Social Media

Tablo Paskah: Refleksi Seorang Herodes Muslim

45. (Ingatlah), ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang putra), nama Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)”. (QS. Ali-’Imran (3): 45)

9. itulah sebabnya Allah sangat menjunjung-Nya tinggi dan menganugerahkan-Nya nama di atas segala nama, 10. supaya dalam nama Isa semua akan bertekuk lutut, baik di langit, di bumi, maupun yang ada di bawah bumi,

11. dan semua lidah mengakui “Isa al-Masih adalah Junjungan Yang Ilahi”, bagi kemuliaan Allah, Sang Bapa kita. (Filipi 2: 9-11)

Satu hal yang pernah terbayangkan dalam benak saya hingga akhirnya tercapai adalah membayangkan bermain drama tablo alias drama penyaliban Yesus. Sebagai seorang Muslim yang sering terlibat dialog lintas iman—khususnya dengan kawan-kawan Kristiani, saya sangat tertarik bermain drama yang mengisahkan cukup rinci bagaimana proses Yesus disalib. Setelah mendapat tawaran dari seorang kawan baik—tidak lama saya menawarkan diri untuk bergabung meski dengan hati cemas karena saya berlatar belakang sebagai seorang Muslim.

Tanpa saya duga sebelumnya, saya langsung diminta hadir di pertemuan perdana para pemain tablo Paskah 2018. Dengan hati senang dan dengan benak penuh pertanyaan apakah saya sebagai seorang Muslim bisa ikut bermain dalam drama tersebut. Karena pada awalnya, saya menduga hanya umat Kristiani saja yang boleh bergabung. Setelah saya diterima sebagai pemain alias aktor, saya diminta untuk mengajak kawan-kawan lain jika masih ada yang ingin bergabung karena masih kekurangan aktor. Karena saya masih kuliah di UIN, jelas jaringan kawan-kawan saya lebih banyak di UIN—hingga akhirnya menemukan dua aktor tambahan dari UIN yang berperan sebagai Hanas dan Kayafas. Proses yang berlangsung kurang lebih dua bulan bersama kawan-kawan Teater Seriboe Djendela (TSD) yang notabene mahasiswa Sanata Dharma membantu kami masuk ke dalam peran kami masing-masing.

Saya dan juga kedua kawan saya dari UIN tersebut pasti punya tantangan tersendiri ketika harus berperan dengan tokoh yang baru kami kenali dengan keterangan yang minim dari naskah yang tersedia. Hingga akhirnya, oleh sang sutradara kami disarankan untuk mencari referensi berupa buku atau film yang berhubungan kisah sengsara Yesus. Tak butuh waktu lama, aku mencoba melacak film-film yang disarankan (agar lebih cepat mendapat gambaran tokoh yang saya perankan)—hingga dalam waktu singkat saya berhasil mengumpulkan dan menghabiskan empat film; “The Last Temptation of Christ” (1988), “The Passion of Christ” (2004), “The Son of God” (2014) hingga “Killing Jesus” (2015).

***

Dua bulan berlalu tidak terasa, tanggal 30 Maret lalu diperingati sebagai Jum’at Agung bagi seluruh umat Kristiani, tak terkecuali umat Muslim sebenarnya—karena setiap hari Jum’at juga diagungkan oleh umat Muslim. Hanya saja, Jum’at (30 Maret) lalu sedikit berbeda di mana satu sisi umat Kristiani memperingati kisah sengsara atau lebih tepatnya wafatnya Yesus Kristus (Yunani: Ιησούς Χριστός)/(Ibrani: ישׁוה המשׁיה) atau dalam tradisi Islam disebut nabi Isa as (Arab: السلام عليهعيسى)—Isa alaihissalam (semoga keselamatan/kedamaian besertanya), di sisi lain umat Muslim menunaikan shalat dhuhur di hari Jum’at (yang berbeda dengan shalat dhuhur di hari lain)—dimana hari ini dipenuhi banyak keutamaan dan kemuliaan serta anjuran untuk menunaikan amalan-amalan kebaikan tertentu.

Keterlibatan saya dalam tablo Paskah kali ini pengalaman yang luar biasa—karena di samping mendapat apresiasi—juga mendapat penghakiman dari beberapa orang tentang keimananku, tentang agamaku, hingga penghakiman lainnya. Sebenarnya persoalannya tidak berada di diri saya—karena saya merasa melakukan hal baik dan bertindak dalam koridor Islam yang dicontohkan oleh sang junjungan yang mulia Kanjeng Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya dan tentu saja tetap berada pada koridor apa yang telah Al-Qur’an terangkan. Meskipun Nabi Muhammad tidak pernah bermain tablo semasa hidupnya. Persoalan selanjutnya sebenarnya ada pada diri orang-orang yang menghakimi tersebut. Karena kemungkinan besar, penghakiman mereka tidak terbukti alias asumtif! Oleh karena itu, saya ingin sedikit membuka refleksi saya ini dengan sedikit mengutip Al-Qur’an dan sesekali memberikan paralelisasi dengan Alkitab serta kajian saya yang sejak dulu saya rekam dengan baik tentang sosok guru sekaligus sang junjungan dalam Islam dan Kristen. 

Isa dalam Al-Qur’an

Jika ditinjau dari sudut kitab suci umat Muslim—Al-Qur’an juga memberi perhatian besar kepada Isa as. Jika ditelisik lebih dalam, penggunaan kata “Isa” digunakan sebanyak 25 kali, kata “al-Masih” (sang Messias) sebanyak 11 kali dan “Ibnu Maryam” (putra Maryam) sebanyak 23 kali. Sehingga kalau digabungkan, Al-Qur’an menyebut Yesus atau Isa sebanyak 59 kali dengan segala bentuk derivasinya. Bandingkan juga dengan nama “Musa” yang muncul 136 kali atau “Ibrahim” 69 kali dan juga nama nabi “Muhammad” yang hanya disebutkan 4 kali dalam Al-Qur’an (QS. 3:144, QS. 33:40, QS.47:2, QS.29).

Tak bisa dipungkiri, sosok Isa memang menjadi tema sentral dalam dialog hingga debat antara Islam dan Kristen. Dari narasi-narasi tentang Isa as/Yesus yang sama-sama terdapat dalam masing kitab suci Islam dan Kristiani (Al-Qur’an dan Alkitab). Ada beberapa titik persamaan dan perbedaan kisah di dua kitab suci tersebut, beberapa titik persamaannya adalah Isa atau Yesus lahir tanpa ayah biologis dari Siti Maryam atau Perawan Suci Maria (sapaan dalam tradisi Katholik) (lihat QS. Ali-’Imran (3): 59 dan QS. Maryam (19): 23, bandingkan dengan Injil Matius 1:18 dan seterusnya serta Injil Lukas 2:1 dan seterusnya), menghidupkan orang mati (QS. Ali-‘Imran (3): 49 dan QS. Al-Maidah (5): 110 bandingkan dengan Injil Lukas 7: 12-15), menyembuhkan orang buta dan penyakit kusta (QS. Ali-‘Imran (3): 49 dan QS. Al-Ma’idah (5): 110 bandingkan dengan Injil Lukas 18: 35-42).

Selain titik persamaannya, terdapat juga titik perbedaannya. Salah satunya ketika Isa as/Yesus yang masih bayi dapat berbicara (lihat di Al-Ma’idah (5):110) dan pada waktu membela ibunya—Siti Maryam atau Maria yang di mana narasi tersebut hanya terdapat dalam Al-Qur’an dalam surah Maryam (19): 30-33 yang justru tidak terdapat dalam narasi Alkitab (Bible) kanonik yang umumnya dibaca umat Kristen. Narasi tersebut diyakini umat Muslim pada umumnya sebagai mukjizat atau keistimewaan Nabi Isa as.

Selain berbicara pada saat masih bayi, yang juga menjadi titik perbedaan yang saya rasa tak akan pernah habis diobrolkan hingga diperdebatkan di mana-mana adalah penyaliban Isa (khususnya dalam sudut pandang Muslim), karena tak ada pandangan atau jawaban final dalam pandangan umat Muslim—semuanya berbeda-beda dalam menafsirkan tiga buah surat dalam Al-Qur’an antara lain; QS. Nisa (4): 157-159, QS. Ali-’Imran (5):55, QS. Al-Ma’idah (5): 177. Ada yang mengatakan ia (Isa/Yesus) tidak disalib, yang disalibkan adalah orang yang diserupakan (syubbilahum) atau versi lain yang mengatakan yang disalib adalah Yudas Iskariot, sedangkan Isa/Yesus diangkat ke langit dan masih banyak lagi ragam perbedaan tafsiran di kalangan Muslim yang sejak dulu hingga sekarang tak menemukan jawaban yang tunggal.

Lebih lanjut, ada masih banyak lagi titik persinggungannya dengan gaya narasi dan kekhasan masing-masing kitab suci. Dari sekian banyak gambaran tentang Isa dalam Al-Qur’an lebih banyak berbicara tentang dimensi kemanusiaannya sebagai utusan Tuhan atau sebagai nabi—bukan hal yang aneh karena dalam Al-Qur’an yang menjadi dasar keimanan umat Muslim memang tidak terdapat pengajaran atau bahkan pengetahuan tentang keIlahian Isa atau Yesus. Sehingga berbicara tentang ketuhanan Yesus atau keilahian Isa secara doktrin teologis tidak terdapat dalam keyakinan Muslim. Karena dalam doktrin teologis yang mendalam bahwa firman Allah dalam Islam nuzul atau turun dalam bentuk Al-Qur’an Al-Karim (Al-Qur’an Yang Mulia), sedangkan firman Allah dalam perspektif Kristiani dipahami turun atau nuzul dalam bentuk daging yang termanifestasi dalam tubuh anak manusia yang bernama Yesus, sehingga dalam doktrin trinitas—Yesus punya dimensi keilahian karena merupakan bagian kesatuan dari Allah Sang Khalik atau Sang Bapa (dalam istilah trinitarian). Namun, seterjal apapun perbedaan teologisnya—dalam dimensi kemanusiaan, baik Islam maupun Kristiani—dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari apa yang telah diajarkan oleh Isa al-Masih.

Refleksi Herodes Muslim

Subjudul dari bagian ini adalah istilah yang saya rumuskan sendiri. Mungkin sebagian anda sudah bertanya-tanya soal Herodes yang “Muslim”. Bagi saya, inilah yang paling unik, bermain di tengah khalayak umat Kristiani secara khusus lebih banyak umat Katolik serta bersama kawan-kawan aktor yang lain membawa suasana kembali pada abad di mana Yesus menghadapi cobaan terberat dalam hidupnya ketika harus mendapati dirinya difitnah, dihina, dicemooh, dikhianati, diancam, hingga disalib dan kemudian dibangkitkan kelak. Tablo Paskah yang kami dipersiapkan kurang lebih dua bulan—akhirnya usai kami presentasikan dalam dua jam pertunjukan.

Sebagai pengalaman pertama berproses bersama dalam tablo Paskah kali ini, tentu saja sangat mendebarkan karena sebagai seorang Muslim saya agak serba bingung harus tampil seperti apa agar umat yang hadir dapat menikmati pertunjukan dan khusyuk dalam ibadah mengenang kembali kisah sengsara Yesus dahulu kala. Meskipun dalam hati aku bertanya, “Apakah umat-umat yang hadir itu tahu yang bermain di hadapannya ada beberapa umat Muslim?”.

Singkat cerita, setelah pertunjukan usai—beberapa dari kami harus dengan sabar melayani foto-foto dengan para jema’at yang sempat hadir di pertunjukan tablo di pagi itu yang cerah itu. Tak lama berselang, kami yang Muslim harus pamit lebih dahulu untuk menunaikan kewajiban shalat Jum’at.

Lepas shalat Jum’at mulailah saya menulis catatan saya sebagai berikut:

Lepas bermain tablo Paskah hari ini. Aku belajar banyak hal, dari kisah kesengsaraan Yesus hingga segala sesuatu yang meliputi penyalibannya. Sebagai pemain tokoh dengan karakter antagonis, aku menyaksikan dan memainkan sendiri apa yang dihadapi langsung oleh Yesus. Sebagai pewaris misi kenabian dari generasi sebelumnya, Yesus berhadapan dengan kuasa tirani dan kesesatan atau kemunafikan para pemuka agama pada eranya. Yesus kemudian bangkit melawan kesewenang-wenangan Romawi kala itu. Hingga pada akhirnya, atas perlawanannya tersebut yang kemudian melahirkan reformasi besar dalam masyarakatnya kala itu.

Ribuan tahun setelah setelah penyaliban Yesus, banyak orang yang mengikuti ajaran-ajarannya yang pernah diajarkan—tak sekedar diajarkan, tapi sekaligus diamalkan atau diaplikasikan selama hidupnya.

Pilihan Romawi untuk menghukum salib atas Isa al-Masih atau Yesus adalah pilhan—yang pada akhirnya Pontius Pilatus cuci tangan atas keputusan salib hukuman salib yang kala itu yang sudah menjadi tradisi ketika seseorang melakukan tindakan yang ‘dianggap’ menentang penguasa atau melawan “status quo”.

Anggaplah Yesus atau Isa adalah tumbal zamannya. Dia yang telah memberi banyak pelajaran kepada mereka yang hidup sesudahnya. Ajaran dan kebijaksaannya telah berhasil membawa terang dan garam bagi dunia.

Namun, dewasa ini kita saksikan bermunculan Herodes-Herodes baru yang lebih bengis gila hormat!

Pemimpin yang seharusnya punya tanggungjawab besar untuk melayani rakyatnya—malah bertindak sebaliknya. Menindas rakyat serta gagal melindungi segenap tumpah darah tanah airnya.

Akankah terjadi pemberontakan seperti yang terjadi 1000 tahun yang lalu?

Apakah kita masih membutuhkan Yesus-Yesus modern abad ini?

Yang berani dengan lantang menyuarakan kebenaran sebagai sebuah kebenaran dan keburukan sebagai sebuah keburukan.

Aku rasa kita membutuhkannya.

Sangat butuh malah!

***

Sebagai seorang yang senang berdiskusi dan bergaul dengan siapa pun, saya terbuka terhadap segala hal. Setiap semester, saya terbiasa memfasilitasi dialog mahasiswa/i Islam dan Kristiani dalam sebuah Peace Camp. Membantu para mahasiswa-mahasiswi dari kalangan pengikut Nabi Muhammad SAW dan pengikut Isa al-Masih untuk memahami satu sama lain dan menjadi keluarga—bukan hanya menjadi teman biasa!

Di lain sisi, banyak dialog atau bahkan debat sebenarnya seperti yang kita saksikan—entah di televisi atau bahkan di channel Youtube yang tidak produktif dan berujung pada debat kusir tanpa persoalan jelas yang justru berlangsung sejak dahulu kala hingga kini. Jika diperhatikan deretan debat itu—justru debat Islam dan Kristen selalu menduduki puncak pertama, bahan debatnya beragam—mulai dari kitab suci, konsep ketuhanan, hingga sosok Isa al-Masih atau Yesus (sapaan yang akrab di kalangan Kristiani). Atau bahkan jika mengetik kata “dialog” di mesin pencari seperti Google, jawaban yang ditawarkan oleh Google adalah debat! Anda sendiri pasti sudah tahu Google menampilkan sesuatu yang sering ditonton oleh penggunanya.

Makna “dialog” yang sebenarnya direduksi menjadi “debat” yang tentu saja bermuatan kompetisi alias kalah-menang. Dialog (dua arah) adalah antonimitas dari monolog (satu arah). Dalam dialog, orang-orang dapat menyeberang atau bahkan masuk ke dalam tradisi atau kepercayaan liyan/other untuk mempelajari dan mengerti sang liyan—tanpa kehilangan dirinya yang otentik.

Di tengah proses kami, selain belajar akting dari kawan-kawan Teater Seriboe Djendela (TSD), proses tablo kali ini begitu mengasyikkan karena dalam proses latihan yang berlangsung kurang lebih dua bulan itu—dialog lintas iman justru kerap terjadi di antara kami para pemain/aktor. Mulai dari mengenal satu per satu tokoh-tokoh yang terlibat yang belum pernah saya dengar sebelumnya, juga banyak menggali tentang banyak ritual atau hal-hal yang mengitari Paskah hingga atribut-atribut yang terdapat dalam Kapel (sebuah tempat ibadah yang berukuran tidak terlalu besar) tempat kami pentas.

Dari proses yang alamiah kami berdialog tentang keimanan kami masing-masing menjadi sangat cair karena kami perjumpaan dan dialog langsung yang kami alami bersama. Selain belajar tentang dunia akting—saling memberi informasi akhirnya membuat di antara kami saling mengisi kekurangan satu sama lain.

Kembali kepada Paskah, semangat pengorbanan Yesus yang wafat di kayu salib—terus dihidupi oleh umat Kristiani di seluruh dunia—membuat saya belajar bahwa pengorbanan adalah ibu dari segala tindakan dan cita-cita. Karena setiap tindakan dan cita-cita membutuhkan pengorbanan. Jika engkau mengingingkan perdamaian, maka engkau harus mengusahakannya dengan sebuah pengorbanan. Sebagai seorang martir (syahid)—Yesus disalibkan lalu wafat hingga bertakhta sebagai al-Mukhalish al-‘alam atau “Juru Selamat Dunia” bagi mereka yang meyakini dan mengikutinya.

وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

Artinya: “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS. Maryam (19): 33).

עליכם שלום

السلام عليكم



Di bawah naungan langit Yogyakarta, 11 hari setelah Jum’at Agung.

[Artikel ini pernah dimuat di www.cmusd.org, 23 Mei 2018]

Santri Pascasarjana Teologi UKDW Yogyakarta dan aktivis YIPC (Young Interfaith Peacemaker Community).