Hari-hari ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU menghelat kegiatan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar PBNU 2021. Perhelatan ini sedianya diadakan di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, pada April 2020, tetapi ditunda karena pandemi, dan akhirnya dilaksanakan di Hotel Sahid Jakarta sebagai upaya membatasi jumlah peserta secara ketat.
Panitia menyadari betul tradisi Nahdliyyin (warga NU). Membatasi jumlah peserta tetaplah sebuah perjuangan, seiring banyaknya muhibbin (pencinta) yang tidak ingin melepaskan kesempatan berburu para kiai idola yang berkumpul atau setidaknya ikut bersukacita berkumpul bersama sesama Nahdliyyin dari seluruh penjuru Tanah Air, bahkan dunia.
Puluhan ribu Nahdliyyin menjadi romli (rombongan liar) karena hadir tanpa undangan, membanjiri lokasi pesantren tempat kegiatan, menikmati berbagai kegiatan sampingan, seperti istigasah, pengajian, pameran, pelayanan, dan seminar. Pesta rakyat sejati.
Pesantren tidak kesulitan mengakomodasi tradisi ini. Para alim ulama adalah figur-figur yang sederhana, tidak membutuhkan kemewahan dan kenyamanan. Mereka dapat beristirahat dan beraktivitas di mana saja. Demikian pula para santri dan jemaahnya.
Oleh karena itu, Munas Konbes NU tahun 2021 ini diselenggarakan di hotel di tengah Ibu Kota untuk memunculkan barier fisik ataupun psikologis sehingga kerumunan romli akan bisa diminimalkan. Munas ini memang sudah tidak bisa lagi ditunda karena terkait langsung dengan pelaksanaan Muktamar NU untuk memilih kepengurusan jam’iyah (organisasi) Nahdlatul Ulama yang seharusnya sudah berganti pada pertengahan tahun 2020 lalu.
Tidak mudah untuk memahami, apalagi mengelola organisasi sekompleks Nahdlatul Ulama. NU dimulai dari berkumpulnya para ulama yang telah memiliki organisasi pesantren dan basis pengikut masing-masing. Dimulai dengan pembentukan Komite Hijaz di awal abad ke-20 yang ditugaskan untuk melobi Raja Saudi Arabia agar tidak meneruskan penghancuran situs-situs bersejarah Islam, sejak awal NU yang bercorak tasawuf sudah berseberangan dengan ideologi purifikasi Wahabisme (dan karena itu sampai saat ini juga menjadi lebih peka terhadapnya). Keberhasilan komite ini pun dilanjutkan dengan pembentukan organisasi Nahdlatul Ulama (bermakna ’kebangkitan ulama’).
Hubungan dan jejaring guru-murid menjadi modal sosial utama sejak awal berdirinya NU. Sebab, berkumpulnya para ulama sebagai figur-figur otoritatif independen membutuhkan konsolidasi luar biasa. Kemandirian setiap ulama dipadukan dengan keinginan bekerja sama memajukan umat dan bangsa menjadi dua dimensi yang sama kuat membentuk watak perkumpulan. Itu sebabnya, organisasi NU senantiasa dinamis dan menantang. Salam pembicara khas NU, wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thaariq pun sering dipelesetkan menjadi walaupun sering konflik tetapi selalu menarik.
Apalagi, berhimpunnya para ulama ini secara alamiah diikuti dengan berhimpunnya pondok-pondok pesantren dan jemaah sang ulama. Di dalam NU berhimpun sekitar 23.000 pesantren dengan 7 jutaan santri mukim dan murid dari lingkungan sekitar. Ini belum menghitung jemaah nonsantri yang bisa ratusan ribu orang per pesantren. Tidak heran, dalam berbagai survei afiliasi organisasi sosial keagamaan, yang menyatakan berafiliasi dengan NU berkisar di angka 30-39 persen atau 70-80 juta orang dari 220 juta warga Muslim Indonesia.
Karena kompleksitas sistem dan struktur sosialnya, Gus Dur menyebut pesantren sebagai subkultur (1974). Menurut dia, pesantren adalah lembaga swadaya masyarakat sejati akibat pola kepemimpinan pesantren yang mandiri dan tidak terkooptasi oleh negara. Pesantren memiliki rujukan umum dalam mengelola kehidupan umat, yaitu kitab-kitab klasik, yang menjadikannya sebagai sebuah sistem yang kuat. Dan yang terpenting, dunia pesantren memiliki sistem nilai yang ditransmisikan secara sistematis kepada seluruh warganya.
Sistem nilai dari pesantren inilah yang membentuk karakteristik para Nahdliyyin. Mereka hidup dalam nilai tawassuth (moderat), tawazzun (seimbang), tasamuh (toleran), i’tidal (tegak lurus), dan amar ma’ruf nahiy munkar (menyeru kebaikan, menolak kemungkaran).
Tak banyak yang menyadari bahwa sikap toleran Nahdliyyin berangkat dari tradisi menghormati perbedaan mazhab fikih dalam NU. Karena mengakui empat mazhab besar dalam Islam, warga NU peka soal keberagaman dan jarang mengambil sikap mengklaim tafsir tunggal sebagai satu-satunya kebenaran. Ini berdampak pada kewolesan menerima keberagaman dalam hidup berbangsa.
Kemampuan pesantren untuk mentransmisikan nilai-nilai ini kepada jemaahnya memang tak dapat diingkari, misalnya tradisi komunal, ketaatan kepada pemimpin, atau sikap sederhana dan andap asor. Begitu juga nilai-nilai turunan yang menghambat, seperti kurangnya ambisi dan keberanian untuk berubah. Kisah anekdotal Nahdliyyin mencuci sarung di kolam renang saat acara NU di hotel pun menjadi kisah lucu soal tradisionalitas.
Yang tidak dapat disangkal adalah tumbuh suburnya nilai kecintaan kepada bangsa dan negara dalam diri Nahdliyyin. Hubbul wathon minal iman menjadi doktrin dasar yang meletakkan kehidupan berbangsa sebagai bagian dari keyakinan agama. Karena inilah, sejak lahirnya republik ini, Nahdliyyin menjadi salah satu garda terdepannya.
Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan kehidupan umat dan bangsa pun berubah. Gerusan corak keagamaan Islam yang lebih eksklusivistik dan kurang selaras dengan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) pun semakin terasa. Untuk terus menjalankan peran sebagai satpam Indonesia, Nahdliyyin pun dituntut untuk mampu menyelaraskan dirinya.
Di sinilah adagium ”mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik” menjadi bekal utama untuk membangun dan mentransmisikan tradisi baru bagi para Nahdliyyin. Saya meyakini, selama NU masih terus memperkuat dirinya sebagai khadimul ummah, selama itu pula Indonesia akan menerima manfaatnya. Semoga!
(Artikel ini dimuat pertama kali di rubrik “Udar Rasa” Kompas, 26 September 2021)