“Perempuan adalah objek seksual. Bagaimanapun kecantikan seorang perempuan, bisa mengalihkan perhatian laki-laki. Namun, apakah hanya dengan seks saja, konflik antaragama bisa redam? Sesimpel itukah peran perempuan dalam menyelesaikan masalah?” tanya seorang peserta diskusi.
Pertanyaan itu muncul di sela-sela asiknya diskusi film Where do We Go Now yang diadakan oleh Komunitas Santri Gus Dur pada Sabtu (20 November 2021) malam di Pendopo Yayasan LKiS, Yogyakarta. Pemutaran film dan diskusi tersebut diadakan dalam rangka Perayaan Festival Hari Toleransi Internasional 2021 dengan tajuk #BedaSetara. Diskusi film dipantik oleh Mohammad Pandu dan Arina Rahmatika, serta dipandu langsung oleh Muallifah. Ketiganya adalah penggerak di komunitas tersebut.
Film dibuka dengan adegan serombongan perempuan berbaju hitam sebagai tanda duka. Film bergenre drama-komedi tersebut disutradai oleh Nadine Labaki, sutradara Lebanon yang menciptakan tanda tanya besar kepada para penonton sepanjang film berlangsung karena beberapa adegannya memuat unsur satire yang tinggi.
“Film-film yang disutradai oleh Labaki ini tidak lepas dari masalah perempuan. Sebelumnya pada film Caramel, ia juga menceritakan bagaimana perempuan dan kehidupannya. Di film ini pula ia mengangkat keterlibatan perempuan. Nadine juga termasuk sutradara yang berani.” ucap Pandu.
“Film ini berhasil mendapatkan penghargaan Cadillac People’s Choice Award pada ajang Toronto International Film Festival pada 2011. Tidak hanya itu, Where do We Go Now juga menjadi wakil Lebanon untuk berkompetisi dalam Academy Awards ke-84 bersama dengan film-film lain di kategori Best Foreign Film,” lanjutnya.
Where do We Go Now mengangkat konflik antara masyarakat Islam dan Kristen pada sebuah perkampungan di Lebanon. Konflik yang telah menelan korban tersebut ternyata memberikan ruang bagi perempuan untuk ikut andil dalam menyelesaikannya. Hal ini terlihat dari bagaimana peran para perempuan di kampung tersebut ketika mensabotase saluran TV yang menayangkan perang, hingga mengundang para gadis yang seksi dari Ukraina untuk mengalihkan fokus laki-laki dari dua kelompok yang sedang berseteru tersebut.
Film ini tidak bisa dimaknai secara telanjang dengan mengasumsikan bahwa peran perempuan untuk menyelesaikan konflik hanya melalui seksualitas belaka. Sebaliknya, melihat peran perempuan yang ditampilkan, maka bisa dilihat sebagai kritik sosial yang disampaikan oleh sutradara bahwa selama ini perempuan hanya dianggap objek seks. Bahkan faktor kecantikan turut andil menjadi privilese yang cukup besar dan melekat pada seorang perempuan.
“Fakta tersebut juga diafirmasi oleh para perempuan, yang ditunjukkan pada scene film ketika para ibu-ibu Lebanon sengaja mengundang perempuan Eropa untuk membantu menyelesaikan konflik melalui aspek seksualitas tersebut,” terang Arina.
Di bagian lain, lanjut Arina, peran perempuan dalam meredam konflik agama juga ditunjukkan dengan bagaimana mereka secara kompak tidak memandang agama saat melakukan upaya perdamaian antara dua kelompok tersebut. Mereka mengubur senjata agar tidak bisa digunakan perang para laki-laki, mencampur makanan dengan ganja agar para lelaki lalai, serta menunjukkan sikap yang begitu keras ketika ketegangan antara dua identitas itu mulai muncul.
Film ini berkisah tentang bagaimana perempuan dalam kacamata sosial. Satire kelas atas yang ditampilkan oleh Labaki dalam film ini tidak lain merupakan refleksi bagaimana posisi keberagamaan kita selama ini. Bagaimana agama seharusnya memberikan kedamaian kepada para pengikutnya, bukan sebaliknya.