Social Media

Wawancara bersama Gus Dur: NU Harus Mencari Format Politik Nasional

(Memperjuangkan Aspirasi Islam dan Kepentingan Nasional)



JAKARTA (Suara Karya).

Tokoh muda NU (Nahdlatul Ulama) yang kini mendapat kepercayaan sebagai Ketua Panitia Penyelenggara Muktamar NU XXVII, Abdurrahman Wahid dalam wawancara khusus dengan Suara Karya baru-baru ini mengemukakan, NU sebagai lembaga kemasyarakatan harus mampu mencari format politik yang tepat, yaitu format politik nasional yang tidak saja bermanfaat bagi kepentingan aspirasinya, tetapi juga bagi kepentingan nasional. Atas dasar itu NU harus mempunyai sikap adil terhadap semua kekuatan sosial politik yang ada, serta tidak semata-mata memperjuangkan kepentingan dirinya, tetapi juga kepentingan yang lebih luas, bahkan menjangkau masyarakat lain termasuk yang berbeda dalam agama dan kepercayaannya.

Berikut ini tanya jawab antara Suara Karya dengan Abdurrahman Wahid pada saat sedang tenggelam di tengah kesibukan persiapan muktamar di kantor PBNU Jakarta.

Tanya:

Bagaimana peran NU dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat baik saat sekarang maupun yang akan datang?

Jawab:

NU adalah perkembangan dan pertumbuhan aliran Sunni dalam lingkungan agama Islam. Ada beberapa aliran di lingkungan Islam, antara lain aliran Sunni, dan para pemeluk aliran ini dalam menghayati ajaran agama mampu mencernakan perkembangan sejarah sehingga sikapnya tidak terlalu eksklusif. Sikapnya tidak “galak” dan dapat menyerap dan mencernakan perkembangan di luar

Atas dasar pemahaman agama yang demikian, dalam perkembangan di Indonesia tumbuh model hidup yang dikenal dengan “golongan santri tradisional”, dan NU adalah mayoritas golongan santri tradisional. Ciri pokoknya ialah munculnya kepemimpinan ulama yang berbasis pesantren. Basis ini oleh para ulama digunakan untuk responsi yang konkrit terhadap tuntutan zaman atau tantangan keadaan.

Responsinya konkret, misalnya ketika tradisi pendidikan pesantren dengan duduk “ndeprok” menghadapi sistem baru sekolah ala Barat, pesantren segera menyesuaikannya dengan membentuk madrasah di pesantren yang akhirnya justru ditiru di luar.

Di balik sifat tradisionalisnya NU sesungguhnya mempunyai sifat kepeloporan dan dalam keadaan kritis dan peka selalu muncul dan ikut menentukan kehidupan bangsa. Misalnya saat-saat sekarang. Saat ini umat Islam dihadapkan pada dua pilihan yaitu antara menjadikan Islam sebagai alternatif terhadap Pancasila dengan menjadikan Islam sebagai salah satu sumber Pancasila. Permasalahannya Pancasila itu kita terima sebagai sesuatu yang berpola tunggal atau pluralistik.

Apabila Pancasila diharuskan mengikuti pola tunggal, itu berarti Pancasila harus didudukkan secara mutlak pada Islam. Tetapi bila Pancasila dibiarkan pluralistik, berarti akan terbuka bagi aspirasi Islam untuk ditularkan atau dimasukkan ke dalam Pancasila, dengan menyadari bahwa Pancasila juga mempunyai hak menggali sumber-sumber lain. Itu pengertian pluralistik.

Tanya:

Kalau menurut pendapat Pak Abdurrahman bagaimana?

Jawab:

Pada saat yang crucial atau muskil seperti sekarang, NU berpendirian, mengambil jalan menerima Pancasila yang bermakna pluralistik. Dalam pengertian itulah Munas Ulama Situbondo (dan mudah-mudahan dikukuhkan oleh Muktamar NU) menetapkan Pancasila adalah asas bagi NU, dalam arti Pancasila mempunyai haknya mengatur-atur kehidupan warga negara. NU sebagai organisasi warga negara tunduk terhadap hal ini. Namun NU sebagai umat beragama, dalam keimanan dan filosofi keagamaan tunduk kepada ajaran agama Islam. Maka di sini NU secara teologis tunduk kepada Islam, tetapi juga menerima Pancasila sebagai kerangka bernegara dan bermasyarakat. Apakah dapat sinkron? Di sinilah pentingnya bagaimana NU mensinkronkan antara tuntutan setia kepada akidah Islam dan setia kepada kerangka bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yaitu Pancasila. Bagaimana wujudnya, di sinilah letak perjuangan NU dan di sini pula dituntut peranan sejarah NU

Tanya:

Pemilahan pengertian hidup bernegara dan hidup beriman tidakkah bertentangan dengan paham yang menyatukan politik dan agama, serta bagaimana pengertian negara agama?

Jawab:

Masalah itu harus diartikan secara mendalam. Islam tidak mengenal pemisahan antara politik dan agama dalam pengertian, bagi Islam agama mempunyai fungsi tersendiri terhadap negara. Islam harus menjaga jangan sampai negara ini lepas dari wawasan keagamaan, tetapi tidak berarti lalu menciptakan negara agama. Kalau Islam turut menjaga agar Pancasila diterapkan benar-benar secara utuh, dengan di dalamnya dilaksanakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, berarti Islam sudah campur tangan dalam masalah negara. Tetapi tidak usah dengan itu menjadikan negara sebagai negara Islam. Itu soal yang berbeda sama sekali. Mencarikan tempat bagi peranan Islam, atas peranan agama, tidak hanya agama Islam dalam kehidupan bernegara, lain dengan mendirikan negara agama.

NU sebagai warga negara mempunyai keharusan menaati pemerintah asalkan pemerintah itu tidak memusuhi agama, dan tidak melarang kegiatan orang menjalankan kehidupan beragama, khususnya Islam. Bahkan kalau seandainya negara itu salah dalam kebijaksanaannya, tetapi asalkan tidak memusuhi agama, warga negara termasuk umat Islam harus menaati. Itu kalau diambil minimalnya.

NU sebagai organisasi umat Islam terbesar di Indonesia dituntut untuk berperan lebih nyata lagi khususnya dalam merumuskan hubungan antara Islam dengan negara dalam kerangka operasional yang kompleks. Masa depan NU akan sangat ditentukan kemampuan mencari kerangka operasional dan sekaligus pelaksanaannya sesuai watak atau ciri pluralistik Pancasila.

Tanya:

Sebagai kaidah ideal apakah Pancasila cukup memberikan kesempatan bagi berkembangnya umat Islam?

Jawab:

Kehidupan Pancasila memang harus demikian, artinya harus memberi tempat bagi kiprah umat Islam, di samping warga masyarakat lain. Idealisme Pancasila harus diarahkan ke sana, dan dengan itu Islam akan mendapatkan kesempatan memanifestasikan dirinya sehingga tidak ada anggapan bahwa Islam terbelenggu. Pandangan bahwa Islam terbelenggu karena Pancasila salah sama sekali. Sama salahnya dengan anggapan bahwa kalau negara melayani orang Kristen, Katolik, Hindu, atau Buddha termasuk kepercayaan berarti menyempitkan atau menyudutkan orang Islam, itu salah sama sekali. Islam menghargai agama-agama dan kepercayaan orang lain, dan karenanya kalaupun pemerintah memberikan pelayanan kepada mereka bukan berarti untuk merugikan umat Islam, sebaliknya, pelayanan seperti mereka juga dapat dinikmati oleh umat Islam. Bahkan pelayanan itu juga pelaksanaan sasaran kerja orang Islam, karena Islam juga menjalin kerjasama dengan mereka.

Dalam hal ini Islam itu lalu menjadi besar, besar bukan karena menang sendiri tetapi karena dapat mengayomi yang lain. Saya yakin NU di masa depan akan mampu berbuat demikian, mengayomi semua pihak dan melindungi semua kepentingan Indonesia. Dengan cara ini pula NU menjadi wadah untuk menempa orang-orang besar yang berwawasan nasional.

Tanya:

Apa sasaran pokok yang akan dicapai dalam Muktamar NU XXVII?

Jawab:

Sasaran Muktamar pertama-tama untuk memantapkan bidang keimanan. Kedua, Muktamar akan mengesahkan asas organisasi dengan Pancasila dan UUD 1945 dan akan mengesahkan khittah NU yaitu garis perjuangan NU, menyangkut bidang kemasyarakatan, dasar pemikiran keagamaan, perilaku yang dituntut dari warga NU serta bagaimana hubungan dan pandangan NU terhadap bangsa dan negara. Khittah ini tidak panjang, sedikit tetapi “nges” sehingga menjadi semacam “credo” bagi umat NU. Yang ketiga, mengesahkan program dasar pengembangan NU jangka lima tahun mendatang.

Kembali ke semangat khittah 1926 artinya kembali kepada jiwa saat berdirinya NU yaitu menempatkan ulama di dalam kedudukan penentu, kembali kepada semangat persaudaraan dan tidak lepas dari perjuangan bangsa Indonesia.

Dalam program lima tahun mendatang, NU harus memperluas wawasannya, tidak semata-mata orientasi politik, Tetapi lebih bersifat kemasyarakatan yang luas. NU mungkin harus lebih memperhatikan program man power development (pengembangan sumber daya manusia).

Tanya:

Bagaimana peranan NU dalam kehidupan sosial politik khususnya keterikatan NU dengan P3 (Partai Persatuan Pembangunan?)

Jawab:

Bagi NU, Partai Persatuan Pembangunan sekarang sudah berbeda, lain dengan saat dicetuskan deklarasi tahun 1973 yang lalu. Partai Persatuan Pembangunan yang semula merupakan partai Islam dengan sendirinya berubah menjadi partai Pancasila setelah Muktamar Partai yang lalu dengan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Gampangnya deklarasi itu tidak ada kekuatannya sendiri lagi, kadaluwarso oleh perkembangan dan tidak perlu pembubaran secara formal. Atas dasar itu NU harus mampu mencari format politik yang tepat bagi dirinya.

Sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang mempunyai aspirasi politik, wawasan NU haruslah bersifat nasional, tidak semata-mata format Islam. Dan atas dasar itu NU harus bersikap adil terhadap semua kekuatan sosial politik yang ada, seraya mengusahakan agar aspirasi kaum muslimin dapat dimasukkan dan diserapkan dalam kekuatan sosial politik sesuai aturan permainan yang ditetapkan dalam undang-undang. Dengan demikian, kita membuat sesuatu yang baru, format politik NU adalah politik nasional atau national politic, dan bukan lagi politik golongan. Dengan tidak lagi mementingkan golongan NU harus berbuat tidak hanya untuk kepentingan sendiri tetapi juga kepentingan di luar dirinya.

Tanya:

Gagasan demikian masih ada di benak Pak Abdurrahman sendiri ataukah sudah memasyarakat di kalangan pimpinan NU?

Jawab:

Pandangan demikian sudah memasyarakat di kalangan kepemimpinan NU yaitu para kiai atau ulama. Hal itu terutama setelah melihat kebangkrutan partai politik yang menamakan diri partai Islam tetapi orang-orangnya tidak menjalankan etik Islam. Islam sudah menjadi sekedar slogan. NU nanti harus menjadi kekuatan moral, kekuatan teologis untuk bangsa dan memberikan pemikiran politik yang disalurkan melalui kekuatan sosial politik yang ada.

Tanya:

Apakah warga NU yang sekarang tidak berada di P3 tetapi di Golkar atau PDIP masih diakui sebagai warga NU?

Jawab:

Tiap orang bebas menyalurkan aspirasi politiknya. Saya anggap hal ini bukan permasalahan, dan mereka tetap warga NU. Paham NU tidak dikotak-kotakkan pada kegiatan partai.

Selama ini memang keberadaan NU lebih dipertaruhkan dalam kegiatan suatu partai. Itu memang pengalaman masa lalu, dan merupakan bagian sejarah. Tidak harus disesalkan tetapi memang merupakan fase yang harus dilalui. Dengan partisipasi dalam kehidupan kepartaian NU telah ikut menyukseskan proses penyederhanaan kepartaian dari multipartai menjadi tiga kekuasaan sosial politik. Jadi dengan berkecimpung 12 tahun dalam kehidupan kepartaian, NU tetap memiliki kegunaan dan telah memberikan sumbangan dalam proses nasionalisasi format politik.

Tanya:

Apakah NU melakukan regenarasi?

Jawab:

NU merupakan Lembaga Kemasyarakatan yang paling konsekuen melaksanakan regenarasi. Mungkin orang melihatnya dari top figur saja yang tetap bertahan dalam usia 90 tahun tidak berhenti-berhenti. Tetapi kalau dilihat dari pengelolaan organisasi, NU sangat tuntas atau paling tuntas dalam melaksanakan regenerasi.

Sejak tampilnya tahun 1926 oleh KH Hasyim Asy’ari tahun 1933 sudah diganti oleh pimpinan yang lebih muda KH Machfoed Siddiq, tahun 1940-an sudah memberi kesempatan berkiprah kepada pemuda KH Zaifudin Zuchri dan tahun 1957 menampilkan KH Idham Kholid yang waktu itu berusia 37 tahun.

Para ulama memang memegang otoritas moral yang tidak dapat diganti-ganti tetapi pelaksana organisasi adalah orang-orang muda khususnya yang memiliki kemampuan manajerial. Para ulama memang memegang kepemimpinan rohani, tetapi organisasi perlu dijalankan oleh tenaga pengelola yang memiliki kemampuan manajerial.

Atas dasar itu, yang menjadi perhatian dalam Muktamar nanti adalah khususnya lembaga Tanfidiyah atau dapat dikatakan sebagai organisasi eksekutif. Sedangkan Syuriyyah atau para ulama tentu tetap seperti sekarang tidak dapat diubah-ubah.

Saya juga yakin bahwa NU akan tetap dapat berkembang dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.

Tanya:

Apakah sistem pesantren dapat mengadaptasi kehidupan modern?

Jawab:

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengarahkan sikap hidup mampu bertahan dan menyerap, untuk menyerap kehidupan modern dan teknologi. Justru hal-hal itu kini telah diserap dan disesuaikan serta dimanfaatkan dalam kehidupan pesantren. Kehidupan pesantren ini juga diarahkan untuk ikut memberikan sumbangan bagi upaya memecahkan problem pendidikan nasional

Tanya:

Bagaimana pandangan Bapak tentang kekuatan ekstrem kontemporer?

Jawab:

Terjadinya kelompok ekstrem itu disebabkan krisis dalam masyarakat, bukan krisis kelompok. Di kelompok mana pun terdapat unsur ekstrem. Masalahnya bagaimana kita usahakan mengimbangi dan menetralisir unsur ekstrem itu.

Tanya:

Bagaimana pandangan Bapak terhadap pemeluk agama lain?

Jawab:

Teman dan sahabat saya yang beragama lain dengan saya banyak. Saya dalam membela kepentingan pemeluk agama lain juga tidak setengah-setengah, dan langsung menyentuh hakiki permasalahan.

Mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air, dan kalau ada problem saya juga berusaha ikut memecahkan dan sebaliknya kalau saya mempunyai problem tentu terbuka tangan menerima pertolongan dan bantuan mereka. Saya mengikuti kemerdekaan saya dengan memeluk agama Islam, tetapi juga saya menghargai hak mereka untuk beragama berbeda dengan saya.

Karena sikap persaudaraan dan persahabatan itu, saya duduk di berbagai yayasan di mana saya sebagai ketua, wakilnya adalah tokoh dari agama lain. Bahkan setelah diundang di Sekretaris Kepausan untuk non-Kristiani, tetapi saya belum bisa menemuinya karena kesempatannya belum ada. Saya juga pernah secara teratur menulis untuk majalah bagi pendidikan calon pendeta. Tujuannya ialah mengkomunikasikan Islam kepada orang Kristen. Saling komunikasi ini harus dikembangkan. (Sugyanto/Usman Yatim)



(Diketik ulang dari kumpulan Kliping K.M. Yusuf Iriyanto Gagak Pranolo, S.H.)