Social Media

Gus Dur dan Problem Bangsa Kita

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur memang sudah sepuluh tahun ”pergi”, tetapi memori tentang sosoknya masih begitu melekat dalam pikiran kita semua. Dalam ingatan kita, Gus Dur semasa hidup merupakan representasi banyak sosok: mulai dari pribadi biasa yang humoris, aktivis, dan intelektual muslim yang kontroversial, hingga sosok negarawan dan ulama yang humanis. Dalam tradisi semiotik, dia adalah teks yang menghadirkan simbol-simbol pemaknaan.

Dari sekian banyak sosok yang direpresentasikan, pribadi kontroversial adalah yang paling melekat dalam ingatan kita tentang cucu KH. Hasyim Asyari ini. Beberapa orang mengenali sosok kontroversinya dari tulisan-tulisan ”Gus Dur Muda” yang dipublikasikan oleh beberapa media cetak nasional tahun 1980-an.

Sebagian lain mengenalinya dari gagasan keagamaan dan kebijakannya saat memimpin Nahdlatul Ulama (NU), dan yang lain mengingat pribadi kontroversinya dari langkah-langkah politik yang dibuatnya saat memimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menjadi presiden keempat RI.

Varian pemaknaan

Simbol pribadi nyeleneh (kontroversial) Gus Dur memang mempunyai varian makna. Dalam preferensi tradisi keagamaan masyarakat NU, sikap nyeleneh bukanlah sebuah masalah. Pada level tertentu, sikap tersebut menandai tingkat kesalehan seorang ulama. Ia hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang dianggap terpilih dan mendapat karomah dari Allah SWT, biasa dikonseptualisasikan dengan istilah jadzab.

Fenomena ini merujuk pada terminologi dunia tasawuf di mana seseorang benar-benar mampu untuk menyingkap dan melihat dengan nyata sifat-sifat Allah SWT. Oleh karena itu, wajar jika Gus Dur akrab dikonotasikan dengan waliyullah yang pesan-pesannya kerap tidak mudah dipahami oleh masyarakat awam, dan dianggap kontroversial.

Dalam tradisi akademis, memahami ”teks” Gus Dur membutuhkan kerja-kerja semiotik atau prosedur pemaknaan atas simbol-simbol yang berkeliaran di sekitar kita. Gagasan dan sikap kontroversial Gus Dur yang sering tiba-tiba terlontar jelas tidak hadir dalam ruang hampa, tetapi menandai suasana psikologis dari sebuah fenomena tertentu (signified).

Dalam banyak hal, langkah dan gagasan kontroversial Gus Dur semasa hidupnya merupakan penanda (signifier) bagi realitas destruktif yang berkembang dalam masyarakat, seperti menguatnya identitas primordial, sentimen sektarian, dan fundamentalisme keagamaan yang lahir dari sistem sosial-politik saat itu.

Ambil contoh, gagasan sinomitas assalamu’alaikum dengan selamat pagi (1987), Tuhan tidak perlu dibela (1982), teologi Rukun Tetangga (1989), penerimaan terhadap asas tunggal Pancasila (1983, 1992).

Semua itu merupakan simbol perlawanan kultural Gus Dur atas kecenderungan destruktif masyarakat saat itu yang mengarah pada keterbelahan bangsa Indonesia, seperti stereotipe yang mengental di kalangan umat Islam terhadap isu kristenisasi, kecurigaan berlebihan pemerintah terhadap umat Islam atas isu pengislaman negara Indonesia, rendahnya toleransi umat beragama, serta kecenderungan manhaj (metode) berpikir umat Islam yang skripturalis dan truth-claim pada waktu itu.

Gerakan kultural Gus Dur

Di tengah-tengah menguatnya kecenderungan destruktif fundamentalisme agama dan perilaku korupsi di negeri ini kini—yang diperkuat fenomena perebutan kekuasaan menjelang Pemilu 2019—otak kita semacam membongkar kembali (recalling) memori lama tentang gerakan-gerakan kultural ”nyeleneh” a la Gus Dur.

Semacam ada rasa rindu akan kehadiran simbol-simbol perlawanan kultural atau budaya tanding atas kecenderungan destruktif sistem sosial-politik belakangan ini. Betapa tidak, diskursus tentang kita dan liyan (others) sudah begitu masif di media sosial. Fenomena operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap elite politik, pengusaha, dan birokrasi juga seakan sudah menjadi pemandangan biasa.

Ironinya, di tengah realitas demikian, hampir semua energi institusi dan tokoh agama tampak tersedot untuk kepentingan politik praktis-pragmatis Pemilu 2019. Terlebih lagi narasi besar yang tergambar dari langkah dan gagasan para tokoh dan lembaga keagamaan belakangan ini sepertinya malah mengarah pada penguatan politik identitas.

Lihat saja, betapa saat ini simbol-simbol agama telah dibangun dalam narasi oposisi biner; kiai versus (ijtima) ulama, istighasah kubro versus tablig akbar, ”partai setan” versus ”partai Allah”, dan seterusnya. Seakan-akan tiap-tiap kubu politik berebut identitas sebagai ”pembela Tuhan yang terdepan”.

Dalam sistem politik multi-partai-aliran yang berkembang di negeri yang kita cintai ini, diakui atau tidak, memang sulit untuk menghindari terjadinya pragmatisme politik. Sebab, spirit atavisme (solidaritas) agama dianggap menjadi aset politik yang efektif untuk meraup dukungan menuju panggung kekuasaan.

Jika tidak berhati-hati, pada level tertentu, hal tersebut akan mendorong terjadinya fragmentasi sosial dan memungkinkan terjadinya deformasi simbolik agama sebagai rahmatan lil ’alamin, dan akan memperkuat benturan di level akar rumput.

Seturut dengan kenyataan di atas, menghabiskan energi agama secara besar-besaran untuk kepentingan pragmatisme politik-kekuasaan jelas bukanlah hal yang bijaksana. Apalagi menjadikan agama sebagai bagian dari sistem sosial-politik yang membangkitkan kembali kecenderungan destruktif masyarakat.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita menempatkan kembali agama dalam ranah masyarakat sipil, bukan masyarakat politik (political society); menempatkan kembali agama sebagai bagian dari sistem simbolik gerakan antikorupsi, gerakan antiterorisme, dan gerakan masyarakat toleran dan humanis.

Dengannya kerja-kerja kultural institusi dan tokoh agama dalam mendorong ketersediaan formasi sosial-keagamaan yang demokratis, adil, dan jujur yang kita dambakan akan bisa segera terwujud di negeri ini.

Perlu kiranya kita merefleksikan kembali gagasan Gus Dur tentang ”Tuhan Tidak Perlu Dibela” yang dipublikasikan oleh majalah nasional tahun 1982, ”Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang.

Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Tuhan tidak perlu dibela walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan”.

Sumber: kompas.id

Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel, Surabaya.