Mari kita berbicara agak berat tentang penyair perlawanan Palestina yang karyanya cukup banyak diminati masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia. Dia adalah Mahmoud Darwish yang lahir pada 13 Maret 1941 di Al-Birwah. Al-Birwah adalah nama sebuah desa yang berjarak kurang lebih 10 KM terletak di sebelah timur Kota Akka dan desa ini menjadi salah satu desa yang dihancurkan Zionis Israel pada tahun 1948.
Mahmoud Darwish merupakan anak kedua dari pasangan Salim Darwish dan Huriyyah Darwish, keluarga muslim sunni yang merupakan warga asli dan pemilik tanah di Desa Al-Birwah, Palestina. Mahmoud Darwish mengatakan, “Saya adalah salah seorang anak dari keluarga sederhana yang hidup dari hasil pertanian.” Warga desa ini adalah salah satu warga-warga desa lain yang terpaksa keluar dari tanah airnya akibat serangan Israel.
Darwish sejak awal kepengarangannya, telah melahirkan puisi yang dapat menggugah dan membangkitkan jiwa patriotisme bangsa Palestina. Puisi-puisinya menyebutkan nama Palestina dan nama kota secara eksplisit, mengemukakan peristiwa-peristiwa di Palestina, budaya Palestina, dan seruan untuk perjuangan kemerdekaan Palestina.
Puisi-puisi Mahmoud Darwish selanjutnya mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Palestina. Yang pertama adalah hilangnya hak bangsa Palestina akan negerinya sebagaimana dikatakan Ma qimatu al-insani bila watanin bila alamin ‘Apa harga manusia tanpa tanah air tanpa bendera’. Peristiwa lainnya adalah terusirnya bangsa Palestina dari negerinya dan keberadaan mereka di pengungsian seperti dalam puisi “Risalatun min al-Manfa”, ‘Surat dari Pengasingan’ yang dalam salah satu barisnya tertulis Sami’tu fi al-mizya’i tahiyyata al-musyarridina li al-musyarridina ‘Aku mendengar di radio, salam dari orang-orang yang terusir untuk orang-orang yang terusir’.
Peristiwa selanjutnya adalah peristiwa hilangnya anggota keluarga sebagaimana diceritakan dalam baris yahkuna fi biladina, yahkuna fi syajan, an sahibi allazi mada wa ada fi kafan ‘Mereka bercerita di negeriku, bercerita kesedihan tentang temanku yang pergi dan kembali dalam kafan. Puisi perlawanan atau syi’ru al-muqawamah merupakan bagian dari adab al-muqawamah yang mengandung pengertian sebagai an-nidalu asy-syi’riyyu ‘perjuangan melalui puisi’ dan bukan syi’ru an-nidali ‘puisi perjuangan’.
Yang pertama berarti perjuangan yang dilakukan melalui puisi, sedangkan yang kedua berarti puisi yang bermuatan sebuah perjuangan. Perbedaannya adalah pada titik pandangnya, yaitu yang pertama adalah perjuangan, sedangkan yang kedua adalah puisinya. Para penyair Palestina menulis puisi sebagai instrumen perjuangan, yaitu untuk membangkitkan jiwa perlawanan bangsa Palestina untuk memperjuangkan kemerdekaannya dan kemerdekaan tanah airnya dari penjajahan Israel, serta mengembalikan kehidupan damai di bumi Palestina.
Mahmoud Darwish sebagai salah satu penyair sastra perlawanan menyatakan bahwa adab al-muqawamah ‘sastra perlawanan’ digunakan untuk menolak ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, baik yang mengenai rohani maupun jasmani. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan dan didiamkan, tetapi harus dilawan yang salah satu alat perlawanannya adalah “kata-kata dalam puisi yang harus ditulis dengan seluruh perasaan agar dapat membangkitkan semangat di hati pembacanya dan membangkitkan daya juangnya.”
Sebagai penyair Arab-Palestina yang memproduksi karya dalam lingkup wilayah dan budaya Palestina, lahir di Palestina, hidup sebagai bangsa Palestina, dan secara psikologis merasakan seperti yang dirasakan masyarakat Palestina pada umumnya, Mahmoud Darwish mengetahui betul keadaan bangsa Palestina setelah pendudukan Israel yang melahirkan kehidupan sulit di Palestina, juga memunculkan kantung-kantung pengungsian di wilayah-wilayah luar Palestina seperti Libanon, Suriah, Yordania, bahkan Mesir.
Perjuangan Darwish itu memiliki maksud untuk melawan kaum zionis sebagai bentuk rasa nasionalismenya terhadap negara Palestina. Perlawanan yang ditunjukkan Mahmoud Darwish yaitu melalui puisi-puisinya yang banyak mempengaruhi pola pikir dan gerakan orang-orang Palestina. Konsep puisi perlawanan Mahmoud Darwish sendiri terbentuk melalui sistem tanda dan kode sugestif yang dapat digunakan dalam situasi dan tujuan yang berbeda.
Konsep perlawanan ini menjadi salah satu progres kreatif dan budaya di dalamnya menjadi salah satu nilai kemanusiaan yang absolut, terutama di kawasan bangsa Arab yang sejarah kontemporernya berusaha mencapai keterikatan melalui interaksi nilai-nilai identitas, modernitas, dan kebebasan.
Mahmoud Darwish merupakan sosok yang membangkitkan rasa revolusioner bangsa Palestina untuk menentang upaya Israel yang menjajah Palestina dari tanah kelahiran dan kebangsaan mereka. Darwish yang mengemas puisinya yang berhubungan dengan metaforis yang menunjukkan rasa perlawanan. Lebih jauh lagi, wacana puitis Darwish dan bahasa visionernya jelas memainkan peran penting dalam menyebarluaskan, juga menguatkan rasa perlawanan di antara rakyat Palestina, terlebih untuk mempertahankan perlawanan mereka terhadap pendudukan dan perampasan kolonial Israel. Dengan penuh semangat, ia mengungkapkan dalam puisinya yang berjudul Sekarang di Pengasingan:
Bergeraklah tanpa tergesa, kehidupan. Hingga aku bisa melihatmu
berikut semua kehilangan yang kualami. Betapa aku
telah melupakanmu
pada tiap persilangan jalan yang mencariku juga dirimu.
Kapan pun
kurenggut satu dari rahasiamu, kau akan tegas berkata:
Alangkah bodohnya dirimu!
Katakan pada mereka di kejauhan: Kau sudutkan aku.
Aku di sini untuk melengkapimu!
Bahasa puitis Darwish telah mengilhami soliditas dan harapan bangsa Palestina. Hal tersebut merupakan alat yang berpengaruh untuk memprovokasi perlawanan dan membangkitkan perasaan marah untuk memberontak penjajah Israel. Seperti yang kita ketahui bahwa peran puisi dalam perjuangan pembebasan itu sendiri telah menjadi sesuatu hal yang sangat penting, baik sebagai kekuatan untuk memobilisasi respons kolektif terhadap pendudukan yang mendominasi serta sebagai gudang memori dan kesadaran populer.
Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa puisi-puisi Darwish memiliki peranan yang sangat signifikan dalam perkembangan sastra muqawamah di Palestina melalui puisi-puisinya, Darwish menyiratkan makna tertentu yang menjadi sarana untuk memilihkan, memperluas, dan mengabadikan ingatan nasional secara kolektif. Selain itu, puisi Darwish juga dijadikan sebagai pertempuran melawan ketidakpedulian dan perjuangan untuk merekontruksi ingatan tentang tanah airnya, mencerminkan keinginan komunal untuk kebebasan mencerminkan perasaan orang-orang Palestina yang berakar dan memimpikan sebuah identitas.
Wallahu a’lam.
Sumber: islami.co