JEMBER – Gus Dur Corner UIN KHAS Jember dan GUSDURian Jember berkesempatan mendukung penyelenggaraan Public Lecture dengan tema “Dialog Lintas Iman di Belanda” dengan pemateri Josien Folbert, seorang aktivis dialog lintas iman senior dari Belanda di aula dan ruang diskusi Perpustakaan UIN KHAS Jember (17/04/2025).
Selain itu kegiatan yang diselenggarakan UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember ini juga bekerja sama dengan FKUB Jember, Tanoker, dan dua unit di bawah perguruan tinggi ini, Fakultas Dakwah UIN KHAS Jember, dan Perpustakaan UIN KHAS.
Selain dihadiri perwakilan berbagai organisasi lintas agama, kuliah umum ini juga diikuti oleh santri pondok pesantren, perwakilan beragam organisasi mahasiswa dari beberapa kampus di Jember, sekolah Tionghoa, organisasi guru tingkat provinsi, serta civitas akademika UIN KHAS Jember.
Khusna Amal, dalam sambutannya memaparkan bahwa topik dialog lintas iman di Belanda sengaja dipilih karena menjadi program prioritas Kementerian Agama.
“Itu menjadi salah satu program prioritas ataupun asta cita Menteri Agama. Kita pastikan bahwa semua agama memiliki cita-cita yang sama, untuk membangun toleransi membangun harmoni baik di kalangan internal umat beragama, maupun antarumat beragama,” tutur Wakil Rektor 1 UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember ini.
Khusna Amal juga berharap bahwa pengalaman dialog lintas Iman di Belanda yang dibagikan Josien Folbert dapat diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam relasi antaragama di Jember.
“Ini merupakan suatu topik yang sungguh-sungguh sangat penting dan menarik untuk terus kita perbincangkan dan selanjutnya nanti kita aktualisasikan atau implementasikan dalam ranah kehidupan sehari-hari,” tambahnya.

Dalam pengantarnya saat memoderatori kuliah umum ini, Fawaizul Umam, Dekan Fakultas Dakwah UIN KHAS Jember, juga memaparkan bahwa kuliah umum yang disajikan Josien Folbert sangat penting untuk mengeksplorasi dan membandingkan pengalaman upaya dialog lintas iman di Belanda dan Indonesia.
“Sangat penting bagi kita menyimak pengalaman dialog antariman atau hubungan antarumat beragama di Belanda,” paparnya.
Ia juga menggarisbawahi perbedaan konflik antaragama di Indonesia dan Belanda serta efektivitas dialog dalam menyelesaikannya.
“Kalau di sini kita menghadapi hubungan antaragama yang selalu konfliktual sebagai perbedaan yang tidak bisa diatasi hanya dengan dialog antariman. Kalau di Belanda justru jauh lebih kompleks daripada apa yang kita hadapi di sini,” tambahnya.
Sementara, dalam kuliah umumnya, Josien Folbert menceritakan pengalamannya memfasilitasi pertemuan ibu-ibu Kristen dan Islam untuk mendiskusikan strategi mendidik anak-anaknya, melatih religiositas mereka. Tak hanya itu, para ibu-ibu dampingannya juga diajak mendiskusikan isu ekologi dan perubahan iklim dan bersama mendiskusikan peran apa yang dapat mereka ambil untuk meresponsnya.
“Saya mengundang ibu-ibu Kristen, ibu yang beragama Islam, dan kita diskusikan bagaimana mendidik anak. Misalnya supaya anak-anak menjadi anak yang benar, yang baik, yang beragama. Tapi juga tentang isu-isu isu sosial. Misalnya tentang ekologi, tentang iklim. Bagaimana kita bisa bersama-sama ee mengatasi mungkin,” kisahnya.

Josien Folbert juga menggarisbawahi bahwa perbedaan agama bukanlah masalah bagi relasi antarmanusia. Saat orang menjalankan ajaran agamanya, seharusnya mereka dapat lebih dekat dengan manusia lain. Menurutnya, agenda yang penting dilakukan bersama untuk menyatukan perbedaan tersebut adalah mengembangkan dialog dan ikhtiar untuk memperkuat kohesi sosial antarumat beragama.
“Tidak ada masalah agama mereka apa, yang penting lebih dekat satu sama lain. Tapi bagaimana beragama membuat lebih dekat dengan masyarakat. Semoga kita bisa bekerja sama tentang hal itu,” tutur Pendeta perempuan ini.
Ia juga berpesan, bahwa perdamaian harus dibangun. Tak hanya oleh Tuhan, tapi juga harus diupayakan oleh masyarakat pemeluk agama.
“Perdamaian harus diciptakan di masyarakat dan perdamaian diciptakan oleh Allah. Perdamaian masyarakat dibangun supaya tidak ada kelompok-kelompok. Supaya kita menjadi satu,” harapnya.