Social Media

Jumud

Salah satu film yang tak jemu saya tonton adalah Sister Act yang dibintangi komedian terkemuka Whoopi Goldberg. Film ini selalu membuat saya berefleksi tentang tujuan hidup beragama dan bagaimana lembaga dan pemuka agama mendakwahkan ajaran agama kepada masyarakat.

Dalam film lawas ini, gereja yang sepi hampir tidak berpengunjung di kawasan kumuh San Francisco tiba-tiba berubah menjadi ramai dan menyentuh orang-orang yang tidak pernah terjamah sebelumnya, seperti anak-anak muda, remaja punk, dan mereka yang hidupnya dianggap jauh dari kesalehan ritual gereja.

Semuanya itu diakibatkan oleh hadirnya seorang titipan polisi, saksi kunci sebuah kasus, yang mendorong paduan suara suster gereja untuk membawakan lagu pujian dengan cara yang berbeda: riang membahana ala panggung pertunjukan, dan justru karena itu mengundang siapa saja untuk turut serta dalam keriangan pujian.

Dikisahkan, Suster Kepala menentang gerakan yang dipimpin si pendatang Deloris/Sr Mary Clarence (Goldberg). Ia menganggap gaya baru ini merendahkan gereja. Apalagi setelah keberatannya diabaikan Monsinyur dan pengaruh Deloris terus membesar, Suster Kepala merasa otoritasnya diremehkan.

Ia sempat mutung dan ingin mundur karena merasa tak dibutuhkan. Penolakan ini menggambarkan bagaimana para pemuka agama sering kali terperangkap dalam dogma dan ritual yang bersifat jumud, sampai-sampai melupakan tujuan beragama itu sendiri. Fenomena yang sangat sering kita lihat saat ini di Indonesia.

Pesan serupa datang melalui sebuah lelucon yang kerap dilontarkan Gus Dur. Syahdan di depan pintu surga, para pemuka agama menunggu lama, tetapi pintu tak kunjung terbuka. Muncullah seorang dengan penampilan lusuh dan terseok-seok, dan mendadak pintu surga terbuka. Malaikat menyambut si Lusuh dan mempersilakannya masuk ke surga. Para pemuka agama yang telah lelah menunggu pun tak terima dan protes kepada malaikat.

”Kami ini di dunia sangat dihormati karena kami yang memuliakan Kalimat Tuhan, merawat umat, dan tugas-tugas pelayanan lainnya. Kami adalah wakil Tuhan di Bumi. Bagaimana mungkin kami dibiarkan menunggu selama ini, tetapi si Lusuh tadi disegerakan masuk surga?” protes para pemuka agama.

Malaikat pun menjawab, ”Memang Yang Mulia semua melayani umat. Namun, saat Yang Mulia membawakan Kalimat Tuhan ke hadapan umat, mengapa banyak umat yang tertidur atau tak tergerak hatinya? Bahkan antara Yang Mulia sering berlomba meninggikan diri sendiri dan merasa paling dekat dengan Tuhan. Orang berpenampilan lusuh tadi justru setiap hari membuat ratusan orang mengingat Tuhan, tergerak hatinya untuk menyadari hal-hal penting dalam hidupnya.”

”Siapa dia?” para pemuka agama keheranan.

”Dia sopir bus umum di Indonesia. Saat dia menyopir busnya, para penumpang akan ingat Tuhan, ingat hidupnya, dan menyerahkan dirinya secara total dalam Kehendak Tuhan.”

Ah ya, sopir bus umum Indonesia yang keberaniannya menyetir dengan ugal-ugalan melebihi para pahlawan Marvel di film-film Hollywood.

Di tangannya, para penumpang bus ingat mati, ingat keluarga, ingat utang, dan mendekatkan dirinya kepada Tuhan demi memohon keselamatan. Dan, karena itu, ia diganjar masuk surga walau barangkali hidupnya di dunia jauh dari penghormatan publik, jauh dari kesalehan ritual, apalagi berniat menyelamatkan kesalehan umat. Sementara para pemuka agama justru dipandang tidak menjalankan perannya dengan baik sebagai guru yang membimbing umat.

Kisah ini tentu hanya kisah humor rekaan Gus Dur belaka. Ia ingin mengingatkan kita (dan utamanya para pemuka agama) untuk dapat melepaskan diri dari kejumudan bersikap dan berpikir tentang esensi hidup beragama.

Semestinya, ajaran agama mendekatkan diri pengikutnya kepada nilai-nilai kebajikan yang dititahkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Semestinya, ajaran agama menjelma menjadi sumbu nilai dan pandangan kehidupan para pengikutnya. Semestinya, ajaran agama membawa umat untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Tak dapat dimungkiri, kita masih menemukan para pemuka agama dan para guru agama yang terjebak dalam kejumudan sebagaimana Suster Kepala di film Sister Act. Masih banyak guru agama yang terfokus pada pengajaran ritual agama sehingga murid-muridnya tidak mampu menangkap esensi ajaran agama. Masih banyak pemuka agama yang mendorong kesalehan ritual belaka dan menomorsekiankan transmisi nilai-nilai kebajikan terutama untuk hidup bersama (kesalehan sosial).

Akibatnya, kita melihat pendangkalan ajaran agama yang berujung salah satunya pada ketidakmampuan umat agama untuk membangun kehidupan bersama yang penuh kemaslahatan di Bumi yang semakin renta ini.

Sungguh sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia, yang 95% penduduknya menganggap agama menjadi bagian sangat penting dalam kehidupan mereka (menurut Pew Research, 2015). Agaknya kita membutuhkan lebih banyak sosok-sosok seperti Deloris dan si Lusuh sopir bus umum untuk mengingatkan para pemuka agama kita.

(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 3 Februari 2019)

Sumber: kompas.id

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.