Gus Dur dan Ketauhidan

“Dengan tauhid, Islam menegakkan perbedaan pendapat dan keyakinan, dan jika perbedaan keyakinan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar seperti dalam keimanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi” (Gus Dur, 2007: 6).

Bismikallâh yâ wâliyya as-samâwâti wa al-ardh. Jauh di atas citraan sebagai intelektual, budayawan,  dan aktor politik, Gus Dur adalah seorang kiai dan guru sufi yang hidup dari sumber tradisi di mana dia berasal. Tradisi ini menjadi basis di mana Gus Dur berangkat dan berdialektika dengan zaman dan realitas sosial. Bahwa kemudian Gus Dur mempelajari ilmu-ilmu sosial kritis, kebudayaan, dan dinamika peradaban bangsa lain, di luar tradisi di mana dia berasal, tidak dinafikan ikut membentuk jati dirinya.

Tradisi yang menghidupi Gus Dur, yang utama adalah keyakinan dan sikap hidup seorang Ahlussunnah Waljama`ah an-Nahdliyah dan berasal dari pesantren, di samping sebagai seorang yang hidup di lingkungan lokal keindonesiaan dengan tradisi panjang Nusantara. Dari tradisi seorang Aswaja an-Nahdliyyah ini, nilai tauhid menjadi poros dalam keyakinan Gus Dur, dan kemudian membentuk sikap pribadinya. Nilai tauhid itu dipadukan dan hidup bersamaan dengan nilai-nilai fiqh (hukum Islam), teologi (ilmu kalam), dan tasawuf, yang memang mengakar dalam tradisi di pesantren Nahdliyin; yang kemudian dikombinasikan dengan ilmu-ilmu sosial kritis yang telah diolah dan digerusnya, sesuai dengan konteks lokal di mana Gus Dur hidup dan berdialektika.

Paduan fiqh, teologi, tasawuf, dan ilmu sosial kritis, sering ditukar-tukar, tergantung di mana Gus Dur sedang berbicara-berdialektika. Yang membedakan adalah titik penekanannya: kepada guru tarekat, Gus Dur berbicara tentang laku spiritual dan keistiqamahan, isyarat-isyarat ghaib, mimpi, dan sejenisnya; kepada teman-temannya di gerakan, Gus Dur berbicara soal gerakan sosial, politik, kebudayaan, bola, dan lain-lain; kepada sebagian muridnya Gus Dur mengajarkan tentang sembahyang sebagai laku mi’raj; kepada sebagian masyarakat pesantren, Gus Dur kadang berbicara fiqh sosial; dan lain-lain.

Meski begitu, nilai, dan fondasi terdalam dalam diri Gus Dur tetap sama, yaitu nilai tauhid yang terbentuk dan menggerakkan pribadinya, sebagai seorang Aswaja an-Nahdliyyah. Sebagai seorang yang hidup dalam dunia fiqh dan teologi Aswaja an-Nahdliyyah, Gus Dur meyakini nilai tauhid bahwa Tuhan itu ada, yaitu satu-satunya Dzat yang mengatur jagad raya ini. Dalam tradisi Aswaja an-Nahdliyyah, bahkan keseluruhan muslim, Tuhan disebut sebagai Allah dan nama-nama lain dalam Asmâ’ al-Husnâ (nama-nama yang indah), tetapi pada dasarnya Dia dan namanya sendiri tidak terbatas. Gus Dur, karenanya juga kadang menggunakan kata Allah; dan kadang menggunakan kata “Tuhan” untuk merujuk kepada Dzat yang maha cinta kasih itu; dan bahkan kadang cukup dengan menyebut ilâhî dalam munâjat-nya.

Dalam setiap shalat yang dilakukan, Gus Dur selalu menegaskan nilai tauhid dengan mengucapkan pernyataan syahâdah, sama seperti dilakukan muslim lain yang mempraktikkan shalat sebagaimana dicontohkan dalam tradisi fiqh. Syahâdah yang diucapkan adalah “tidak ada ilâh kecuali Allah …,” dalam setiap praktik tasyâhud awal dan akhir. Dan karenanya, Gus Dur selalu memperbarui pernyataan syahâdah-nya ketika melakukan shalat, sebagaimana seorang muslim lain, sebanyak ia melakukan ritual shalat setiap hari.

Hanya saja, lebih dari sekadar sebagai seorang yang berhenti dalam penghayatan fiqh dan teologi, Gus Dur memahami tauhid dan Tuhan dari sudut seorang sufi atau tasawuf. Tetang tasawuf sendiri Gus Dur pernah mengungkapkan demikian: “Sufisme mewarisi tradisi Timur Tengah, itu berarti apa pun yang Anda perbuat, apakah Anda pengikut legal formalistik atau pengikut syari’ah yang paling top, apakah Anda itu orang suci yang paling memelihara kehidupan dan semua kewajiban dalam Islam, Anda penuhi semua kewajiban dan semua larangan Anda jauhi, belum tentu Anda diterima oleh Tuhan. Sebab penerimaan itu ditentukan oleh Tuhan, bukan Anda. Ini inti dari sufisme, yang bisa menjembatani manusia dengan Tuhan, hingga, gampangnya, Tuhan itu tergerak untuk menyelamatkan manusia. Itu adalah cinta Anda kepada Tuhan, karena itu akan membuat Anda cinta kepada Tuhan, dan Tuhan mencintai Anda. Karen itu cinta dan kasih merupakan elemen terpenting dari sufisme. Di sini saya tekankan kesalehan orang-orang sufi, kesalehan yang bukan karena legal formalistiknya” (Gus Dur, 2010: 140-141).

Dari sudut tasawuf ini, keyakinan tentang Tuhan, bukan semata keyakinan yang diucapkan, bukan hasil dari semata membaca kitab-kitab, dan informasi-informasi dari kitab suci, tetapi lebih dari itu, keyakinan itu didapatkan dari praktik mujâhadah olah rohani yang simultan berkelanjutan. Kitab suci menjadi penunjuk awal: penghayatan dan pergulatan ada dalam laku. Mujâhadah rohani ini kemudian menghasilkan penyingkapan dan penyaksian rohani atas realitas dan eksistensi Tuhan. Di antara (dan karenanya, salah satu saja) praktik mujâhadah yang sering dilakukan Gus Dur adalah munâjat taubat, permohonan ampunan kepada Tuhan.

Gus Dur sering melantunkan munâjat demikian: ilâhî lastu li al-firdausi ahlân, walâ aqwâ `alâ an-nâri al-jahîmi, fahablî taubatan waghfir dzunûbî fa’innaka ghâfiru dzanbi al-azhîmi (Tuhanku, tidak pantas diriku menjadi ahli surga Firdaus; dan aku tidak kuat atas ganasnya api neraka Jahim, maka berilah aku pintu taubat, ampunilah dosa-dosaku, karena hanya Engkaulah Dzat yang Maha Pengampun atas dosa-dosa yang besar). Munâjat taubat ini mencerminkan kelemahan seorang manusia di hadapan Tuhan, dan kebutuhan akan permohonan ampunan kepada Tuhan, yaitu Dzat yang cinta kasih dan Sang Penyelamat. Gus Dur sendiri pernah menyebutkan tentang eksistensi Allah, yaitu: “Artinya begini, oleh orang sufi itu inheren dalam pemikiran, bahwa penyelamatan itu letaknya di tangan Tuhan semata. Kita harus mampu memiliki rasa cinta kepada Tuhan untuk memahami kapasitas Tuhan Sang Penyelamat itu” (Gus Dur, 2010: 140).

Kesadaran tentang Tuhan yang cinta kasih dan penyelamat, dikokohkan Gus Dur lewat praktik mujâhadah, dan di antaranya dengan munâjat taubat itu. Selain munâjat, taubatnya sendiri, dalam tasawuf adalah maqâm (tempat pendakian rohani) penting yang mengawali seorang sufi untuk mendaki maqâmât (tempat-tempat pendakian rohani) yang harus ditempuh. Akan tetapi keistiqamahan munajat itu sendiri adalah salah satu maqâm yang sangat indah, yang menunjukkan keintiman hubungan penempuh munâjat dengan Tuhan. Munâjat adalah bercakap-cakap dengan mata rohani dengan-Nya, dan keistiqamahan munâjat adalah maqâm tersendiri yang istimewa.

Sebagaimana Gus Dur, setiap sufi memiliki pencapaian maqâm pendakian rohani yang berbeda-beda, sebagaimana mereka juga berasal dari titik berangkat yang berbeda-beda: ada yang berasal dari bangsawan, ada dari rakyat jelata, pedagang, pernah menjadi pendosa; dan lain-lain. Perbedaan pencapaian maqâmât seorang sufi, justru menunjukkan Tuhan tidak terbatas, yang rahmat dan cinta kasih-Nya juga tidak terbatas, justru di dalam penglihatan rohani orang-orang yang dekat dengan-Nya. Dalam pengertian kaum sufi, pencapaian maqâmât seseorang dalam olah rohani ini menghantarkan penyaksian dan penyingkapan akan eksistensi-Nya, menurut ketentuan dan rahmat-Nya, bukan karena atas banyaknya amal semata.

Keistiqamahan amal atau perbuatan hanya tanda kedekatan dia (sang sâlik, sang penempuh) dengan Tuhan, tetapi rahmat pemberian maqâm tertentu kepada seorang sâlik adalah hak Tuhan, sebagaimana diungkapkan dalam ayat cahaya: Allâh nûrussamâwâti wa al-ardhi… yahdi lahu linûrihi man yasyâ’… (QS. An-Nûr [24]: 35). Jadi, di sini, pencapaian penyingkapan dan penyaksian rohani tentang eksistensi Tuhan yang masing-masing sufi berbeda-beda itu tidak bisa dipaksa-paksa, apalagi dibuat pura-pura, karena soal itu adalah anugerah dan rahmat dari Tuhan: bertingkat-tingkat diberikan kepada penempuh rohani (sâlik) sesuai dengan rahmat dan anugrah Yang Maha Kuasa.

Terpenting, penyaksian dan penyingkapan sang sâlik selalau membuatnya ada sesuatu yang datang dalam rohaninya (wârid), menegaskan dan menggelorakan, semacam keyakinan yang kokoh tentang Tuhan, dan kecintaannya sangat mendalam kepada Tuhan. Di sini ada dua hubungan: Allah memberikan tanda penyaksian kepada sâlik, dan dengan tanda ini Dia menarik sang sâlik, sehingga kehidupannya selalu di orientasikan kepada-Nya; dan bagi sâlik, dengan tanda-tanda penyaksian, menjadikannya terus ditarik dan tertarik hidupnya kepada Dia. Di sinilah Tuhan dipahami benar-benar sebagai eksistensi yang hakiki dalam kehidupan. Sementara makhluk, alam dan manusia adalah semu, fana’, dan sementara. Kearifan santri Jawa sering menyebutkan kondisi ini dengan wong urip mung mampir ngombe, untuk menunjukkan kesementaraan dan kefana’an alam dan dunia.

Meski dunia ini sebagai suatu yang sementara, tetapi justru dengan adanya manusia dan alam itulah rahmatnya diberikan: kepadanya dijadikan berpasang-pasangan dalam semua entitas, sehingga tercipta keanekaragaman, sehingga satu sisi memang ada kontradiksi antara kelompok yang berpasang-pasangan, tetapi di situlah manusia diuji; manusia adalah wakil-Nya di alam, disebut khalîfatullâh (wakil Allah) yang dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain, ia diberi akal, roh, dan kesadaran terdalam, dan dengannya manusia diuji, boleh iman dan boleh ingkar. Karena dunia dan alam adalah tempat dan ladang, menuju-Nya, berputar untuk-Nya, dan berotasi untuk-Nya, maka dunia menjadi tempat pelayanan kepada-Nya, ujian, dan pengingkaran (boleh ingkar dan iman). Atas semua kejadian di dunia, baqa’ (langgeng) dan tidak berubah, rahmat dan kasih sayang Tuhan mendahului kemarahan-Nya (sabaqat rahmatî `alâ ghadhabî, rahmat-Ku mendahului kemarahan-Ku), dan esensi dari kasih sayang Tuhan inilah yang menjadi penyelaman dan kesadaran terdalam dalam diri kaum sufi; dan karenanya, keluasan dan ketidakterbatasan kasih sayang Tuhan menariknya, mengilhaminya dan mewujud dalam diri para guru sufi dengan cara dan posisi mereka masing-masing.

Dalam proses pencapaian kesadaran, peneguhan, dan pemeliharaan keyakinan tentang eksistensi Tuhan yang demikian, seseorang sâlik selalu memiliki dzikir dan amalan yang diistiqamahi. Soal amalan dzikir ini, Gus Dur sering melakukan wasilah dan mengirim bacaan surat al-Fatihah kepada Nabi Muhammad dan auliyâ’, ketika berkunjung ke makam-makam mereka; dan ketika dalam waktu-waktu tertentu. Gus Dur juga sering diberi ijazah untuk melakukan dzikir, seperti dikemukakannya sendiri: “Itu biasa, sesuai kebutuhan, kan kiai-kiai suka bilang kepada saya, tolong baca surat ini, tolong baca surat ini dengan puasa sekian hari sebelumnya” (Gus Dur, 2010: 173).

Oleh karena itu, dalam diri Gus Dur selalu ada dimensi irrasionalnya (dimensi percikan dzauqî, luthfiyah-nya) dilihat dari sudut manusia yang tidak melakukan dan tidak akrab dengan dunia tasawuf; di samping dia juga ada dimensi rasionalnya (`aqlî). Akan tetapi bagi para sesama penempuh di jalan tasawuf ini, realitas dan penyingkapan itu adalah sesuatu yang sangat nyata, apalagi soal mimpi-mimpi dan isyarat-isyarat. Yang membedakan adalah pencapaian maqâmât yang dianugrahkan dan dirahmatkan Tuhan kepadanya, yang memang berbeda-beda di antara sesama sâlik. Sementara penyangkalan adalah masih tertutupnya seseorang, masih ada hijâb yang belum dan tidak disingkap oleh sang penyangkal. Bagi, yang masih terhijab, akan menjadi rahmat kalau dihayati secara mendalam, dengan tetap tabah, sabar, dan penuh kelembutan dalam berhubungan dengan Tuhan, sehingga memahami maqam-nya yang terhijab; dan sebaliknya akan menjadi ujian dan penghalang bagi cahaya-Nya, oleh karena diri mereka sendiri.

Dalam pendakian olah rohani itu, tidak semua sufi memberitakan dan mengabarkan maqâm, jati diri kesufian, pengalaman-pengalamannya, dan wirid-wiridnya kepada khalayak, bahkan juga tidak kepada seorang murid, ketika sang sufi masih hidup, kecuali hanya penggalan-penggalan; meskipun sebagian sufi ada yang melakukan pengabaran wirid-wiridnya, dan menceritakan sebagian keajaiban-keajaiban. Meski begitu, juga ada yang mengabarkannya setelah sang sufi meninggal, kepada sebagian murid, lewat penyingkapan sang murid dan rahmat Allah lewat sang Guru sebagai wasilah. Yang menyamakan adalah semua sufi selalu melakukan pelayanan istiqâmah penghambaan kepada Tuhan, setelah mengenal Tuhan secara kokoh lewat penyingkapan dan penyaksian sebagai buah ketauhidannya.

Jenis-jenis pelayanan kepada Tuhan itu diwujudkan secara berbeda-beda, seberbeda posisi yang telah diterimanya dari Tuhan, yaitu tergantung posisi, letak, maqâmât, dan posisi yang dianugerahkan oleh Allah. Dari sinilah ada yang benar-benar disembunyikan dari khalayak semata untuk berdzikir dan membimbing secara rohani kepada murid-murid yang tak terbatas; ada yang dimandatkan untuk menjadi pemimpin dan imam dari umat menghadapi kenyataan sosial dan berdialektika sosial tanpa harus memakai baju sufi; ada yang melayani untuk berbuat dan menolong dengan hartanya, dan lain-lain.

Gus Dur dalam konteks demikian adalah seorang guru yang melayani umat dan terjun ke dalam kancah sosial di masyarakat, yang berusaha agar bisa berbuat sesuatu yang dicintai Tuhan, dan menyelamatkan sesuatu yang dicintai Tuhan, yaitu alam secara keseluruhan dan manusia secara khusus. Oleh karena itu, tauhid dan pengenalan Gus Dur tentang Tuhan yang telah kokoh, tanpa perlu harus diteorisasikan secara jlimet (kompleks), kemudian diwujudkan dalam diskursus sosial, dibumikan, dan inheren dalam dirinya, karena ia harus berhadapan, hidup dan membimbing masyarakat. Maka, yang terlihat dalam diri Gus Dur adalah cerminan nilai-nilai tauhid dalam hidupnya dari aspek-aspek yang dikenal manusia dalam sikap-sikapnya yang berdialektika dengan konteks sosial dan sisi kemanusiaannya.

Penampakan apsek-aspek lahir itu mencerminkan keistiqamahan mujâhadah dalam melakukan pelayanan cinta kasih (lâ yakhâfu laumata lâ’im, tidak takut cercaan dan hinaan orang-orang yang mencercanya) kepada manusia, apa pun kedudukannya; menggandrungi keadilan dan berusaha menegakkannya; melakukan pembebasan terhadap semua bentuk penindasan yang dialami manusia dan alam; pemberani dalam memperjuangkan keyakinan dan ide-idenya yang dihayatinya sebagai pelayanan penghambaan kepada Tuhan, karena baginya yang ada dan perlu ditakuti hanya Tuhan; kesabaran dalam berjuang meskipun melewati banyak rintangan, termasuk rintangan dari para murid-murid yang gagal menjalani hidup bening yang hanya puas dengan gemerlap kekuasaan, uang, dan jabatan politik; sikap sederhana dalam menjalani hidup; mendahulukan orang lain dari kepentingan pribadi; dan banyak lagi.

Dimensi-dimensi seperti pelayanan cinta kasih kepada manusia, menegakkan keadilan, kesabaran, keberanian, kesederhanaan, melakukan pembebasan, mengakarkan persaudaraan, mendahulukan orang lain dan bangsa, membuat orang senang dan gembira dengan humor, dan lain-lain itu sejatinya adalah berbagai jenis keistiqamahan dalam laku rohani Gus Dur ketika masih hidup; tanpa perlu diteorisasikan, dijelas-jelaskan, apalagi dibuat-buat untuk dipublikasikan. Laku rohani itu, mengejawantah dalam dunia sosial, karena posisinya sebagai imam dan pemimpin umat, sehingga dengan tanpa diteorisasikan secara jlimet Gus Dur mengajarkan kepada umat cara langsung menjalani hidup, dengan berpijak pada keyakinan, ketulusan, dan keberanian: dalam gerakan kultural, NGO, dunia politik, kebudayaan, masyarakat NU, dan bangsa Indonesia.

Dengan kecanggihan aksi-aksi sosial dan pemikiran-pemikirannya yang brilian, orang terbius oleh sosoknya sebagai poros gerakan dan pemecah kebekuan-penindasan. Sisi terdalam, dimensi olah rohani yang diairi oleh penghayatan nilai tauhid, hanya dapat dipahami oleh mereka yang sama-sama hidup dan diairi oleh jalan yang sama: tasawuf. Karenanya, lagi-lagi, Gus Dur, dalam dirinya adalah sosok `aqliyun wa dzauqiyun, yang meski berjibaku dengan teori-teori sosial, aksi-aksi sosial, tetapi dia sendiri sering dan selalu menggunakan isyarat-isyarat, mimpi-mimpi penyingkapan, berziarah ke makam, berdzikir, munâjat, dan lain-lain, yang itu tidak ada dalam training-training, apalagi pengajaran di akademi-akademi yang melahirkan para sarjana, doktor, dan para profesor.

Dengan nilai-nilai tauhid yang mendasari sikap-sikap hidupnya dan membentuk watak karakternya, Gus Dur adalah sosok guru sufi; yang berperan sebagai seorang religius humanis; seorang yang gandrung dengan keadilan dan pembebasan, tetapi bukan seorang marxis; seorang yang mencintai persaudaraan, anti-kekerasan, dan menghargai perbedaan pandangan, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Begitulah, tauhid mengokohkan pelayanan sejati sang guru kepada umat, bangsa, dan manusia yang keluar dari dalam kebeningan rohani, karena dengan begitu berarti sang guru sedang menjalankan peran mencintai dan melayani Tuhan. Walhamdulillah.

Intelektual Muda Nahdlatul Ulama' (NU) dan Penulis buku Agama Borjuis: Kritik atas Nalar Islam Murni, Sejarah Lengkap Wahhabi, dan lain-lain.