa jadinya jika peristiwa Mihnah tidak terjadi? Apa jadinya jika teologi Mu’tazilah masih eksis berpengaruh pada kehidupan Muslim saat ini?

Dimulai dari Individu

Aliran Mu’tazilah dapat dikatakan tidak lagi eksis di zaman kita sekarang dan dalam pandangan Sunni terbilang sebagai akidah terlarang, namun semangat universalisme yang mengandung nilai humanisme sebagai salah satu titik tolak toleransi antarumat beragama perlu terus dipupuk. Penduduk negeri yang masyarakat beragamanya majemuk mau tak mau menghajatkan prinsip-prinsip toleransi, humanisme, dan universalisme itu, demi terciptanya kehidupan yang damai lagi makmur.

Oleh karena itu, sikap dan perilaku intoleran apalagi yang ekstrim akibat kedangkalan pemahaman agama harus dilawan. Perlawanan itu dapat dilakukan secara masif tapi persuasif dan terencana, misalnya oleh jaringan sekelompok masyarakat terdidik yang sudah terlebih dahulu tertanam dalam diri anggota-anggotanya nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan. Tugas mereka adalah membangun sikap kesalingmengertian dan rasa kebersamaan antarumat beragama.

Demikianlah amanat Gus Dur seperti beliau utarakan pada tulisan beliau yang saya singgung di atas dan didiskusikan oleh GUSDURian Banjarmasin, Tanah Laut, dan Martapura. Jaringan GUSDURian sendiri selama ini telah melaksanakan amanat Sang Guru Pejuang Kemanusiaan itu, melalui kegiatan-kegiatannya yang sering kali menghadirkan para tokoh dan penganut agama lintas iman.

Namun para penggerak GUSDURian dan mereka yang pernah hadir pada kegiatan-kegiatan jaringan pada akhirnya adalah individu-individu yang kembali dan hidup di tengah masyarakat mereka, khususnya masyarakat seiman mereka. Individu-individu inilah yang nantinya akan memberikan pengertian dan membangun rasa kebersamaan antarumat beragama di tengah-tengah internal umat agamanya.

Melawan pendangkalan agama dapat dimulai dari individu-individu. Apa pun profesi dan peran mereka di masyarakat internal agama mereka, entah itu guru, pegawai negeri, pedagang, pemuka agama, dan lain-lain, individu-individu yang berilmu dan berpengetahuan inilah yang akan menjadi pejuang kemanusiaan di tengah masyarakat mereka, seperti Gus Dur telah meneladankan. “Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar rasa toleransinya,” begitu ujar Gus Dur.

Penggerak GUSDURian Banjarmasin. Guru di Ponpes Darul Hijrah Putri Martapura.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *