Ramadan merupakan bulan istimewa yang kedatangannya disambut seisi alam raya, Al-Quran menyebut kemuliaannya berulang-ulang, bersandingan dengan perintah untuk kaum mukmin supaya beribadah di bulan mulia tersebut. Bulan ini juga disebut sebagai salah satu waktu mustajab untuk melangitkan doa-doa.
Beberapa faktor yang menjadikan bulan Ramadan menjadi begitu istimewa di antaranya adalah banyaknya peristiwa bersejarah terjadi pada bulan ini, mulai dari diwahyukannya Al-Quran, pembebasan Kota Makkah, Perang Badar yang merupakan simbol perlawanan terhadap diskriminasi dan monopoli. Tiga peristiwa bersejarah tersebut mengingatkan kita bahwa Islam memang lahir untuk melawan segala bentuk penjajahan.
Bulan Al-Quran, begitu biasanya Ramadan disapa di mimbar-mimbar. Yang kemudian dilanjutkan dengan nasihat baik supaya kita memperbanyak lantunan pembacaan ayat suci Al-Quran di bulan lahirnya ini. Tapi kita sering lupa bahwa Al-Quran selain merupakan pedoman ibadah mahdhah, ia juga menuntun kita semua untuk memerangi segala bentuk kezaliman. Untuk beralih dari kekuasaan yang eksploitatif menuju keadilan sosial yang harus diupayakan bersama-sama. Bergerak dari sistem tiran yang menguntungkan segelintir elite menuju sistem yang membawa keluasan manfaat untuk umat. Salah satu ayat yang secara terang-terangan memerintahkan supaya distribusi harta dilakukan secara adil adalah QS Al-Hashr ayat 7 berikut:
“Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Selain itu, pada bulan Ramadan juga terjadi sebuah perang bersejarah yang disebut dengan Perang Badar. Perang Badar merupakan respons kaum Muslim yang saat itu tengah menghadapi diskriminasi dan upaya monopoli dagang dari kaum kafir Quraisy. Dalam upaya mereka memerangi kezaliman tersebut, sesungguhnya mereka tidak memiliki kekuatan dan sumber daya yang cukup untung menghadapi serangan tentara Quraisy yang telah menzalimi mereka, namun ada sebuah optimisme yang dihembuskan oleh Rasulullah yang termaktub dalam hadist diriwayatkan oleh Abu Dawud (2594) dan Tirmidzi berikut:
Emha Ainun Nadjib atau kerap disebut Cak Nun menerjemahkan hadis tersebut dengan sudut pandang yang sangat memberdayakan, yaitu: “Sesungguhnya kalian akan diberi pertolongan, diberi rezeki, dan diberi rahmat jika kalian berniat untuk menolong orang-orang yang lemah.” Hal ini menegaskan bahwa dalam kondisi yang serba tidak mungkin sekalipun, kita selalu punya pengharapan untuk melawan kezaliman selama kita berdiri di atas niat yang suci, untuk menolong masyarakat maupun diri sendiri yang lemah dan dilemahkan.
Jika ditarik dalam konteks Indonesia, sekalipun kita melihat akumulasi kapital yang luar biasa besar yang mencoba melakukan dominasi bahkan hegemoni, hendaknya kita tetap tidak kehilangan pengharapan untuk mampu memerdekakan diri sendiri dan orang-orang di sekeliling kita dari sistem yang melemahkan. Dari peristiwa ini kita diajarkan untuk menaruh percaya pada harapan bernama solidaritas, bahwa betapa pun kapital dipersatukan, kita selalu punya segenggam cahaya bernama solidaritas. Bahwa saat kita bergerak bersama atas nama cinta dan kepedulian terhadap sesama, akan selalu ada jalan yang terbuka untuk kita.
Semangat Perang Badar tersebut agaknya mengingatkan saya kepada berbagai bentuk perlawanan atas nama solidaritas yang banyak terjadi di Indonesia, mulai dari suksesnya aksi massa yang berhasil menggulingkan rezim korup yang puluhan tahun berkuasa, hingga aksi-aksi massa yang yang digelar dalam rangka membela hak masyarakat. Saya ingat betapa sulit dan berbelitnya proses pengesahan UU TPKS yang padahal sangat penting untuk menjadi landasan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Tak terhitung berapa banyaknya aksi massa yang digelar untuk meneriakkan isu tersebut, semua dilakukan atas nama kepedulian terhadap kepentingan publik.
Demikian pula aksi massa penolakan kenaikan UKT, hingga yang baru-baru ini terjadi, aksi #IndonesiaGelap yang digagas oleh masyarakat dalam rangka melakukan perlawanan terhadap berbagai bentuk kesewenang-wenangan. Semangat Perang Badar seolah mengingatkan saya, bahwa betapa pun di atas kertas kita tampak tak memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan kezaliman, tapi jika kita bergerak untuk solidaritas, maka harapan itu akan selalu ada, seperti halnya yang diucapkan Nabi kepada pasukan ahlul badr.
Peristiwa besar lainnya yang juga kerap kali dijadikan ikon pembahasan Ramadan sebagai bulan perdamaian adalah pembebasan Kota Makkah atau lebih dikenal dengan nama Fathul Makkah. Memang benar bahwa peristiwa ini adalah gerakan tanpa senjata untuk menaklukkan Kota Makkah, akan tetapi yang sering kita lupakan adalah bahwa terjadinya peristiwa ini adalah akibat dari dilanggarnya sebuah perjanjian yang telah disepakati bersama antara umat muslim dan kafir Quraisy. Peristiwa ini mengajarkan kepada kita bahwa mewujudkan perdamaian tidak berarti tunduk pada ketidakadilan, melainkan justru melalui ketegasan dalam menolak segala bentuk pelanggaran komitmen yang menguntungkan satu pihak dan merugikan bagi pihak lain.
Rangkaian peristiwa itu barangkali dapat membawa kita berpikir tentang apa dan mengapa diciptakannya segudang hikmah dalam bulan Ramadan. Sehingga selain menjadi bulan untuk menempa diri, Ramadan juga dapat menjadi bulan muhasabah sosial untuk kita. Betapa peristiwa-peristiwa penting dan transformatif di atas dapat menjadi pelajaran penting bagi kita bahwa selain bertransformasi sebagai individu. Ramadan juga mengajak kita untuk turut andil dalam upaya memerdekakan diri dan masyarakat dari segala sistem yang zalim dalam rangka bertumbuh menjadi hamba yang merdeka, yang tidak menghamba kepada siapa pun dan apa pun selain hanya kepada Tuhannya.
Selain rangkaian peristiwa bersejarahnya yang dapat menjadi ibrah untuk kita, Ramadan juga merupakan satu-satunya bulan di mana kita diperintahkan secara eksplisit untuk mengerjakan dua rukun Islam sekaligus, yaitu berpuasa dan berzakat. Puasa merupakan ibadah mahdhah yang melibatkan latihan pengendalian diri. Salah satu nasihat mengenai pelaksanaan ibadah puasa favorit saya adalah petuah Gus Dur yang kurang lebih berbunyi begini: “Jika kita muslim terhormat, kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa.”
Bagi saya kalimat ini merupakan reminder hebat bagi kita yang diwajibkan berpuasa, supaya kita mengingat bahwa ibadah puasa harusnya merupakan ladang latihan kita untuk memerdekakan diri dari sifat sombong dan ananiyah yang mengakibatkan kita merasa lebih tinggi dan layak dihormati oleh orang yang tidak berpuasa. Padahal sebaliknya, puasa adalah latihan untuk menghilangkan kecongkakan diri tersebut, sehingga pada muaranya kita diharapkan dapat menjadi hamba yang bertakwa.
Sementara itu, zakat merupakan ibadah mahdhah yang berdimensi sosial, sebab dampak langsung dari ditunaikannya ibadah zakat dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Zakat dilakukan dengan memberikan bahan makan pokok untuk masyarakat yang berhak menerima, selain itu ada pula bentuk lain zakat yang ditunaikan dengan memotong 2.5% dari harta kita untuk diberikan kepada masyarakat yang berhak menerimanya. Dalam skala makro, zakat juga dapat berkontribusi secara luas untuk memperkuat sendi-sendi perekonomian di tengah masyarakat.
Hal yang juga saya suka dari zakat adalah perspektif bahwa harta yang kita berikan kepada orang lain bukanlah bentuk kebaikan, kedermawanan atau sejenisnya yang membuat kita merasa lebih powerful dibanding yang lain, melainkan bahwa harta yang kita keluarkan untuk zakat memang bukanlah milik kita tetapi hak mereka yang tercatat sebagai orang-orang yang berhak menerimanya. Perspektif anti-superioritas tersebut mencontohkan praktik dekolonialisasi, supaya kita tidak merasa menjadi pahlawan yang mampu menolong orang lain. Hal ini juga seharusnya mampu sedikit menjadi sentilan bagi para pemangku kebijakan supaya tidak merasa bahwa layanan yang mereka berikan adalah bentuk kebaikan atau pemberian, melainkan kewajiban yang melekat pada diri mereka sebagai penyelenggara negara.
Pada akhirnya, kita dapat belajar dari petuah Cak Nun untuk me-ramadan-kan diri, membebaskan diri dari belenggu kesombongan dan kepentingan yang berpotensi memecah belah. Membebaskan diri dari hierarki dan membuat kita merasa superior atau justru kecil hati. Selepas dari bulan mulia ini, semoga bukan hanya organ tubuh yang kembali fitri, tetapi juga sudut pandang kita yang lahir kembali menjadi sosok yang merdeka, yang mengilhami tauhid dengan hanya mau menghamba pada Tuhannya, bukan pada tirani maupun atribusi sosial yang menjajah.