Social Media

Barangkali Kita Lupa Gus Dur

Barangkali bangsa ini telah melupakan Gus Dur. Presiden-Kiai yang wafat 12 tahun silam pernah mengangkat martabat pesantren itu banyak meneladankan bagaimana tradisi pesantren harusnya bergerak di negeri ini. Pesantren memanglah sebuah unit pendidikan kuno di negeri ini, tetapi itu tak lantas berarti pesantren harus dikelola dengan cara-cara jahiliyah -sebagaimana HW (35) melakukannya.

Ia seorang guru atau ustaz di salah satu yayasan di Kota Bandung. Ia diduga memperkosa dan menghamili belasan santrinya. Diwartakan beberapa di antaranya hamil dan melahirkan anak. Lalu banyak yang memberi klarifikasi bahwa itu bukanlah pesantren. Apa pun itu, perilaku itu sungguh jahiliyah.

Padahal, pesantren bagi Gus Dur dihadirkan untuk merespons situasi dan kondisi suatu masyarakat yang dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral. Dengan begitu, pesantren sesungguhnya adalah penjaga moral di tengah masyarakat yang sedang rusak. Sayangnya dalam konteks HW di atas, pesantren tak tampak sebagai penjaga moral. Ia malah tampak sebagai penjaja kejahatan. Watak kebinatangannya begitu dominan.

Tetapi moral yang baik memang begitu langka. Moral yang baik, kini tergantikan oleh moral binatang. Ruang-ruang kesucian kini terkontaminasi dengan kebusukan. Anggaplah kasus HW di atas sebagai salah satunya. Di perguruan tinggi Islam pun sering kali tersiar kabar kotor sejenis itu. Dan ini tanda bila benar-benar lupa Gus Dur.

Barangkali bangsa ini memang telah melupakan Gus Dur. Mantan presiden bangsa itu mengajarkan bagaimana korupsi merusak negeri. Tetapi orang-orang tak henti mencuri. Entah itu pencurian skala jumbo, entah itu pencurian level kerdil. Tetapi pencurian bukan soal besar dan kecilnya. Tindakan itu tetaplah melanggar dan merusak. Barangkali bangsa ini memang melupakan Gus Dur. Presiden dengan ungkapan populer “gitu aja kok repot” telah mengajarkan bagaimana praktik demokrasi yang baik di negeri baik ini. Bahkan sejak tahun 1980-an hingga 1990-an ia telah mempraktikkan demokrasi di negeri ini. Kita tahu di zaman itu, demokrasi tak boleh tumbuh dari bawah, dan tak boleh hadir selain demokrasi Pancasila rakitan Cendana.

Di zaman gelap itu, Gus Dur bersama rekan dan jama’ahnya berupaya membibit demokrasi dari bawah walau ditentang penguasa plat merah. Di lapangan, bibit-bibit itu ada yang tumbuh layu, ada yang tumbuh dalam kekeringan, dan banyak yang diberangus sebelum bertumbuh. Bahkan, bibit itu tak sedikit dihambur rezim sebelum ditabur. Sungguh takabur Orde Baru saat itu.

Barangkali memang bangsa ini telah melupakan Gus Dur. Presiden pengguna sarung iu telah meneladankan bagaimana jabatan bukanlah keabadian. Tetapi orang-orang di zaman ini tampak menjadikan jabatan sebagai Tuhan.

Posisi sebagai orang nomor wahid di negeri ini tentu tak mudah meraihnya. Lalu dengan mudah Gus Dur digulingkan. Tetapi itulah Gus Dur, jabatan ia pesankan sesuatu yang tak permanen. “Tidak ada jabatan di dunia ini yang layak dipertahankan mati-matian, apalagi dengan tetesan darah, kata Gus Dur kepada setiap orang yang datang untuk memberinya dukungan moral, sebelum dan setelah ia digulingkan pada 23 Juli 2001 lampau.

Mungkin memang kita lupa Gus Dur. Mantan pemimpin umat Nahdliyyin ini membangun NU di tengah represi rezim dengan segala kesusahan menyertainya. Di situ ia memeragakan bagaimana masyarakat sipil dalam NU harus berdiri di tengah rezim anti-demokrasi.

Di situ pula Gus Dur menegaskan dan memeragakan bagaimana Islam dipribumisasi di negeri plural ini. Gus Dur menyajikan Islam dengan penuh keramahan. Ia hendak menunjukkan bahwa Islam adalah keramahan, bukan kesengsaraan. Keramahan, kerahmatan tanpa sengsara ditegakkan dengan nirsenjata, tanpa intimidasi, tanpa kekerasan, tanpa caci maki keras kasar.

Namun kini, itu semua tak pernah lagi terlihat. Islam kini hendak ditegakkan dengan kemarahan, dengan kesengsaraan melalui sumbu bom bunuh diri. Manusia mengutuknya dan Tuhan melaknatnya. Barangkali kita memang telah lupa pada Gus Dur. Alfatihah untuk Gus Dur.

_____________

Artikel ini pertama kali dimuat di Harian Tribun Timur, 29 Desember 2021.

Ketua Dewas LAPAR Sulsel. Anggota Majlis Demokrasi dan Humaniora.