Memayu Hayuning Bawana adalah motto dari Paguyuban Cahya Buwana Srandil, sebuah filosofi atau nilai luhur tentang kehidupan budaya masyarakat Jawa. Memayu hayuning bawana apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti memperindah atau mempercantik keindahan dunia. Orang Jawa memandang konsep ini tidak hanya sebagai falsafah hidup, tetapi juga sebagai budi pekerti dan perilaku.
Sebuah konsep kosmologi Jawa yang berupaya untuk melindungi keselamatan dunia, baik lahir maupun batin. Secara lahir memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya atau yang terlihat. Sedangkan secara batin atau abstrak juga harus memelihara dan memperbaiki lingkungan spiritualnya. Atau dalam arti lain untuk menjaga keseimbangan alam semesta.
Paguyuban Cahya Buwana merupakan salah satu paguyuban penghayat kepercayaan yang ada di Kabupaten Cilacap, tepatnya terletak di Desa Glempang Pasir, Kecamatan Adipala.
Kegiatan ini merupakan agenda rutin untuk memperingati pergantian tahun baru yang dalam perhitungan kalender sekarang ini masuk di Bulan Sura Tahun 1957 Saka Jawa. Peringatan digelar mulai hari Rabu sampai Jum’at 19-21 Juli 2023, yang bertujuan untuk nguri-uri atau merawat kearifan tradisi budaya Jawa.
Budiyanto Hermawan selaku Ketua Yayasan Cahya Buwana mengatakan bahwa ada beberapa agenda dalam prosesi peringatan ini, di antaranya adalah panggung kesenian yang salah satu pengisi acaranya adalah Ibu Yati Pesek, salah satu praktisi seni terkenal di Indonesia. Selain itu ada pula atraksi barongsai, pelepasan burung perkutut dan pelepasan tukik penyu yang bertujuan untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan alam baik itu di darat, laut, dan udara. Ada sekitar 350 ekor burung perkutut yang dilepaskan. Acara ini juga dihadiri oleh Kapolresta Cilacap Kombes Pol Fannky Ani Sugiharto.
Puncak acara dilaksanakan pada Jum’at 21 Juli 2023, yaitu agenda yang berisi kirab budaya dengan berjalan kaki dari Gedung Paguyuban menuju Pantai Srandil yang berjarak kurang lebih satu kilometer. Acara ini juga diikuti oleh para Putra Wayah Cahya Buwana yang menggunakan pakaian Adat Jawa. Terlihat pembawa bendera Merah Putih berjalan paling depan diikuti oleh barisan yang membawa panji-panji bendera Paguyuban, barisan pembawa sesaji, pembawa jolen yang berisi hasil bumi, barisan pelaku budaya, serta masyarakat yang antusias mengikuti kirab.
Sesampainya di pantai, semua orang melakukan prosesi ritual secara khusuk dan berdoa serta bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dipimpin oleh para Manggala untuk menghantarkan sesaji serta jolen sebelum dilarung di laut samudera. Hal ini dilakukan sebagai bentuk ucapan syukur kepada alam semesta karena sudah memberikan kehidupan berupa hasil bumi yang bisa dinikmati selama kita hidup.
Selain larungan sesaji dan jolen, juga dilakukan agenda pelepasan tukik penyu sebanyak 38 ekor. Selain bertujuan untuk pelestarian juga untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di laut.
Melepas penyu bukan berarti supaya hidup kita menjadi panjang umur seperti penyu. Pengertian semacam ini adalah sudut pandang yang kurang bijak, karena tujuan hidup adalah tidak untuk berumur panjang, melainkan bisa berguna bagi orang lain dan menginspirasi orang-orang di sekeliling.
Filosofi yang mengandung sarat makna, tukik penyu dilepasliarkan di laut, ketika dewasa akan kembali ke asal saat bertelur. Begitu juga dengan manusia, ketika dilahirkan ke dunia pada saatnya akan kembali ke sumber hidupnya. “Dari Gusti kembali ke Gusti,” demikian ungkap Pak Darmawan selaku Ketua Paguyuban Cahya Buwana.