SURABAYA – Deklarasi Istiqlal yang ditandatangani Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar yang menghasilkan dua poin besar yaitu dehumanisasi dan isu lingkungan menjadi dasar terselenggaranya seminar yang bertajuk “Eco-Harmony and Social Inclusion Festival: Expanding The Istiqlal Declaration”. Kegiatan ini dilaksanakan di Gedung KH. Saifuddin Zuhri (Sport Center & Multipurpose) UIN Sunan Ampel, Surabaya, pada Senin (9/12).
Seminar ini diselenggarakan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya yang bekerja sama dengan Komunitas GUSDURian Surabaya untuk menghasilkan komitmen bersama dan praktik yang baik dalam menangani dua isu besar, yaitu dehumanisasi dan krisis lingkungan. Kegiatan ini dimulai pukul 08.00 hingga 12.30 WIB yang dihadiri oleh para pemuka agama dan kepercayaan serta aktivis lingkungan.
Kegiatan ini terbagi menjadi beberapa rangkaian. Sehari sebelum acara, Minggu 8 Desember dilaksanakan diskusi kelompok terpumpun (FGD) yang diikuti oleh perwakilan pemuka agama dan kepercayaan mulai dari Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Baha’i, penghayat kepercayaan, aktivis lingkungan, serta komunitas GUSDURian yang menghasilkan kesepakatan bersama terkait isu dehumanisasi dan krisis lingkungan. Diskusi ini dilakukan secara daring melalui Zoom Meeting mulai pukul 10.00 sampai 13.00 WIB.
Selanjutnya pada kegiatan seminar, hadir sebagai narasumber antara lain Asisten Perekonomian dan Pembangunan Agus Imam Sonhaji dan Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid. Selain itu ada Dosen Fakultas Sains dan Teknologi Andik Dwi Muttaqin dan Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Abdul Kadir Riyadi sebagai narasumber internal dari UIN Sunan Ampel.
Alissa Wahid menyampaikan perihal peran agama dalam peradaban dunia. Menurutnya, karakteristik agama sangat kuat, karena itu agama membawa nilai-nilai tertentu tergantung agama masing-masing. Hal ini tidak seragam dengan kondisi saat ini, di mana agama hanya dijadikan sebagai ajang untuk memenuhi kewajiban tanpa merepresentasikan nilai yang dibawanya. Masyarakat tanpa spiritualitas maka akan terjadi ketidakadilan baik dari segi kemanusiaan hingga lingkungan sekitar. Alissa juga menyampaikan bahwa lingkungan tergantung bagaimana tokoh agamanya.
“Pemimpin agama pasti dituruti umatnya. Karena itu, hubungan pemuka agama dengan umatnya juga sangat kuat,” ujar Alissa.
Kegiatan ini ditutup dengan deklarasi bersama untuk menyatukan komitmen dari seluruh pemuka agama yang hadir untuk membangun rasa dan kesadaran akan dua krisis besar tersebut. Deklarasi ini dinamakan sebagai ‘Deklarasi Surabaya’ yang ditandatangani oleh rektor sebagai perwakilan UINSA, Pemuka Agama dan Kepercayaan mulai dari Islam, Buddha, Hindu, Katolik, Kristen, Konghucu, Baha’i, Penghayat, serta aktivis lingkungan dan Perwakilan Pemkot Surabaya.
Hal ini dilakukan agar para pemuka agama dapat menghimbau umatnya untuk ikut juga menyatukan dan menumbuhkan rasa kesadaran atas menjaga kemanusiaan dan menjaga alam. Penyalaan tujuh belas lilin sebagai wujud representasi dari tujuh belas tanda pembangunan global juga turut dilakukan sekaligus menutup kegiatan ini.