Di tengah hiruk-pikuknya jelang Pemilu 2024, dinamika politik saat ini cukup mengkhawatirkan karena telah mengalami pergeseran etika demokrasi, terlebih lagi dan lagi harus saya sebutkan setelah hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang syarat akan pelanggaran etik itu sehingga melahirkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Pelanggaran etik dan perilaku yang dilakukan oleh hakim konstitusi bukanlah pertama kalinya. Pada tahun 2013 Hakim yang sekaligus Ketua MK Akil Mochtar terbukti menerima suap hingga tertangkap tangan oleh KPK. Tahun 2017 Hakim Konstitusi Patrialis Akbar juga terkena OTT oleh KPK meski kasus ini menimbulkan kontroversi karena saat OTT Patrialis tidak terbukti melakukan transaksi suap.
Pada tahun 2018, Arief Hidayat terbukti dua kali melakukan pelanggaran etik karena membuat surat titipan atau katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pidana karena terdapat kerabatnya yang ingin dia “titipkan” untuk “dibina”. Terlebih saat itu dia juga menjabat sebagai ketua. Dan pada tahun 2023 ini, pelanggaran etik terjadi kembali dengan dikeluarkannya putusan 90/PUU-XXI/2023 yang berimplikasi dengan “lolosnya” Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.
Putusan ini mengandung unsur pelanggaran etik bukan hanya karena saat itu Anwar Usman menjabat sebagai Ketua MK saja, tapi juga statusnya yang merupakan adik ipar Jokowi, sehingga sarat akan kepentingan dan potensi dinasti politik. Tapi juga dalam prosesnya, MK telah bertindak di luar kewenangannya, yaitu bertindak sebagai positive legislator dengan menambah ketentuan baru yang seharusnya itu dilakukan oleh lembaga legislatif dan pemerintah. Hal ini pernah saya bahas dalam tulisan saya.
Sepanjang sejarah pelanggaran etik dan perilaku yang dilakukan oleh hakim konstitusi, dengan menerapkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat hanya pernah terjadi pada Akil dan Patrialis saja. Sementara setelah sidang MKMK atas 9 hakim konstitusi terkait judicial review Pasal 69 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, hanya sebatas sanksi teguran lisan secara kolektif yang memang terbukti melanggar kode etik atau perilaku hakim konstitusi (Sapta Karsa Hutama).
Ringannya sanksi terhadap para hakim konstitusi yang terbukti melanggar kode etik bisa menjadi preseden yang dapat menyebabkan hilangnya trust masyarakat terhadap lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai guardian of constitution. Jika para penegak hukum saja sudah tak dapat menjaga integritasnya bahkan turut serta melakukan penyelewengan, lalu kepada siapa lagi rakyat harus percaya?
Etika ini sangat penting terlebih bagi seorang pejabat publik, sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. Phil Sukri Tamma (Dekan Fisip Unhas), mereka merupakan ‘moral force’ sehingga harus menjadi contoh dalam berperilaku dan demokratis. Sementara menurut Prof. Dr. H. Eka Suaib (Dekan Fisip UHO), etika juga merupakan langkah evaluatif dalam standar kepemimpinan politik. Tidak hanya soal elektoral atau proses tapi juga adab dan nilai.
Dengan dibentuknya MKMK ini diharapkan agar ke depannya tidak ada lagi pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi. Demi menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta menegakan kode etik hakim konstitusi, maka perlu adanya mekanisme pertanggungjawaban setiap perbuatan hakim konstitusi melalui pengawasan.
Pada awalnya pengawasan terhadap hakim konstitusi dilakukan oleh Komisi Yudisial berdasarkan ketentuan Pasal 20 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan juga melalui UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi ini dibatalkan melalui putusan MK No. 005/PUU-IV/2006. Maka, tak ada lagi yang dapat mengawasi hakim konstitusi.
Sebenarnya upaya untuk adanya pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi ini sudah berkali-kali pernah diupayakan dengan dibentuknya undang-undang dan peraturan Mahkamah Konstitusi, namun kemudian berujung pada pembatalan dan pencabutan. Salah satunya karena ada pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Hal ini seolah menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang “untouchable”.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, MK terikat dengan prinsip menjalankan kekuasaan kehakiman yang merdeka tanpa campur tangan dan pengaruh dari pihak mana pun demi menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun, sebagaimana yang dikatakan oleh Bagir Manan, bahwa kebebasan itu pun bukan tanpa resiko, sangat besar kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atas nama kebebasan hakim. Maka dari itu penting adanya pengawasan.
Setelah banyak desakan juga laporan dari masyarakat atas pelanggaran etik terhadap putusan 90/PUU-XXI/2023 akhirnya kini melalui peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, dibentuk MKMK yang permanen dengan jumlah keanggotaan tiga orang yang terdiri dari satu orang hakim konstitusi, satu orang tokoh masyarakat, dan satu orang akademisi yang berlatar di bidang hukum.
Pembentukan MKMK ini sangat penting untuk menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah tirani yudisial, karena sejatinya asas peradilan yang baik (principle of good judicature) adalah adanya pengawasan.