Beragama tapi Tidak Bermoral, Mungkinkah?

Selama ini kita beranggapan bahwa orang yang komitmen beragama akan mewujudkan kebaikan moral. Moral dianggap tidak pernah ada tanpa agama. Kedua asumsi ini perlu dicek kembali. Faktanya, moralitas keagamaan dapat berubah dan fleksibel. Perubahan moralitas dapat ditentukan oleh faktor budaya yang mengitari kehidupan seseorang. Bahkan bisa dikatakan seorang ateis pun juga memiliki moralitas.

Dua orang yang mengatasnamakan komitmen terhadap agama dapat saja memiliki moral yang berbeda. Padahal dalil agama yang digunakan sama, kitab suci yang digunakan juga sama, bahkan cara beribadah juga sama. Seorang terpidana yang melakukan kejahatan bukan berarti tidak paham agama. Namun, ini menunjukkan bahwa moral beragama sangat dipengaruhi oleh faktor budaya, kebiasaan, atau kultur sosial masyarakat. Beragama yang tidak memperhatikan kultur masyarakat justru berpotensi menimbulkan kemudaratan. Ini menunjukkan bahwa interaksi manusia, tumbuh kembang manusia, dan contoh nyata (role model) menjadi hal penting dalam menciptakan moral manusia selain agama itu sendiri.

Agama dan moral manusia sering terjadi gap. Gap ini muncul karena adanya ketidaksesuaian antara doktrin agama yang lurus dengan perilaku seseorang. Idealnya religiusitas dan moralitas berkorelasi dengan tepat. Agama telah mengajarkan manusia memiliki moral yang mulia. Jika meminjam istilah sosiolog agama dari Amerika, Mark Chaves maka ini disebut dengan “religious congruence fallacy” atau “kesalahan dalam kesepadanan agama”.

Manusia telah diperintahkan agama untuk menjaga harkat dan martabat kaum mereka sendiri. Namun, sebagian manusia tetap berani melakukan kekerasan dan penindasan atas nama agama. Agama telah memerintahkan manusia seimbang antara ibadah kepada Tuhan dan bermuamalah pada sesama manusia. Bahkan pada level keseharian, agama tidak mengizinkan umatnya berlebihan sehingga terbuang dan sia sia (mubazir). Namun, apakah masyarakat Indonesia dikenal religius dapat melakukannya?

Salah satu contoh, ternyata menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022 bahwa komposisi sampah nasional didominasi oleh sisa makanan (41,64%). Ini menunjukkan bahwa masih banyak makanan dari berbagai sektor (rumah tangga, rumah makan, restoran, hotel, dan sebagainya) telah terbuang dan sia-sia. Tetapi data ini tentu tidak dapat menjadi satu satunya indikator bahwa moralitas tidak sejajar dengan religiusitas.

Apakah “kompas moral” manusia yang tepat? “Kompas moral” semestinya apa yang Tuhan anggap sebagai benar dan salah. Sedangkan fitrah adalah benar dan salah yang dianggap Tuhan akan sejalan dengan apa yang diyakini manusia percaya baik dan benar. Tetapi, kebebasan untuk menafsirkan kitab suci tetap terjadi pada setiap agama (dengan kaidah tertentu). Hal ini karena praktik beragama dan kepercayaan tidak dapat terlepas dari perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia.

Moral setidaknya terbentuk dari dua hal penting, yaitu agama dan hukum. Agama menyadarkan manusia bahwa Tuhan selalu mengawasi amal manusia. Tuhan diyakini mampu berkehendak menghukum para pelanggar agama. Hal ini menyebabkan orang yang beragama menjadi lebih baik dan dapat ditiru manusia yang lain. Agama idealnya ladang untuk menyampaikan kebaikan, cinta perdamaian, kebaikan dan anti-kekerasan.

Selain agama, bidang hukum juga berkontribusi terhadap penciptaan moral manusia. Substansi hukum, struktur hukum yang mapan, dan budaya hukum yang baik adalah prediktor moral manusia. Hukum merupakan andalan yang paling kuat sebagai negara hukum untuk membentuk perilaku manusia yang bermoral. Orang yang beragama tetapi melakukan kekerasan atas nama agama maka perlu ditindak tegas untuk sebuah keadilan hukum. Sehingga, moral yang baik bisa dibentuk dengan baik pada negara hukum.

Pada akhirnya, tantangan pembentuk moral bukan pada masalah substansi agama. Agama tetaplah ajaran suci dan lurus dari Tuhan. Konsep yang dibangun oleh agama adalah moral yang baik. Agama pasti menolak kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikologis. Kekerasan fisik dapat dilihat dari menghancurkan tempat ibadah, adanya bom bunuh diri, dan lainnya. Adapun kekerasan psikologis dimulai dengan propaganda atau stigma atau doktrin yang sesat atas nama agama sehingga manusia melakukan kekerasan.

Tantangan pembentuk moral adalah tafsiran terhadap teks agama, pengalaman beragama, sosio-historis, dan kultur masyarakat. Agama yang dipahami secara tekstualis ataupun terlalu bebas merupakan ancaman moral. Tetapi, apabila seseorang beragama secara hanif (istikamah)dan diamalkan secara moderat maka beragama menghasilkan moral yang mulia. Salah satu indikator moral yang mulia adalah beragama yang menghasilkan kemaslahatan sosial, taat hukum, dan akomodatif terhadap budaya.

Penulis.