Social Media

Menggerakkan Masyarakat Memperkuat Indonesia

Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

Salam sejahtera untuk saudara-saudariku sebangsa dan setanah air, dan sebangsa GUSDURian. Yang saya cintai ibunda saya, ibunda kita semua, ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Yang saya hormati para tokoh agama, para tokoh masyarakat yang hadir mengikuti acara TUNAS 2020 ini dan juga para sahabat-sahabat almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita kenal dengan hangat dengan sebutan Gus Dur. Panutan kita semua. Dan yang saya cintai teman-teman GUSDURian di seluruh penjuru mata angin. Saya tahu teman-teman saat ini hadir dari timur, utara, selatan, tenggara, barat laut, barat daya, timur laut, semuanya ada karena GUSDURian ada di mana-mana.

Sebelas tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 30 Desember 2009, saat almaghfurlah Gus Dur berpulang, saya dan keluarga saya (keluarga Ciganjur) bukanlah satu-satunya yang bersimbah air mata; jutaan hati ikut menangis bersama kami. Bahkan keesokan harinya pada hari terakhir 2009 itu, begitu besar limpahan cinta yang ikut mengantarkan beliau menuju kediaman terakhirnya. Saat itu saya baru memahami ungkapan yang pernah saya baca “the only thing that works back from the through with the ….. and rescue is to be buried is the character of this is true what the man is .. Kira-kira dalam bahasa Indonesianya gini, “Satu-satunya hal yang tidak ikut terkubur bersama jasad seseorang dan ikut kembali pulang bersama para peziarah adalah karakter seseorang”.

Sesungguhnya bagaimana seseorang itu karakternya, wataknya, keutuhan dirinya bisa melampaui usia biologis. Dan beribu-ribu hari setelah pemakaman itu, sampai hari ini kita bisa merasakan dan menyaksikan bahwa pada hari itu yang dikubur memang hanya jasad, tapi semangatnya, pribadinya, pemikirannya, perjuangannya masih hidup di tengah kita. Bukan hanya di tengah GUSDURian atau di tengah ribuan peziarah yang setiap hari mengirimkan doa untuk beliau di pemakaman, tetapi hidup di tengah masyarakat dan bangsa Indonesia.

Beberapa hari terakhir ini saja, kita banyak menengok kembali apa yang beliau sampaikan, ketika Kementerian Sosial kembali menorehkan kasus korupsi yang sangat besar. Apa yang disampaikan Gus Dur kepada kita pada tahun 1999 sekarang kembali menjadi relevan. Apa yang menjadi pemikiran beliau, apa yang menjadi perjuangan beliau, bahkan diri beliau itu masih tetap relevan untuk kehidupan kita saat ini, melampaui kehadiran fisik beliau. Kita tidak pernah sempat untuk melupakan beliau, setiap kali ada apa-apa dalam perjalanan bangsa ini kita sering teringat lagi pada beliau. Apalagi kita-kita ini murid-muridnya, orang-orang yang mendaku sebagai penerus perjuangan Gus Dur. Malam ini adalah malam yang istimewa bagi kita-kita, untuk orang-orang yang mendaku, mengikuti, menapaki jejak perjuangan Gus Dur ini.

Dua setengah tahun lalu terakhir kita bertemu dan tadi Mas Jay sudah menyampaikan keingingan untuk kembali berkumpul seperti dulu itu begitu kuat. Bahkan ketika kita membicarakan bahwa pertemuan ini akan dilaksanakan secara online saja, teman-teman di beberapa kota menginginkan untuk berkumpul bareng. Dan berlawanan dengan niat kita untuk menyelenggarakan pertemuan secara online ini. Saya memahami itu. Saya memahami bahwa untuk kita-kita yang selalu berada di tengah masyarakat, yang selalu menghadapi tantangan hari demi hari, yang masih harus melihat ketidakadilan, penindasan, pelemahan rakyat, pelemahan demokrasi, pelemahan kehidupan kita berbangsa dan bernegara, kadang-kadang kita ingin mengambil kembali semangat itu, memperkuat diri kita bersama. Karena barangkali itu satu-satunya yang bisa menjadi modal kita saat ini sebagai Jaringan GUSDURian.

Saya tahu persis bahwa teman-teman penggerak Jaringan GUSDURian di Indonesia ini, menyadari betul bahwa Jaringan GUSDURian tidak bisa memberikan apa-apa kepada teman-teman. Jaringan GUSDURian tidak bisa memberikan reward finansial; yang ada tekor. Jaringan GUSDURian juga tidak bisa memberikan jabatan yang itu membuat orang lebih berpangkat, harus memakai baju yang lebih parlente, harus berpenampilan lebih parlente. Jaringan GUSDURian tidak bisa memberikan kekuasaan kepada teman-teman.

Saya paham betul teman-teman menyadarinya, dan saya paham betul bahwa kadang-kadang kita merasa lelah pada saat sendiri di ruang-ruang perjuangan kita, di ruang-ruang di masing -masing komunitas kita. Kadang-kadang kita merasa kecil, kadang-kadang kita merasa “ada gunanya tidak sih ini?” Kadang-kadang kita merasa sendirian.

Dan saya paham bahwa pertemuan nasional Jaringan GUSDURian selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu, karena di sinilah kita menambang semangat, menambang cinta, menambang pemahaman baru atas berbagai hal. Dan memperkuat hati, merevitalisasi lagi, menyegarkan kembali semangat perjuangan kita.

Saya paham dan saya berterima kasih kepada teman-teman yang malam hari ini akhirnya mengikhlaskan bahwa pertemuan kita sekarang hanya bisa dilakukan secara online, secara daring. Belum saatnya kita untuk berkumpul bersama. Tetapi seperti tadi juga disampaikan Mas Jay, “Mungkin memang dengan cara ini justru kita bisa berkumpul dengan lebih banyak orang, dengan lebih banyak kawan, kawan-kawan dari GUSDURian Thailand, dari Kuala Lumpur, dari negara-negara yang lain, mereka bisa bergabung bersama kita dan mereka bisa ikut mengambil, menambang, menggali, dan menyegarkan bersama-sama kita. Selalu ada hal baik di setiap keterbatasan dan kelemahan.”

Jadi malam ini memang malam yang sangat istimewa bagi kita semua karena ini adalah cara baru untuk kita berkumpul. Dan mungkin nanti-nantinya cara (pertemuan virtual) ini akan terus kita gunakan bukan untuk Temu Nasional Penggerak Jaringan GUSDURian tapi untuk berbagai acara yang lain. Karena jaringan GUSDURian ini dengan ribuan orang di berbagai tempat, satu-satunya cara untuk terhubung adalah dengan cara-cara yang melampaui kedekatan fisik. Seth Godin, seorang ahli fenomenologi atau seorang terminologis dan seorang agen pemasaran, menulis sebuah buku judulnya Tribes. Dia mengatakan bahwa di masa teknologi informasi di masa globalisasi seperti ini suku di dunia ini sudah tidak lagi diidentifikasi dari lokasi geografis di mana dia tinggal atau dari aliran darah yang dimilikinya, tetapi dari denyut ideologi dan kesamaan minat.

Di masa sekarang orang Jawa bisa kita temukan di Nigeria, orang Arab bisa ditemukan di Puncak, orang Eskimo bisa saja kita temukan di Yogyakarta, dan orang Batak bisa kita temukan di Selandia Baru atau di Tanjung Harapan atau di mana pun. Kenapa? Karena dunia sudah menjadi sangat beragam. Karena itu suku tidak lagi terbentuk dari kesamaan darah atau kesamaan nasab atau kesamaan lokasi tempat tinggal. Di suku yang baru, di zaman global ini, suku dibentuk oleh kesamaan ideologi, kesamaan nilai-nilai dan kesamaan minat.

Dan sepuluh tahun ini para GUSDURian dari penjuru mata angin telah membuktikan diri sebagai sebuah suku yang solid, sebuah suku yang sinergis, sebuah suku yang tak letih berjuang untuk idealismenya.

Mungkin suatu ketika nanti kita juga bisa menjadi bangsa, tapi tentu tidak sekarang. Saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu ketika nanti bahwa saya akan berdiri bersama ribuan GUSDURian, menerima penghargaan-penghargaan yang tadi disebutkan oleh Mas Jay.

Saya tidak pernah menyangka bahwa GUSDURian suatu saat akan menerima penghargaan di Taiwan Foundation for Democracy Human Right Award, penghargaan bergengsi Hak Asasi Manusia se-Asia pada tahun 2018 dari sebuah organisasi yang sangat dihormati dalam isu Demokrasi dan HAM se-Asia, yaitu Taiwan Foundation for Democracy.

Saya juga tidak pernah menyangka bahwa GUSDURian akan menjadi salah satu penerima anugerah Revolusi Mental. Sampai sekarang kita saja masih bingung apa yang dimaksud dengan Revolusi Mental di Indonesia. Maka ketika GUSDURian terpilih menjadi salah satu penerima anugerah Revolusi Mental ini betul-betul kita sadari bahwa GUSDURian tidak bergerak karena ingin menerima penghargaan. Bahkan yang terakhir tadi Mas Jay menyebutkan bahwa saya menerima penghargaan People of the Year 2020 dari Metro TV, sesungguhnya penghargaan itu adalah penghargaan untuk Jaringan GUSDURian. Saya hanya pendirinya bersama para senior GUSDURian yang lain. Memang yang disebut dalam people of the year adalah pendiri gerakan ini, tetapi saya tidak mungkin menerima penghargaan itu kalau tidak karena kerja-kerja teman-teman Jaringan GUSDURian.

Siapa yang menyangka bahwa tahun 2020 ini, GUSDURian menjadi The Best Social Media Movement. Kita melakukan kerja-kerja kita bukan untuk mendapatkan penghargaan. Beberapa hari lalu saya ditanya di media sosial, “Apa resepnya GUSDURian bisa mendapatkan penghargaan ini?”, saya menjawab, “Resep kami adalah bekerja tanpa memikirkan penghargaan.” Sebab kita tidak bekerja untuk mendapatkan penghargaan ini. GUSDURian tidak bekerja untuk mendapatkan kekuasaan, GUSDURian tidak bekerja untuk mendapatkan penghargaan finansial. Kami bekerja, kita bekerja untuk cita-cita bersama dan demi cita-cita itu dengan sebuah jaringan yang semakin lama semakin besar.

Ya baru tahu beberapa waktu lalu kalau saat ini sudah ada 140 komunitas GUSDURian. Perkembangan yang sungguh luar biasa. Satu-satunya kesedihan saya adalah karena saya belum bisa hadir di setiap komunitas tersebut. Saya ingin bertemu dengan setiap komunitas tersebut. Saya ingin menjahit teman-teman komunitas ini menjadi sebuah selimut cita untuk bangsa Indonesia. Saya ingin kita bisa bersama merumuskan langkah-langkah kita. Tapi apa daya Covid-19 membuat kita semua harus bersabar. Tidak apa-apa, karena kita masih punya banyak cara untuk memperkuat gerakan kita. Kita masih punya banyak cara untuk memperteguh apa yang kita lakukan. Dalam kondisi pandemi Covid-19, Jaringan GUSDURian Indonesia bersama GUSDURian Peduli sudah membuktikan bahwa kita tidak berhenti berhikmat, kita berhenti melayani.

Perjalanan kita selama 10 tahun ini dalam Jaringan GUSDURian yang telah kita lalui bersama-sama, kita telah membuktikan bahwa kita bisa bergerak bersama-sama, kita bisa menjaga cita-cita kita bersama-sama, kita bisa menjaga komitmen kita, tekad kita, keteguhan diri kita.

Jaringan GUSDURian bukan jaringan untuk mencari kekuasaan, apalagi untuk mendapatkan uang di duniawi yang semu. Kita bukan kelompok yang begitu mengidolakan Gus Dur sampai kita menyembah baliho Gus Dur. Kita juga bukan kelompok yang silau dengan kekuasaan. Dengan semakin kuatnya kerja-kerja Jaringan GUSDURian sangat mudah bagi orang-orang untuk datang dan memanfaatkan Jaringan GUSDURian, tetapi kita bukan kelompok yang silau untuk mengejar itu.

Berkali-kali kita ditawari untuk terlibat dalam kontestasi kekuasaan dan berkali-kali pula kita dengan santun mejawab, “Bahwa komitmen kita di dalam Jaringan GUSDURian adalah gerakan non-politik praktis, tidak berpolitik praktis.”  Kita juga tidak pernah berpikir bahwa Jaringan GUSDURian adalah untuk orang-orang yang ingin akses kekuasaan yang hanya untuk merampok uang rakyat, demi partai politik atau demi mengejar diskonan belanja barang mewah di luar negeri karena sedang ada diskon. Kita berburu barang mewah, kita menyelundupkan barang mewah ke Indonesia; kita bukan kelompok yang seperti itu.

Kawan-kawan GUSDURian yang setia membersamai saya sejak langkah awal merintis Jaringan GUSDURian tahun 2010–2011, dari lereng sampai pantai panjang di Pulau Tua. Kawan-kawan ini pasti sadar bahwa dalam Jaringan GUSDURian kita ini justru tekor dana, tekor tenaga, tekor waktu. Tapi saya tidak sedih dengan itu. Saya bahkan berbangga untuk menyatakan bahwa Jaringan GUSDURian tidak memberikan hal-hal semu seperti itu, tetapi Jaringan GUSDURian memberikan ruang untuk setiap orang yang ingin tumbuh bersama, yang ingin terus berhikmah untuk umat, untuk rakyat, untuk bangsa.

Jaringan GUSDURian bisa menjanjikan ruang-ruang ketika kita merasakan bagaimana bahagianya saat kelompok yang kita dampingi bisa menyelesaikan persoalannya dengan berani. Jaringan GUSDURian bisa memberikan ruang kepuasan karena kita mampu untuk bertindak walaupun tujuan kita mungkin belum tercapai.

Jaringan GUSDURian bisa berbangga karena memberikan semangat, memberikan ruang, memberikan tempat, memberikan arena bukan karena orang-orang yang merasa menjadi korban keadaan atau yang hanya mengeluh sibuk mengkritik, hanya sibuk mencela, dan bahkan sibuk membenci.

Jaringan GUSDURian bisa berbangga menyatakan bahwa dalam jaringan ini kita bisa mencari orang-orang yang bergerak dan menggerakkan, sebagaimana yang diteladankan oleh Gus Dur.

Kita tidak memuja-muji Gus Dur kerena memang bukan itu, tetapi karena juga Gus Dur tidak suka dipuja-puji. Saya membayangkan Gus Dur akan sangat marah kepada saya sebagai putrinya, kalau beliau melihat di Jaringan GUSDURian yang kita lakukan hanya memuja-muji beliau. Sebab bukan itu yang dicari oleh Gus Dur.

Seumur hidup beliau menggerakkan orang-orang muda, beliau menggerakkan orang-orang tua. Beliau menggerakkan orang-orang di pedalaman, beliau menggerakkan orang-orang di pesantren, beliau menggerakkan para tokoh agama. Beliau menggerakkan orang-orang yang punya semangat menggerakkan demokrasi dan keadilan, beliau menggerakkan orang-orang di Indonesia Timur, Indonesia Barat. Beliau menggerakkan orang-orang di mana-mana. Beliau menggerakkan siapa saja. Beliau menggerakkan kita semua. Bahkan saat ini pun, pada saat jasad beliau sudah tidak ada lagi, beliau masih menggerakkan kita dan masih menggerakkan bangsa Indonesia.

Kita berkumpul karena kita ingin bergerak, karena kita ingin menggapai cita-cita kita bersama. Karena kita ingin apa yang diperjuangkan oleh Gus Dur dan sekarang kita lakukan untuk menjadi kenyataan, menjadi realita. Tidak mudah dan mungkin di masa kita hidup sekarang ini, realita itu pun belum menjadi kenyataan, tapi setidaknya kita bergerak.

Gus Dur meneladankan kepada kita tiga dimensi beliau:

  1. Personalnya, nilai-nilai pribadinya, karakternya, dirinya sebagai seseorang, seorang individu, seorang muslim.
  2. Beliau meneladankan pemikirannya.
  3. Beliau meneladankan gerakannya.

Kita bisa meneladani Gus Dur dari berbagai sisi dimensi tersebut.

Kita bisa meneladani beliau sebagai komentator sebak bola. Kita juga bisa meneladani beliau sebagai pemuka agama. Kita bisa meneladani beliau sebagai penikmat seni budaya. Kita juga bisa meneladani beliau sebagai seorang aktivis, pejuang keadilan. Banyak hal yang bisa kita teladani.

Tapi yang jelas kita tahu, Gus Dur tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri. Gus Dur tidak pernah hidup dengan pemikirannya sendiri. Gus Dur selalu bergerak dan selalu menggerakkan. Gus Dur tidak pernah terperangkap oleh baju fisik dan psikisnya, beliau tidak pernah terperangkap oleh jabatan-jabatannya. Beliau bahkan tidak pernah terperangkap oleh pemikiran beliau sendiri.

Beliau terus tumbuh, beliau terus bergerak, dan beliau terus menyesuaikan diri dengan realita seperti yang beliau sampaikan, “Guru spiritual saya adalah realita, dan guru realitas saya adalah spiritual”. Terus bergerak dan sampai saat ini kita tahu bahwa apa yang kita cita-citakan dan apa yang Gus Dur cita-citakan belum terwujud semua.

Kita ini masih seperti menari, selangkah maju dua langkah mundur, dua langkah maju, selangkah mundur. Kita masih melihat banyak ketidakadilan sebagai umat beragama, sebagai umat manusia. Kita melihat rakyat yang miskin, kita berhadapan dengan kekuasaan, kita masih melihat kelompok-kelompok yang menggunakan agama untuk melanggar hak-hak beragama orang lain. Kita masih melihat kekerasan terorisme di mana-mana. Kita masih melihat persoalan-persoalan pelik bangsa ini. Kita masih melihat politisi yang memper-kloto, yang mempermainkan hidup rakyat. Bantuan sosial itu uangnya datang dari pinjaman bangsa ini, pinjaman tabungan negara ini. Dan hari ini kita masih diplokoto oleh para politisi. Berlomba-lomba mendapatkan kekuasaan untuk mencari akses terhadap sumber daya bangsa dan negara untuk kepentingan mereka sendiri untuk keserakahan mereka sendiri untuk kepentingan kelompok politiknya. Kita masih melihat rakyat yang kalah, kita masih melihat rekaman-rekaman dokumentasi warga masyarakat kita, penindasan yang mereka alami.

Perjalanan kita sebagai bangsa masih sangat panjang. Dan kita butuh orang-orang yang mau bertindak, yang mau bergerak, yang mau terus belajar. Kalau kita mendaku bahwa kita adalah murid Gus Dur, kita tidak bisa tinggal diam. Kalau kita mendaku bahwa kita adalah murid Gus Dur, kita tidak bisa tidak bergerak. Kalau kita mendaku bahwa kita adalah murid Gus Dur, kita tidak bisa meninggalkan prinsip-prinsip Gus Dur yang harus kita pegang di dalam ruangan kita.

Saat terjadi ketidakadilan GUSDURian harus berada paling depan. Saat terjadi penindasan GUSDURian harus bergerak. Saat ada yang dilemahkan GUSDURian harus memperkuat. Saat ada yang dipinggirkan GUSDURian harus menemani. Saat ada yang dimiskinkan GUSDURian harus mengayom.

Berat, iya. Tetapi saya yakin ketika seorang teman-teman seseorang memutuskan diri untuk bergabung dalam Jaringan GUSDURian, dia sudah memutuskan untuk hidup dalam nilai-nilai itu, nilai-nilai spiritualitas, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kesetaraan, nilai-nilai keadilan, nilai-nilai pembebasan dari setiap penindasan, nilai-nilai persaudaraan, nilai-nilai kesederhanaan, nilai-nilai seorang satria, dan nilai-nilai kearifan di mana pun kita berada. Seorang GUSDURian pasti hidup dengan nilai-nilai ini.

Gus Dur mengajarkan kepada kita untuk terus tumbuh, untuk terus mengasah nurani, untuk berfikir besar, untuk menatap jauh ke depan, untuk sabar berproses, untuk tangguh menghadapi kegagalan, untuk bisa menata langkah hari demi hari ruas demi ruas perjuangan. Tidak menyerah kalah pada setiap segmen kegagalan, tapi terus bergerak dan terus menggerakkan.

Bukan tradisi Gus Dur untuk berpangku tangan. Saatnya kita menjawab tantangan zaman. Saatnya kita memproses diri kita, memahami persoalan-persoalan yang ada, mencari solusi-solusi atas setiap persoalan ini. Saatnya kita mengambil tanggung jawab kita sebagai bangsa yang peduli dan berdaya. Saatnya kita bergerak dengan lebih bijak, saatnya kita menggerakkan masyarakat, saatnya kita memperkuat Indonesia.

Gus Dur sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.

Wallahumuwafiq ila aqwamitthoriq, wassalamualaikumwarahmatullaahi wabarakaatuh.

Senin, 7 Desember 2020

Koordinator Jaringan GUSDURian Nasional.