Social Media

Gus Dur di Hati Para Pekerja Migran

Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak mengirimkan pekerja migran atau tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Tak sedikit dari mereka adalah tenaga kerja wanita yang kerap mendapat penindasan dan perlakuan tidak adil. Bagi sebagian orang, bekerja di luar negeri merupakan keniscayaan ketika di dalam negeri tidak bisa memberikan pekerjaan, tidak banyak kesempatan kerja, atau secara upah tidak menjanjikan.

Problematika para pekerja migran dari dulu menjadi perhatian KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, terutama ketika negara-negara Arab menjadi tujuan mereka bekerja. Agaknya tradisi budak masih melekat dalam diri masyarakat Arab sehingga terkadang perlakuan mereka kepada pekerja migran bukan sebagai orang yang dipekerjakan, tetapi seolah sebagai budak yang bisa diperlakukan sewenang-wenang.

Melihat nasib TKI di negara-negara Arab, tepatnya di kawasan Teluk, bukan hanya Arab Saudi, tetapi Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, dan lain-lain, Gus Dur pada 2004 pernah memberikan pertimbangan kepada pemerintah agar sementara menyetop pengiriman TKI ke kawasan tersebut.

Namun, masukan Gus Dur bukan tanpa pemberian solusi. Dalam salah satu tulisannya di Harian Sinar Harapan edisi 8 Juni 2004 berjudul “Melihat Nasib TKI di Arab”, Gus Dur mengatakan bahwa para pekerja migran harus dibekali keterampilan atau skill sebelum diberangkatkan ke tempat tujuan bekerja.

Namun hal itu tidak cukup menurut Gus Dur, para TKI juga harus terdidik secara formal untuk kerja-kerja yang mereka lakukan. Hal lain yang perlu menjadi perhatian utama adalah perlindungan hukum bagi para TKI yang semakin lama semakin baik agar hak-hak asasi manusia (HAM) mereka terjaga dengan baik.

Atas perhatiannya terhadap nasib para pekerja migran tersebut, Gus Dur merupakan sosok yang dekat dengan mereka dan keluarganya. Anis Hidayah dalam buku Gus! Skets Seorang Guru Bangsa (2017) mengungkapkan bahwa dalam beberapa kali pertemuan dengan Gus Dur, keluarga pekerja migran masih sering memanggil Gus Dur dengan sebutan ‘Presiden’.

Meskipun Gus Dur sudah menegaskan bahwa dirinya bukan lagi presiden, tetapi bagi para keluarga pekerja migran, Gus Dur tetap presiden meskipun tanpa istana. Dalam beberapa kali kunjungan ke daerah-daerah yang menjadi basis pekerja migran, Anis Hidayah yang merupakan aktivis Migrant Care menemukan poster Gus Dur tetap terpasang sebagai presiden di rumah mereka.

Kedekatan Gus Dur dengan pekerja migran dan anggota keluarganya menjadi bukti nyata empati dan kepeduliannya terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertindas (mustadh’afin). Setidaknya, itu terbukti ketika terjadi deportasi massal di Malaysia pada tahun 2005. Gus Dur dan keluarganya dengan sangat terbuka menerima dan menampung para pekerja migran yang menjadi korban deportasi dan tidak digaji.

Mereka ditampung di Pesantren Ciganjur yang didirikannya meskipun dari daerah yang berbeda. Bahkan kepada mereka yang non-Muslim pun, Gus Dur memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Gus Dur memprotes keras kebijakan Pemerintah Malaysia yang dianggap sering merugikan kepentingan buruh migran. Ini ironis, mengingat Malaysia negara serumpun dengan Indonesia tetapi perlakuan Malaysia kerap merugikan pekerja migran.

Bagi pekerja migran Indonesia, Gus Dur juga memiliki kepedulian terhadap nasib mereka yang teraniaya. Anis Hidayah juga mencatat, Gus Dur adalah Presiden Indonesia pertama yang melakukan diplomasi tingkat tinggi antarkepala negara untuk melindungi warga negaranya dari ancaman hukuman mati. Model diplomasi tersebut belum pernah dilakukan presiden sebelum dan sesudah Gus Dur.

Sumber: nu.or.id

Redaktur NU Online.