Gus Dur Menjawab Demokrasi yang Seolah-olah

Negara sebagai institusi semakin ke sini kian menunjukkan sifat keruwetannya. Konstitusi hari ini seperti barang mainan, ia digunakan untuk kepentingan pribadi atau institusinya sendiri, bukan dijadikan untuk memperkuat demokrasi.

Kebebasan berpendapat, hak asasi manusia, pemenuhan keadilan sudah bukan kemewahan lagi bagi demokrasi hari ini. Bagi sebagian orang, demokrasi dilihat hanya ajang pesta pemilihan umum belaka. Hal ini bisa kita lihat di fenomena akhir-akhir ini.

Demokrasi hari ini seperti yang dikatakan Gus Dur layaknya demokrasi prosedural, seolah-olah sistem politik berjalan hanya menekankan prosedur-prosedur demokratis yang mengabaikan substansinya. Padahal demokrasi menurut Gus Dur juga perlu substansi, nilai-nilai dan prinsip juga perlu tumbuh di negara ini.

Fenomena tersebut bukan barang langka lagi, hal ini terjadi dan kuat pada masa Orde Baru, yang sering kita jumpai pada saat itu adalah fenomena runtuhnya kebebasan berpendapat dan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sehingga, keberalihannya ke reformasi hari ini, seolah-olah seperti menanggung beban warisan budaya dari Orde Baru.

Melalui fenomena tersebut, Gus Dur sangat fokus pada isu demokrasi, tidak lain tidak bukan untuk merespons realitas yang terjadi pada masanya. Jika hal itu terjadi di masa lalu, seharusnya bisa menjadi antisipasi di hari ini. Maka dari itu, gagasan Gus Dur terkait demokrasi perlu diupayakan kembali untuk memupuk kesadaran dalam bermasyarakat dan bernegara.

Jika melihat ke belakang, gagasan Gus Dur terkait demokrasi berangkat dari situasi sosial pada masa Orde Baru. Gus Dur tidak jarang merespons segala bentuk absolutisme kekuasaan Soeharto, sehingga munculnya situasi yang disebut oleh Gus Dur sebagai “Demokrasi Seolah-olah”.

Mengutip perkataan Gus Dur, masyarakat kita sebetulnya berada dalam suasana “seolah-olah”: seolah-olah hukum sudah tegak, seolah-olah ada kebebasan, dan sebagainya. Semua lalu menerimanya sebagai hal wajar hanya karena tak bisa mengelak, dan terpaksa ikut bermain dalam “seolah-olah normal” ini demi keselamatan dirinya.

Demokrasi yang “seolah-olah” ini, masyarakat tetap perlu mengawal dan terus menjadi oposisi. Tanpa dipungkiri, mau bagaimanapun demokrasi tetap perlu ada kelompok oposisi baik dalam institusi negara atau masyarakat itu sendiri, setidaknya sebagai fungsi pengawalan.

Dari Institusional menuju Konstitusional

Bagi Gus Dur, menurut Syaiful Arif (2013) yang terpenting dalam demokrasi adalah dua hal. Pertama, menjauhi perilaku yang anti-demokrasi. Kedua, memperjuangkan demokratisasi. Artinya, pada level paling dasar, bagi negara dan masyarakat yang menganut demokrasi perlu menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Level paling tingginya adalah memperjuangkan demokrasinya.

Proses demokratisasi baik dari level rendah maupun tinggi, tetaplah perlu diperjuangkan. Maka dari itu, Gus Dur menyebut “Demokrasi sebagai proses”, karena demokrasi itu sendiri tidak akan pernah sempurna sebab proses kritik dan autokritik menyatu dalam tubuh demokrasi.

Demokrasi sebagai proses juga perlu melampaui lembaga-lembaga demokrasi, Gus Dur menyebutnya dengan “Demokrasi Institusional”, yang di mana demokrasi seolah-olah hanya ada di dalam institusi-institusi demokrasi.

Institusi negara seperti eksekutif, legislatif, yudikatif atau yang lainnya seolah-olah hanya satu satunya mekanisme demokrasi yang dianggap sah dan seolah-olah sudah demokratis. Artinya, kelembagaan ini menolak proses demokratisasi dari rakyat, sebab demokrasi dianggap sudah purna dengan adanya lembaga demokrasi.

Hal ini menunjukan kecacatan nilai demokrasi. Semestinya institusi negara dijadikan mekanisme demokratisasi kekuasaan dan bukan satu-satunya penanda kehadiran demokrasi. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka demokrasi seolah-olah sudah jadi dan masuk pada kondisi yang disebut oleh Hairus Salim dengan uneasy peace atau kedamaian yang mencemaskan.

Demokrasi tentunya perlu berorientasi pada rakyat, karena masyarakatlah yang berhak menilai kedemokratisan sebuah situasi sosial politik. Sebab sosial politik tidak hanya terjadi dalam kelembagaan negara, melainkan di dalam realitas kehidupan masyarakat.

Kemudian bagi Gus Dur, “demokrasi sebagai proses” tidak hanya bertumpu pada gerakan masyarakat sipil. Gus Dur mendasarkan demokrasi sebagai sistem politik, di atas bangunan negara hukum (Syaiful Arif: 2013). Artinya, hukum berada pada posisi tertinggi dalam sistem demokrasi, dan supremasi hukumlah yang menjadi ukuran tumbuhnya demokrasi di suatu negara.

Maka dari itu, Gus Dur mempunyai gagasan bahwa demokrasi perlu berangkat dari institusional menuju konstitusional. Konstitusi ini menjadi pijakan bagi lembaga negara untuk melakukan proses demokratisasi, jika proses tersebut hanya berhenti pada institusi, maka yang terjadi adalah demokrasi rasa oligarki.

Begitupun dengan masyarakat, konstitusi juga perlu dijadikan pijakan. Bahwa, kebebasan juga dibatasi oleh konstitusi. Jika masyarakat tidak berpijak pada konstitusi, maka yang terjadi adalah demokrasi rasa anarki.

Dengan demikian, “demokrasi sebagai proses” bisa kita artikan sebagai demokratisasi masyarakat sipil dengan memanfaatkan lembaga negara sebagai mitra dalam memperjuangkan demokrasi. Oleh karena itu, demokrasi sebagai proses bisa disebut juga dengan Demokrasi Konstitusional.

Akhir dari tulisan ini, bahwa Gus Dur melalui gagasannya mengajak kita untuk menumbuhkan kembali kesadaran demokrasi hari ini. Konstitusi dengan segala kebijakan di dalamnya, harus kita rawat dan dijadikan pijakan bagi negara juga masyarakat untuk terus merawat demokrasi.

Gus Dur telah meneladankan, saatnya kita melanjutkan.

Koordinator Komunitas GUSDURian Ciputat, Tangerang Selatan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *