Gaya Militeristik Prabowo

Pada tanggal 6 April 2025, Prabowo mengundang 7 jurnalis ke kediamannya di Hambalang, yang terdiri dari pemimpin redaksi (Pemred) Detikcom Alfito Deannova Gintings, Pemred TVOne Lalu Mara Satriawangsa, Pemred IDN Times Uni Lubis, Founder Narasi Najwa Shihab, Pemred Harian Kompas Sutta Dharmasaputra, Pemred SCTV-Indosiar Retno Pinasti, dan News Anchor TVRI Valerina Daniel sebagai moderator untuk melakukan wawancara bersama-sama.

Wawancara tersebut  dalam rangka ‘Program Presiden Prabowo Menjawab’ dan alhamdulilah kita tidak mendapatkan jawaban apa pun. Sepanjang tayangan yang berdurasi tiga jam lebih tersebut tidak lebih dari bentuk “pembelaan dan pembenaran” dari Prabowo atas segala tindakan, sikap dan kebijakan yang dilakukan olehnya dan para pejabatnya.

Pemred Detikcom Alfito sempat menanyakan tanggapan Prabowo terkait ketidaksensitifan dan jawaban serampangan Kepala Kantor Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi dengan berkomentar “Udah dimasak aja” ketika menanggapi teror kiriman kepala babi dan bangkai tikus yang dikirimkan kepada jurnalis Tempo Francisca Christy Rosana. Jawaban Prabowo enteng saja, “Menurut pendapat saya, saya yang bertanggung jawab, saya yang salah”.

Kita tidak butuh jawaban macam itu, yang seharusnya dilakukan Prabowo adalah meyakinkan rakyat dengan cara menunjukkan bahwa dia akan mengambil tindakan tegas terhadap segala hal yang bersifat abusif, baik itu upaya penghalangan dalam kebebasan berekspresi, hak mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, tindakan kekerasan yang dilakukan aparat, dan perlakuan yang sama dalam hukum.

Namun lagi-lagi Prabowo memberikan tanggapan yang mengecewakan ketika menjawab pertanyaan Pemred IDN Times, Uni Lubis terkait aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan civil society mulai dari “Indonesia darurat, Indonesia gelap, hingga disahkannya RUU TNI No. 34 Tahun 2004”. Uni Lubis mempertanyakan apa urgensi dari kilatnya proses revisi undang-undang tersebut dan mengabaikan RUU yang lain seperti RUU Perampasan Aset bagi pelaku tindak pidana korupsi?

Jawaban Prabowo tidak menunjukan sifat kenegarawanan yang demokratis, karena alih-alih menunjukan sikap memahami kekhawatiran rakyat yang berdemonstrasi atas penolakan RUU TNI, justru malah mengkerdilkan keresahan rakyat dengan dugaan dan sentimen bahwa berbagai aksi demo tersebut dibayar. Dari sini saja bisa kita lihat Prabowo tidak menunjukan sikap terbuka terhadap kritik. Pemimpin yang tidak toleran dan terbuka terhadap kritik adalah pemimpin yang otoriter.

Begitu juga ketika Najwa menanyakan soal rencana revisi Undang-Undang Polri, ketika didesak mana yang lebih penting antara butuh perluasan kewenangan atau perluasan pengawasan terhadap Institusi Polri, Prabowo memilih jawaban template, “Polri butuh wewenang yang cukup”. Entah cukup versi siapa?

Bahkan di tengah krusialnya isu Polri ini terlebih setelah berbagai kasus yang menunjukan bobroknya perilaku para penegak hukum mulai dari kejahatan seksual yang dilakukan oleh perwira, kejahatan berupa pembunuhan dan kasus narkoba yang terstruktur seperti kasus Sambo, tagar #PercumaLaporPolisi, tagar kami bersama Sukatani atas intimidasi yang mereka alami atas viralnya lagu “Bayar-Bayar”. Prabowo tidak melihat itu sebagai urgensitas perlunya perbaikan dalam tubuh Polri.

Segala gembar-gembor Prabowo saat kampanye dan puncaknya saat pidato pelantikan dirinya sebagai presiden tidak lebih dari omon-omon. Apa yang dia katakan dan kebijakan yang dia lakukan selalu kontradiktif, seolah-olah demokratis, seolah-olah berpihak pada rakyat kecil tapi dibalik layar tidak lebih dari praktik Orde Baru dalam wajah baru.

Bahkan yang miris ketika Prabowo mengatakan bahwa komunikasi politik buruk yang dilakukan para anggota kabinetnya tidak lain karena “Banyak orang baru di pemerintahan”. Seolah-olah praktik bernegara ini tidak lebih dari kegiatan ospek, di mana adanya “pewajaran dan pemakluman” atas kesalahan-kesalahan karena masih maba (mahasiswa baru). Tapi jelas mereka bukan maba yang kesalahan perkatannya, kesalahan kebijakannya bisa dimaklumi begitu saja.

Dari jawaban-jawaban Prabowo atas pertanyaan dari ke enam jurnalis tersebut menunjukkan bahwa Prabowo, meminjam istilah Soe Hok Gie saat mengkritik Sukarno yaitu tidak memiliki sense of crisis rakyat kecil. Jadi upaya yang dilakukan Prabowo mengundang para jurnalis ini dalam Program “Presiden Prabowo Menjawab” tidak lebih dari upaya merangkul menggunakan lengan kanan dan mencekik dengan lengan kiri. Bukan bentuk transparansi pemerintahan.

Sejak awal, Prabowo tak mampu menyembunyikan gaya kepemimpinan militeristiknya. Meski dia membantah bahwa “military way” tidak lagi relevan tetap saja sejak awal dia dilantik dengan gaya menggebu-gebu khas komandan, Prabowo berpidato dahsyat sekali karena dia akan mengejar para koruptor hingga ke Antartika.

Dalam agenda-agenda pemerintahannya bisa dilihat mulai dari adanya kegiatan retret untuk jajaran Kabinet Merah Putih (24-27 Oktober 2024) kemudian disusul retret kepala daerah di lokasi yang sama yaitu Lembah Tidar pada tanggal 21-26 Februari 2025. Meski retret yang dilakukan Prabowo serupa dengan konteks retret secara sosial, namun penggemblengannya tetap ala “military way”.

Nature Prabowo tetaplah seorang prajurit yang terbiasa memberi dan menerima komando, yaitu menuntut adanya kepatuhan tanpa kompromi. Bahkan Prabowo mengimbau bahwa yang di luar kabinet (padahal memang tidak ada oposisi) untuk tidak mengusik para pejabatnya yang sedang bekerja.

Dan gaya kepemimpinan seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi seperti yang dikatakan oleh Antonius Tony Made Supriatna kepada Historia.id, bahwa demokrasi identik dengan messy (kacau), semrawut, dan yang paling penting adanya perdebatan. Karena dalam perdebatan kita mencari sesuatu yang terbaik, dan inovasi terlahir dari perdebatan bukan keseragaman.

Dalam hal ini seharusnya Prabowo belajar pada SBY, meski berlatar belakang militer tapi SBY tidak menerapkan gaya militeristik ketika menjadi presiden. Bahkan ketika dia mendapatkan penghinaan, SBY datang ke Polda Metro untuk mengadukan secara resmi. Apa tujuannya? itu untuk membedakan SBY sebagai persona dan sebagai kepala negara.

SBY paham bahwa sebagai kepala negara dia harus terbuka terhadap segala kritik, karena jabatannya adalah jabatan publik dan digaji dari uang rakyat. Padahal bisa saja saat itu dia menggunakan kekuasaannya. Dan cara yang ditempuh SBY jauh lebih elegan dan etik ketimbang berkomentar serampangan “Ndasmu” saat di kritik atau yang lebih parah “Kok tanya saya? Jangan tanya saya” tapi diam-diam menggoncang MK.

Anggota PMII Kota Serang, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *