Social Media

Jangan Biarkan Bissu Menari Sendiri

Dalam beberapa waktu terakhir bissu, salah satu entitas gender di antara lima yang diakui di Bugis-Makassar, mendapat tekanan dan stigma yang luar biasa. Dalam perayaan hari jadi Bone ke-691, para bissu tidak lagi turut serta. Ia mundur, atau barangkali lebih tepat disebut, ‘dimundurkan dari event’. Ruang-ruang mereka terus dibatasi. Event-event mereka dibubarkan. Pada perayaan hari kemerdekaan di beberapa tempat, para calabai (juga bissu) tidak diperbolehkan ikut ambil bagian. Pasukan gerak jalan calabai yang biasanya dinanti khalayak karena menjadi tontonan paling menghibur, tidak diperbolehkan tampil.

Entah mengapa demikian? Bukankah bissu adalah bagian dari kebudayaan Bugis? Salah satu yang penting malah. Mereka disebut-sebut dalam I La Galigo, serta telah lama hadir dalam relung kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Bugis-Makassar.

Persoalannya, mungkin, karena kita salah mengenali mereka. Isu LGBT yang dihembuskan sekarang boleh jadi menggiring pemahaman kita bahwa calabai dan juga termasuk bissu hanyalah soal hubungan sesama jenis semata. Kalau itu persoalannya, maka kita harus memeriksa kembali kronik lokal yang bicara tentang calabai dan bissu. Di sana kita tidak akan temukan perbincangan calabai dan apalagi bissu yang hanya berputar dalam soal hubungan sesama jenis.

Dalam I La Galigo, bissu adalah orang yang menyertai turunnya Batara Guru dan tokoh lainnya ke dunia tengah. Ia menjadi salah satu penanda awal munculnya peradaban di dunia tengah. Para bissu adalah penyambung spiritual dalam berbagai ritual masyarakat Bugis. Posisi bissu yang menghimpun identitas uruwane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calabai (lelaki berjiwa dan bergaya perempuan), dan calalai (perempuan berjiwa dan bergaya laki-laki) adalah anugerah untuk memaksimalkan pengabdian pada Tuhan dan kemanusiaan.

Namun benarkah soalnya hanya karena isu LGBT yang memang problematik itu? Saya kira tidak juga. Problem yang dialami oleh bissu akhir-akhir ini lamat-lamat juga memberi satu pesan, bahwa purifikasi agama mulai lagi menyeruak ke permukaan. Dari beberapa keterangan bissu, keberadaan mereka dalam berbagai acara kebudayaan di Sulawesi Selatan sudah semakin sering dipermasalahkan. Komitmen bissu selama ini untuk menjaga tradisi I La Galigo dianggap hanya menyuburkan perbuatan khurafat. Sementara status bissu sebagai calabai (waria), membuat beberapa pejabat tak sudi hadir jika mereka tampil. Calabai dianggap adalah kenistaan yang terlarang dalam agama.

Munculnya gejala semacam itu sebenarnya bukan hal yang baru. Kehadiran bissu sudah sejak lama dipermasalahkan atas nama pemurnian agama. Tetapi di sisi yang lain, menguatnya tekanan pada bissu sekaligus juga menjadi alarm, bahwa bentuk-bentuk perlawanan simbolik bissu selama ini tidak pernah betul-betul mengubah struktur dominan dalam masyarakat

Jika kita balik ke belakang, maka kasus penyingkiran para bissu atas nama agama sudah muncul sejak abad ke-16 & ke-17, tepat ketika agama langit mempengaruhi struktur beragama masyarakat Bugis. Saat itu tradisi I La Galigo yang dirawat oleh para bissu pelan-pelan mulai tersingkir. Para bissu yang menjadi aktor utama dalam tradisi I La Galigo juga dipinggirkan. Status gender para bissu yang liminal, antara maskulinitas dan femininitas tidak mendapat tempat dalam agama langit.

Pemberontakan DI/TII pada tahun 1950-1960-an adalah peristiwa penyingkiran para bissu yang lebih keras. Mereka diburu. Seluruh perlengkapan ritual dihancurkan, gendang pertunjukan berhenti ditabuh dan mistiknya tari maggirik lenyap dalam persembunyian. Beberapa dari bissu bahkan menemui ajal, dibunuh para gerombolan DI/TII. Belum betul-betul hilang jejak kekerasan pertama, muncul lagi operasi mappatoba. Pemerintah Orde Baru melalui tangan militernya merasa perlu memastikan semua warga negaranya Pancasilais (tentu dalam tafsir tunggal pemerintah). Mereka harus jelas agamanya, jika tidak ingin dianggap punya afiliasi dengan komunis. Perilaku beragama yang masih berbaur dengan tradisi dan kepercayaan lokal harus disingkirkan.

Setelah dua peristiwa kekerasan itu, bissu sejatinya masih terus-menerus disisihkan dari kehidupan masyarakat. Agama melalui institusi atau organisasi tertentu menjalankan misi purifikasi. Dengan slogan takhayul, bidah, dan khurafat, komunitas bissu dihempaskan serupa dengan orang-orang musyrik.

Saya perlu menggarisbawahi, pada hakikatnya agama tentu saja memiliki nilai humanis. Agama sejatinya tidak gampang menistakan, menakut-nakuti, dan menyingkirkan kelompok tertentu atas nama apa pun. Tetapi ketika agama direbut oleh asosiasi atau diambil alih oleh institusi, maka sangat mungkin menjadi menakutkan, mengancam, memaksakan, dan meminta ketundukan. Institusi adalah ‘great intimidators’, begitu kurang lebih istilah Antoinette Fouque, seorang psikolog dari Prancis.

Namun para pemerhati kebudayaan, khususnya yang beraliran cultural studies, percaya, semua orang dan setiap komunitas memiliki kreativitas untuk melawan. Kapan dan di mana pun terjadi dominasi, selalu akan ada perlawanan di sana. Itu karena, seturut kata Foucault, kuasa sejatinya tersebar, tidak terpusat dan juga tidak dimiliki. Kekuasaan terdapat dalam relasi, bukan pada institusi tertentu. Karena itu jika dalam satu hubungan ada kelompok yang mendominasi, maka pada saat yang sama, komunitas lainnya akan meresistensi atau setidaknya menegosiasi.

Demikianlah yang kita yakini dengan komunitas bissu, mereka punya cara dan strategi kebudayaan untuk menegosiasi dominasi itu. Melalui perlawanan simbolik, meminjam istilah John Fiske, bissu kita anggap berhasil melucuti dominasi tersebut. Para bissu bernegosiasi dengan agama dengan menampilkan diri mereka lebih alim. Dalam pertunjukkan, para bissu, misalnya, mulai menampilkan busana yang berbeda. Yang tadinya hanya memakai pakaian putri kerajaan, kini sesekali mentas dengan busana putih-putih, berkopiah, dan pakai serban. Selain itu, beberapa bissu melegitimasi kesalehan dengan naik haji, menyempurnakan rukun Islam kelima.

Dalam peristiwa itu, para bissu memang terkesan meniru dan akhirnya takluk mengikuti keinginan agama, tetapi jika mengikuti pandangan John Fiske tadi, sebenarnya di saat yang sama bissu sedang melucuti sumber otoritatif dalam agama. Para bisu memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang alim dan saleh, tetapi sekaligus tetap melaksanakan ritual adat, yang jika ditilik dari kacamata kaum puritan, masih tetap berbau khurafat, takhayul, dan bidah. Bukankah di sinilah terlihat sisi yang mengusik itu? Tampil alim tetapi tetap konsisten menggelar ritual yang dipandang khurafat (dalam kacamata kaum puritan).

Dengan perlawanan simbolik dan tersamar (hidden transcript), kita pun meyakini bahwa negosiasi tetap terjadi, sehari-hari dan terus berlangsung, sebagaimana James C. Scot katakan, “Every day form of resistance.”  Dan pada saat itulah kita yakin bahwa bissu tidaklah hilang di tengah dominasi kaum agamawan puritan.

Benarkah demikian? Sekali lagi, beberapa kasus yang terjadi yang mulai menyisihkan bissu dalam semua perayaan kebudayaan, menjadi bunyi lonceng, bahwa struktur dominasi dalam relasi bissu dengan kelompok agama tidaklah berubah. Bissu atau komunitas adat tidak pernah persis berada dalam posisi setara dengan kalangan agamawan. Selamanya mereka tetaplah ada dalam lapisan struktur yang tertindas. Pada waktu tertentu puritanisasi agama tetap datang mengancam dan menagih ketundukan. Apalagi saat ini, puritanisasi tersebut tidak hanya bergerak di level kultural, tetapi juga mulai menghunjam dari atas, dari level struktural. Dalam situasi semacam itu, siapa yang bisa menjamin bahwa  pemerintah tidak akan pernah mengeluarkan kebijakan yang melarang keberadaan para bissu?

Peristiwa ini mengingatkan kita pada sebuah karya etnografi Paul Willis, “Learning to Labour” (1977). Ia mengamati anak-anak dari para kelas pekerja (buruh) di sekolah. Dominan mereka menunjukkan budaya yang berbeda dari anak-anak kaum kelas menengah atas. Mereka senang berbuat onar, menantang norma sekolah, tidak tertib, dan anti kerapian. Perilaku itu seakan simbol yang menantang budaya kelas mapan. Tetapi rupanya, demikian Willis, hal itu tidak mengubah apa-apa. Para kelas menengah dan borjuis tetap menguasai struktur sosial. Anak-anak dengan segala tindakannya; berbuat onar, tidak tertib, dan seterusnya, seperti hanya sedang berlatih untuk nantinya bisa terjun sebagai kaum buruh.

Apa dengan demikian saya mengingkari efektivitas perlawanan simbolik bissu, yang sebelumnya saya puja? Tentu saja tidak. Saya tetap pada pandangan semula. Hanya saja perlawanan simbolik tersebut mungkin hanya dibutuhkan dalam konteks tertentu, tetapi tidak dalam totalitas. Karena itu, perlawanan tidak boleh tunggal. Saya setuju dengan Hari Juliawan, bahwa perlawanan bisa mengambil berbagai bentuk, sebagaimana kekuasaan yang dilawan juga bisa berwujud macam-macam. 

Selanjutnya, karena perlawanan tidak bisa tunggal, maka strategi perlawanan itu juga tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada para bissu itu sendiri. Tidak bisa, dengan meyakini bissu memiliki perlawanan simbolik terhadap dominasi, lantas menganggap bissu bisa melewati jalan rumpil itu sendirian. Para kaum pemerhati budaya, aktivis, dan agamawan yang moderat, harus terlibat dan turut serta dalam membangun strategi yang bermacam-macam. Jangan biarkan bissu menari sendiri. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri di jalan terjal dan rumpil. Mari mengingat dan belajar dari slogan para fans club sepak bola Liverpool: “you’ll never walk alone.”

GUSDURian. Ketua LTN NU Sulawesi Selatan.