Nostalgia Hijau: Mengembalikan Harmoni Alam yang Hilang

Isu ekologi kini menjadi sorotan utama, tidak hanya bagi lembaga-lembaga yang peduli terhadap keberlanjutan ekologi, tetapi juga masyarakat umum. Bagi mereka, dampak perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem, banjir, dan musim yang tak menentu, memaksa manusia untuk segera menyadari bahwa kondisi alam saat ini sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Kendati suasana dan realitas semacam ini telah lama dirasakan, namun kesadaran kolektif penghuninya sering kali datang terlambat. Ketika bumi tampak ‘berhibernasi,’ masyarakat mulai tergerak untuk bertindak, meski mungkin sudah di ambang keterlambatan.

Di Indonesia, upaya penyadaran lingkungan bukanlah hal yang mudah, terutama di tengah budaya konsumerisme yang menggila. Padahal, fenomena ini berakar pada keserakahan dan minimnya empati, baik terhadap sesama maupun terhadap alam semesta.

Ironisnya, di tengah situasi krisis iklim yang semakin mencengkeram dunia, arus informasi dan media sosial tidak banyak merespons hal itu. Justru yang marak, media sosial kita lebih banyak disesaki oleh isu kecantikan dan tren konsumtif ketimbang diskusi atau kampanye soal keberlanjutan ekologi.

Demikian pula, wacana agama lebih sering menyoal isu kesesatan, surga, dan neraka, tanpa memberikan perhatian besar pada kewajiban manusia menjaga ciptaan Tuhan berupa alam semesta. Menariknya lagi, di tengah ketidakpastian ekologi, muncul nostalgia akan masa lalu; kenangan tentang harmoni dan keseimbangan alam yang pernah menjadi praktik hidup leluhur kita.

Fenomena ini yang kemudian kami sebut sebagai Nostalgia Hijau; mengenang kealamian dan keasrian alam di masa lalu. Kendati hal ini tidak terlalu penting, karena cukup menjadi wahana refleksi saja, namun kebanyakan dari kita terlena dengan kenyamanan bernostalgia dan lupa bahwasanya yang dibutuhkan alam saat ini, adalah aksi nyata, bukan cerita sukses tentang masa lalu.

Alam tidak membutuhkan nostalgia, apalagi kenangan, karena baginya, ia sudah memberikan yang terbaik bagi manusia, namun karena keserakahan yang tak terkendali, akhirnya alam kewalahan memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Olehnya itu, kerja-kerja penyelamatan lingkungan tidak melulu kerja-kerja soal penyadaran, tetapi juga perlawanan terhadap keserakahan. Sebab mimpi untuk hidup selaras dengan alam, hanya mungkin bisa tercipta jika penyadaran dan perlawanan terhadap keserakahan dimasifkan.

Jika ada pandangan yang mengatakan, salah satu yang penting menjadi perhatian adalah mengakomodasi kearifan lokal masyarakat adat, sebab selama ini mereka seakan menjadi penjaga harmoni yang terlupakan, tentu tidaklah salah, namun kita sering kali lupa bahwa keteladanan mereka dalam menjaga alam patut dicontoh dan dilanjutkan.

Krisis ekologi, bersumber dari krisis kesadaran dan keteladanan, sementara kita tahu, kerja-kerja perubahan selalu bermula dari kesadaran dan keteladanan. Mimpi perubahan seringkali terhenti dan tidak berjalan dikarenakan ketiadaan kesadaran dan keteladanan. Atau dengan kata lain, nostalgia hijau yang seringkali menjadi buah bibir tidak boleh hanya sebatas ilusi, angan-angan, tetapi aksi nyata. 

“Masyarakat adat sudah memberikan teladan, saatnya kita melanjutkan dan memperkuatnya.”

Koordinator Wilayah GUSDURian Sulampapua (Sulawesi, Maluku, Papua).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *